Tampilkan postingan dengan label Diary Appendectomy. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Diary Appendectomy. Tampilkan semua postingan

Selasa, 04 November 2014

DIARY APPENDECTOMY



Berikut ini tentang perjalananku dengan Appendicitis (peradangan usus buntu) Semoga dengan uraian ini teman-teman dapat terbantu untuk tahu, apa dan bagaimana appendixtomy (pemotongan usus buntu) itu

Diary Appendectomy #1 Perjalanan Mengenal Appendicitis.

Diary Appendectomy #2 Boleh Saya Lihat Duburnya?

Diary Appendectomy #3 USG Yang Menyakitkan

Diary Appendectomy #4 Dua Malam Di Jogja Dan Bayangan Kematian

 Diary Appendectomy #6 Jarumnya Agak Besar Ya, Tahan!

  
Diary Appendectomy #7 Rontgen Paru Jantung dan Konsultasi Anestesi

Diary Appendectomy #8 Persiapkan Dirimu Untuk Operasi Rizza! 

 Diary Appendectomy#9 Di Ruang Operasi 



Diary Appendectomy #3 : USG Yang Menyakitkan


Senin 11 Agustus 2014, pagi-pagi benar aku sudah membangungkan Faisal adikku. Setengah kupaksa, karena ia benar-benar susah sekali debangunkan. Hari ini aku berencana USG. Bukan untuk melihat janin yang bergerak-gerak seperti di sinetron tivi, tapi untuk menguatkan diagnosa dokter IGD bahwa aku menderita appendicitis

Jarak rumahku yang ndeso dan RS Baptis yang berada di pinggiran Kota Kediri sekitar 20 km. Cukup jauh, jika tak berangkat pagi benar, aku akan sampai disana siang dan itu pasti antre panjang. Apa mau dikata, aku baru bisa berangkat pukul sembilan pagi karena kesibukan rumah dan Faisal yang juga sibuk. Tak apalah, yang penting berangkat.

Faisal menurunkan aku di halaman rumah sakit gedung Instalasi Rawat Jalan lalu pergi ke rumah temannya. Ia memang tak sabaran jika disuruh menunggu, pun aku juga tak nyaman ditunggu orang yang terus-terusan menggerundal. Bisa stress aku nanti. Sebagai kakaknya, aku sudah paham 100 % tabiat adikku. Lebih baik aku sendiri.

Diary Appendectomy #6 Jarumnya Agak Besar Ya, Tahan!



Sesampainya di IGD aku berjalan menuju ruangan, hampir tak ada perawat jaga malam di IGD yang percaya kalau aku adalah pasien Appendicitis yag mendapatkan jadwal operasi besok. Karena aku bisa jalan sendiri, naik ranjang sendiri, menata selimut sendiri. Kata mereka, pasien Appendicitis itu biasanya kesakitan, kelojotan sampai tak bisa berjalan, tapi aku berbeda. Aku kelihatan biasa saja.

Apalagi saat mereka tahu aku baru saja datang dari Jogja, naik bus. Mereka semakin keheranan. “Sampean kok kuat to Mbak, opo gak sakit?” tanya salah seorang perawat.

“Ya sakit, tapi ditahan dan alhamdulilah tetap bisa berjalan. Perawat itu menggelengkan kepala. Aku hanya tersenyum. Tak lama datang dokter Andreas, dia dokter yang memeriksaku dulu saat di IGD pertama kali. Yang dalam hati kuancam akan kutendang kepalanya jika ia macam-macam.

“Hai Rizza, akhirnya mau juga ya kamu operasi. Saya sudah mendengar dari Dokter Do kemarin. Gimana tes S2-nya lancar?”

“Lancar Dok! Ya, mau bagaimana lagi. Pasien itu harus nurut sama dokter kan?” Dokter Andre tergelak

“Nah gitu dong, semoga kamu lolos seleksi ya. Besok ketemu saya di ruang operasi. Nggak usah  takut, nggak sakit kok” dokter itu berkelakar lalu keluar. Dokter, saya sudah tidak peduli sakit atau tidak pasca operasi nanti saya hanya ingin sembuh.

Diary Appendectomy #7 Rontgen Paru Jantung dan Konsultasi Anestesi


Ini alat rotgen paru dan jantung
Aku tidur nyenyak malam kemarin, meski sebelum tidur aku harus kelojotan lagi. Kenapa? Karena perawat meneteskan antibiotic di tangan kananku. Hanya setetes lalu dilingkari dengan spidol. Meski hanya setetes aku merasakan perih yang amat sangat. Jika biasanya aku hanya terdiam menahan perih tapi malam kemarin aku benar-benar mengaduh. Perawat menenangkan dan mengatakan kalau perih itu tak akan lama, hanya lima belas menit saja. Tes antibiotik ini untuk mengetahui antibiotik apa yang cocok untukku. Jika lingkaran spidol nanti berwarna merah, maka itu pertanda kalo anti biotik itu tak cocok untukku. Setelahnya perawat itu pergi meninggalkan aku yang masih meringis menahan panas dan perih.

Aku baru bangun saat Adzan Shubuh, aku terdiam mengamati setiap sudut ruangan. Hampir tak kupercaya kalau aku benar-benar seorang pasien dari sebuah penyakit yang tidak main-main.  Ibuku tertidur di atas karpet. Sebenarnya ada kasur khusus bagi penunggu pasien. Tapi ibuku tak mau, dibiarkannya ranjang itu kosong sementara ia menggelar karpet. Ibuku memang takut hal-hal medis, apalagi dengan seprei berwarna putih. kubawa infusku ke kamar mandi, untuk berwudhu lalu sholat dengan duduk. Seumur hidupku, baru kali ini aku benar-benar menjalankan rukhsoh sholat. Setelah sholat Shubuh ibu menyetel televise mendengarkan ceramah Mamah Dedeh

Di sela-sela ceramah itu kukatakan pada ibu

“Bu, biayanya bagaimana? Kenapa ibu memilih kamar kelas 1 sih? Kenapa nggak memilih 3 atau kelas 2 saja, lebih murah, nanti uangnya bisa digunakan untuk yang lain”

Diary Appendectomy #8 Persiapkan Dirimu Untuk Operasi Rizza!



Setelah dokter Anthony pergi dua orang perawat masuk. Membawa pakaian ganti untukku. “Rizza sudah mandi?”

“Belum Sus, dari tadi ada pemeriksaan sampai nggak sempat mandi?”

“Bisa mandi sendiri atau Mbak-mbak perawat yang memandikan?”

“Tidak sus saya masih bisa mandi sendiri kok, malu ah dimandikan, kayak anak kecil saja, haha… “

“Tapi nanti setelah operasi kami yang memandikan ya, nggak usah malu, itu memang tugas kami”

“Memangnya nanti saya bakalan nggak bisa mandi sendiri ya Sus?”

Suster berkacamata itu hanya tersenyum “Ayo cepat mandi, keramas sekalian ya, hati-hati selang infusnya. Jangan sampai darahnya naik lagi.
Oya, perlu diketahui, jika kamu sedang diinfus jangan banyak gerak sepertiku ya! Tadi pagi darahku naik lho, cairan di selang yang awalnya putih itu ada merahnya. Karena jarum yang sudah dipasang di tanganku bergeser. Itu salahku memang. Kakean polah!

Diary Appendectomy #9 Di Ruang Operasi



                                                                                                                                                                                               
Perawat membawaku berjalan menyusuri lorong menuju ruang operasi, tanggal 15 Agustus 2014 pukul 13.30 WIB aku keluar dari kamarku. Perawat membawaku ke sebuah ruangan. Ketika pintu dibuka aku merasa dingin. AC di ruangan ini begitu menusuk. Ketika aku masuk tujuh perawat menyapaku. Lima perawat laki-laki dan dua perawat perempuan. Usianya sudah empat puluhan semua. Mereka pasti sudah perawat senior, mungkin karena faktor pengalamanlah mereka ditempatkan di ruangan operasi ini.

Masing-masing dari mereka memperkenalkan diri dan melontarkan guyonan, agar aku tidak tegang mungkin, tapi tenang saja aku sudah tenang sekarang. Aku tidak takut lagi! Tali baju bagian belakang yang sudah ditalikan oleh ibuku tadi dilepas. Infusku diganti, dari yang awalnya berwarna putih diganti menjadi warna kecoklatan seperti bensin. Aku sudah tidak peduli laki-laki atau perempuan yang melepas tali bajuku tadi. Yang jelas ketujuh perawat itu melakukan tugasnya masing-masing atas diriku. Aku seperti boneka hidup yang sedang didandani untuk persiapan operasi. Aku tahu auratku sudah terlihat oleh mereka. Tapi ini darurat, ini untuk kesehatan. Allah pasti tahu!

Aku baru tahu ternyata di dalam ruangan operasi ini ada banyak ruangan lagi. Ini memungkin dokter melakukan operasi secara bersamaan dalam satu waktu. Lalu aku dibawa ke ruangan operasiku. Kamar operasi nomer 4.

Aku dibantu perawat dipindahkan ke ranjang khusu operasi. Ranjang ini ukurannya lebih kecil dari ranjang yang sebelum-sebelumnya. Hanya cukup tubuhku saja berbaring. Ngepas. Perawat masih menyiapkan segala keperluan. Sesekali mereka mengajakku berbincang-bincang. Aku benar-benar merasa seperti di kamarku sendiri.



“Mbak Rizza nanti di pasang kateter ya, untuk keperluan operasi memang harus dipasang kateter” 

Diary Appendectomy #10 : Saat Biusku Hilang



Aku di kamarku sekarang. Sejam setelah aku datang. Ibuku datang, Mbak Nia dan Mas Hasan juga datang. Semua menanyakan apa yang kurasakan

“Aku ra kroso opo-opo kok Mbak, gak loro” lalu kami bercanda-canda. Tapi aku menanggapi candaan itu dengan senyuman saja. Karena aku tak boleh bergerak. Tak boleh mengangkat kepala. Tapi untuk miring kiri dan kanan malah boleh. Kata suster pasca operasi memang tak boleh mengangkat kepala dulu selama 24 jam. Karena dikhawatirkan pasien akan mengalami pusing hebat setelahnya. Aku menuruti.

“Tapi, kenapa miring ke kiri dan ke kanan malah boleh suster, bukankah ini ada luka operasi?”

“Kan lukanya sudah dijahit dan diperban, jadi aman. Kamu malah harus sering miring-miring. Kalau tidak kamu akan kaku. Tapi ingat, jangan mengangkat kepala sampai besok pagi”

“Baik sus” Dalam hati aku berpikir, bagaimana tidur miring tanpa mengangkat kepala itu, sedikit banyak kepala pasti bergerak ketika tubuh miring.

Diary Appendectomy #11 “Saya Mandikan Ya”



16 Agustus 2014

Aku mencoba berdamai dengan perih, nyeri dan pegal di seputar perut dan pinggang. Pagi tadi saat sarapan, aku disuapi. Dengan tetap tidur. Karena aku masih tak boleh angkat kepala sampai siang nanti pukul 14.00

Ini adalah makanan pertama setelah puasa seharian kemarin. Nasi tim dengan ikan dan sayur berkuah. Makanan ini sangat encer, hingga aku tak perlu mengunyahnya.  Kuhabiskan pagi sampai siang dengan menonton acara berita TV atau berbincang dengan ibuku. Sholat kulakukan dengan berbaring dan tayamum. Bedrest total

Tepat pukul 14.00 WIB perawat datang, membantuku untuk duduk  bersandar pada ranjang yang sudah ditinggikan bagian atasnya. Meski perutku terasa nyeri dan tegang memang harus dipaksakan untuk duduk. Seharian itu aku belajar duduk. Belajar bagaimaa caranya dari berbaring sampai duduk, atau dari duduk berbaring lagi. Masih di atas ranjang. Dengan kaki lurus. Belum boleh menggantung di tepi ranjang.

Setelah melewati proses belajar duduk ini aku baru tahu kenapa selama setelah operasi kemarin sampai sore ini aku tak pernah merasa kebelet kencing. Ada kateter terpasang disaluran kencingku. Setiap enam jam sekali suster membuangnya.

“Mbak Rizza, selamat sore, gimana sudah belajar duduk hari ini?”

“Iya sus, tapi masih nyeri banget”

“Oke, tidak apa-apa. Itu wajar. Mandi yuk, sudah sore. Saya mandikan ya”

“Tapi…”

“Sudahlah tidak apa-apa, memang sudah tugas kami”

Diary Appendectomy #12 Kencing berdiri dan Obat Pencair Feses


Tepat 17 Agustus pukul 16.00 WIB perawat melepas selang kateterku. Aku tak lagi menahan selang di saluran urineku. Itu artinya aku harus belajar berjalan sekarang. Karena hamper tiap setengah jam aku kebelet pipis.

Awalnya agak susah juga harus berjalan setelah tiga hari berdiam di ranjang. Agak kaku dan nyeri saat berjalan. Tapi aku harus tetap ke kamar mandi. Tidak mungkin aku ngompol di ranjang ini. Di kamar mandi aku harus kencing berdiri. Karena aku tak bisa jongkok. Jahitan diperutku berada dibagian perut kanan bawah. Tak mungkin aku memaksakan jongkok.

Karena aku mengalami beser yang hebat setelah tak memakai kateter. Aku tak lagi  memakai celana dalam. Akan sangat susah dan menyakitkan jika aku harus, melepas celana dalam lalu memakainya kembali. Perutku benar-benar tak bisa di ajak kompromi.

Sesaat setelah keluar dari ruang operasi perawat memberikan obat yang harus di masukkan lewat dubur. Entahlah bentuknya seperti apa, aku merasakan duburku seperti disumpal sesuatu. Hari ini kuberanikan diri bertanya pada perawat tentang itu.

“Sus sebenarnya apa sih yang dimasukkan di dalam dubur saya itu? Setiap hari pagi sore pula. Itu apa? Kenapa harus lewat dubur?”

Diary Appendectomy #13 : Saatnya Pulang!



Aku sedang menyendok makan siang ketika perawat masuk dan mengatakan aku boleh pulang sore ini. Alhamdulillah! Akhirnya aku pulang juga.

Bulek El segera mengabari ibuku di rumah untu menjemputku. Aku pergi ke kamar mandi dan mandi sendiri. Hari ini untuk pertama kalinya aku mandi sendiri pasca operasi. Suster benar kenapa aku tak diperbolehkan maandi sendiri kemarin sore. Karena memang nyeri sekali rasanya jika melakukan aktivitas mengambil air lalu menyiramnya. Tapi akuenikmatinya.

Aku mandi grujukan sore ini. Kubasahi ranbut dan seluruh tubuhku dari air yang kuambil dari tanganku sendiri. Rasanya lega dan segar sekali. Setelah aku selesai mandi. Kuganti baju rumah sakit itu dengan bajuku sendiri. Tentunya harus memakai rok yang tak terlalu mengikat diperut. Rasanya senang bisa memakai baju sesempurna hari ini.

Oya, saat mandi sendiri itulah aku melihat jahitan operasiku masih tertutup kasa anti air. Kuucap tasbih dalam hati. Terima kasih atas kesempatan keluar dari penyakit ini Allah, terima kasih.

Aku pulang, bersama ibu, Paklik, Bulik dan adikku Farid. Dari kamar  ke mobi suster membawaku dengan kursi roda. Meski sebenarnya aku ingin berjalan saja.

“Ini lantai 3 Rizza, jangan main-main kamu ya!” 

Diary Appendectomy #14 : Belajar Duduk, Belajar Berjalan. Masa Pemulihan yang Panjang



Di rumah aku harus benar-benar mulai belajar dari awal lagi. Belajar berjalan, belajar duduk. Karena nyeri aku berjalan trantanan. Berpegangan pada tembok dan apa saja yang bisa kupegang. Aku baru bisa berjalan tanpa trantanan sekitar empat hari setelah pulang dari rumah sakit. Itu pun masih jalan pelan-pelan. Seperti ibu baru melahirkan.

Begitupun duduk. Aku harus belajar duduk tegak. Harus ada sandarannya. Entah kenapa setelah pulang dari rumah sakit. Pegal di pundak dan pinggangku terasa lagi. Padahal sebelumnya sudah tidak terasa. Aku harus duduk tegak. Makanya aku kadang-kadang duduk di kursi roda ayah jika ayah sedang tertidur di kamar. Dengan duduk di kursi roda itu aku bisa duduk tegak dan tanganku juga nyaman. Tapi setelah ayah membutuhan kursi roda itu aku pun harus duduk di kursi yang lain. Tapi tetap ada sandarannya.

Pernah teman ibuku datang. Aku sedang duduk di kursi yang miring ke belakang. Agar sejajar kutambah bantal sebagai sandaran. Saat melihatku duduk dengan cara seperti itu. Teman ibuku nyeletuk, “Bibar babaran to Mbak?”

Diary Appendectomy #15 : Terima Kasih Untukmu....


Lewat tulisan ini aku ingin mengucapkan terima kasih untukmu. Untukmu yang mendoakan kesembuhan dan kesehatanku. Untukmu yang selalu ada dalam sakitku dan untukmu yang masih peduli padaku dan menguatkankanku

Untuk Ayah, Ibu, Faisal dan Farid Kalian berempat adalah harta bagiku. Kalian selalu ada untukku. Ayah, terima kasih telah memberikan asuransi atas namaku hingga aku mendapatkan pelayanan terbaik dalam penyembuhan sakit ini. Aku merasakan yang pernah Ayah rasakan. Meski apa yang Ayah rasakan tentu lebih sakit daripada rasaku. Ayah, semoga sehat selalu. Mbak Rizza sayang Ayah!

Ibu, terima kasih telah merawatku. Terima kasih telah mendengarkan rintihanku. Kalau tak ada motivasi dari ibu, mungkin aku tak akan pernah berani operasi, tak akan pernah berani dipasang kateter. Bu, ternyata begini ya rasanya sakit setelah caesar melahirkanku 22 tahun lalu? Bu, tentu rasa yang Ibu rasakan lebih nyeri dari rasaku. Karena luka bekas operasi caesar tentu lebih lebar. Bu, aku juga amat menyayangimu!

Adik-adikku. Faisal dan Farid. Kalian sudah membantuku dengan sangat baik. Terima kasih sudah mau kusuruh-suruh mengambilkan sesuatu. Tak kusangka kalian mau, biasanya mana pernah kalian mau kusuruh? Aha, justru kalian yang sering minta bantuanku. Tapi tak apalah, karena aku sakit begini, kalian jadi makin sayang padaku kan? Jangan dijahilin lagi ya Mbakmu ini, kali ini tentu saja aku tak bisa berteriak-teriak dan nguber kalian seperti dulu, jadi selamanya tetaplah jadi adik-adikku yang penurut dan baik padaku seperti saat ini ya. Aku sayang kalian kok meski kalian bregudul. Cuma kalian dan ayah ibu yang membuatku semangat melakukan sesuatu hal. Aku ingin menjadi putri dan kakak yang baik untuk kalian. Aku mencintai kalian karena Allah.

Untuk kakak-kakak sepupuku Mbak Ana, Mbak Nia, Mbak Yeti, Mas Wawan, Mbak Ita, Mbak Een, Mbak Ulfa dan Mbak Rahma  terima kasih atas doa-doanya untukku. Anak-anak kecil yang kalian bawa ke rumah sakit kala itu benar-benar membuatku terhibur. Doakan aku lebih sehat lagi ya..

Untuk Mas  Fahri, jujur aku tergetar membaca tulisanmu tentangku. Aku baru membacanya beberapa hari setelah di rumah. Aku terharu, sangat! Terima kasih telah meluangkan waktu untuk menulis tentang diriku, lewat tulisan itu kamu berusaha mengabarkan pada anak-anak FLP tentang kondisiku saat ini. Lewat tulisan itu pula, aku jadi tahu bagaimana mata orang lain memandang dan menilai diriku. Aku speechless membaca dari mulai judul sampai kalimat penutupmu. Aku tak menyangka seperti itulah aku dimatamu.

Diary Appendectomy #4 Dua malam Jogja, dan Bayangan Kematian


Setelah USG  yang menyakitkan itu. Perawat membawaku ke ruang dokter. Dokter melihat lembar USG itu sekilas lalu menatapku lekat-lekat.

“Kamu sendirian kesini?” tanyanya menyelidik

“Iya Dok saya sendiri, katakana saja. Saya siap mendengarnya”

“Kalau operasi kamu berani?”

“Apa memang harus dioperasi Dok? Kalau minum obat saja bagaimana?”

“Hasil USG ini menunjukkan kalau usus buntu kamu adalah usus buntu akut, harus segera dioperasi”

“Ya sudah Dok kalau memang begitu, saya siap dioperasi!”

“Baik. Suster tolong siapkan kamar untuk Mbak Rizza ya”

Aku tercenung, ngamar saiki? 

Diary Appendectomi #5 : Maafkan Aku



Aku sampai di Kertosono jam 7 malam, dijemput keluargaku di perempatan Ngebrak. Dari sana aku naik dibawa keluargaku langsung ke rumah sakit Baptis. Di dalam mobil kulihat ibuku sudah siap dengan perlengkapan, seperti baju-bajuku, bantal, karpet dan air mineral. Sama persis seperti dulu waktu ayah masuk rumah sakit. Bedanya dengan ayah, ayah mendadak masuk rumah sakit, sedangkan aku sudah tahu kapan harus masuk, jadi ibu lebih siap.

Dalam perjalanan itu kuketik pesan ke beberapa orang. Kakak sepupuku, Mas Fahri, Navis, Ichmi  dan Dinda. Aku tahu aku tak punya banyak waktu. Cukup mereka saja sebagai wakil dari keluarga dan organisasiku.  Jujur saja dalam perjalanan itu, aku merasa takut. Bayangan akan ruang operasi berkelebat, lalu ranjang rumah sakit. Yang paling membuatku takut adalah, bagaimana kalau ternyata usus buntuku ini sudah pecah lalu dokter begitu sulit membersihkan nanah di sekitar ususku. Apakah aku benar-benar akan mati besok? Aku benar-benar takut! Padahal seharusnya, sebagai muslim aku tak perlu takut pada kematian. Tapi rupanya aku masih lemah iman, hingga aku merasakan hal itu.

Doakan aku ya, aku berpikir kalau aku tak harus operasi. Tapi ternyata usus buntuku ini sudah akut, jadi tidak ada jalan lain kecuali operasi. Maafkan semua khilafku selama ini, doakan aku semoga operasiku ini lancar dan aku masih bisa bertemu kalian lagi. Sampaikan juga pada yang lain, aku minta maaf dan tolong doakan kesehatanku. Maafkan aku. Salam

Diary Appendectomy #2 : Boleh Saya Lihat Duburnya?



Perjalanan Malang-Kediri hari ini begitu lama. Rasanya sudah cukup lama aku tertidur, tapi belum sampai juga. Sesaat aku kembali merasa nyeri. Allah, penyakit macam apa ini? Aku hanya berharap cepat sampai Kediri, agar aku bisa menemui ahlinya, agar aku tak terus-terusan bertanya-tanya.

Sampai di rumah Mak, menjelang Dzuhur. Istirahat sejenak sembari bercerita pada budhe tentang yang kurasakan. Budhe bilang appendix itu usus buntu dan penderita usus buntu harus opname. Haruskah aku opname? Oh... Bagaimana dengan biayanya? Operasi? Berapa harganya?

Bersama Mbak Ita sepupuku, kudatangi rumah sakit Baptis. Mbak Ita mengisi data diriku dan aku masuk ke ruang IGD. Seorang perawat memintaku berbaring kemudian menutupkan selimut putih pada rokku.

“Apa yang kamu rasakan?”

“Perut saya nyeri”

“Dimana?”

“Disini” aku meraba perut bagian kanan bawah

“Sedang haid?”

Diary Appendectomy #1 : Perjalanan Mengenal Appendicitis



Aku baru saja menjalani appendixtomy pada tanggal 15 Agustus 2014. Sebuah tanggal yang akan selalu kuingat. Aku tidak tahu apakah kamu merasakan rasaku aku tidak. Aku hanya ingin bercerita. Kuharap jika kamu merasakan rasaku, kamu bisa tahu kalau yang kamu rasakan itu adalah appendicitis, kamu akan tahu hal apa yang akan kamu alami dan rasakan. Bagaimana proses perawatan dan penyembuhan? Apa saja yang akan terjadi? Aku akan menuliskannya dalam sengkarut diary appenditomi ini apa adanya. Semuanya. Sejujur-jujurnya. Kuharap setelah membacanya hingga usai  nanti. Kamu  tak akan bertanya-tanya lagi, tak akan takut lagi. Aku sudah mengalaminya, merasakannya. Kubagi denganmu, karena aku ingin kamu tahu apa dan bagaimana appendicitis dan appendixtomy  itu.

 Aku merasa baik-baik saja. Tidak ada yang aneh ditubuhku. Sampai suatu hari setelah idul fitri aku menemui menstruasiku bulan ini. Bulan Agustus. Seperti bulan-bulan sebelumnya, aku selalu menemui menstruasiku. Rutin. Tapi ada yang berbeda dengan menstruasiku kali ini. Jika biasanya aku hampir tak pernah mengalami nyeri haid atau bahasa jawanya dilepen kali ini aku merasakan hal yang berbeda di perutku.

Memang, biasanya saat haid rasanya dinding perut seperti menebal. Kali ini pun begitu. Hanya saja setelah haid berakhir aku masih merasakan perutku menebal. Bukan ditengah tepat rahim berada, tapi di sebelah kanan bawah. Kadang dibarengi nyeri. Tak terlalu nyeri memang, tapi adanya nyeri ini yang membuatku bertanya-tanya. Bukankah biasanya aku tak begini? Bukankah haidku sebentar lagi selesai?