Selasa, 04 November 2014

Diary Appendectomy #9 Di Ruang Operasi



                                                                                                                                                                                               
Perawat membawaku berjalan menyusuri lorong menuju ruang operasi, tanggal 15 Agustus 2014 pukul 13.30 WIB aku keluar dari kamarku. Perawat membawaku ke sebuah ruangan. Ketika pintu dibuka aku merasa dingin. AC di ruangan ini begitu menusuk. Ketika aku masuk tujuh perawat menyapaku. Lima perawat laki-laki dan dua perawat perempuan. Usianya sudah empat puluhan semua. Mereka pasti sudah perawat senior, mungkin karena faktor pengalamanlah mereka ditempatkan di ruangan operasi ini.

Masing-masing dari mereka memperkenalkan diri dan melontarkan guyonan, agar aku tidak tegang mungkin, tapi tenang saja aku sudah tenang sekarang. Aku tidak takut lagi! Tali baju bagian belakang yang sudah ditalikan oleh ibuku tadi dilepas. Infusku diganti, dari yang awalnya berwarna putih diganti menjadi warna kecoklatan seperti bensin. Aku sudah tidak peduli laki-laki atau perempuan yang melepas tali bajuku tadi. Yang jelas ketujuh perawat itu melakukan tugasnya masing-masing atas diriku. Aku seperti boneka hidup yang sedang didandani untuk persiapan operasi. Aku tahu auratku sudah terlihat oleh mereka. Tapi ini darurat, ini untuk kesehatan. Allah pasti tahu!

Aku baru tahu ternyata di dalam ruangan operasi ini ada banyak ruangan lagi. Ini memungkin dokter melakukan operasi secara bersamaan dalam satu waktu. Lalu aku dibawa ke ruangan operasiku. Kamar operasi nomer 4.

Aku dibantu perawat dipindahkan ke ranjang khusu operasi. Ranjang ini ukurannya lebih kecil dari ranjang yang sebelum-sebelumnya. Hanya cukup tubuhku saja berbaring. Ngepas. Perawat masih menyiapkan segala keperluan. Sesekali mereka mengajakku berbincang-bincang. Aku benar-benar merasa seperti di kamarku sendiri.



“Mbak Rizza nanti di pasang kateter ya, untuk keperluan operasi memang harus dipasang kateter” 


“Sakit ya Sus nanti?”

“Oh tidak kok, tidak sakit”

Jujur saja, aku trauma dengan kateter. Dulu aku pernah melihat ayahku dipasang kateter. Saat itu ayah meringis-ringis kesakitan, beliau merasa tersiksa demhan alat itu yang katanya akan membuatnya sakit setiap buang air kecil. Tapi untuk sekarang, aku hanya harus pasrah. Bismillah

“Iya Sus pasang saja!”

“Baik Mbak, nanti jangan kaget  ya kalau selesai operasi ada kateternya”

“Iya Sus, Sus, saya pengen kencing, boleh saya kencing dulu?”

“Oh iya silahkan, tapi saya ambilkan pispot dulu ya”
 

Ya Allah, bahkan saya harus kencing di pispot? Dulu aku sering disuruh ibu mengambilkan pispot milik ayah, karena ayah memang sakit jadi selalu kencing di pispot. Sekarang aku mengalami apa yang ayah alami. Hanya saja pispot untuk perempuan bentuknya berbeda dari pispot untuk laki-laki. Suster itu menghampiri dan menyuruh saya sedikit mengangkat pantat lalu ia meletakkan pispot disitu. Awalnya saya agak segan hingga sampai beberapa menit kencing itu tak juga keluar.
“Kenapa lama? Sudah keluarkan saja Mbak, sampai tuntas ya, nggak apa-apa!” Akhirnya saya bisa kencing juga, saya keluarkan semuanya. Lega, tapi malu. Suster itu yang membuangkan urine saya.

Tepat pukul 14.00 dokter Anthony masuk ruangan. Dialah dokter anestesi atay dokter biusku kali ini.

“Dokter, di bius spinal kan?”

“Iya, sesuai permintaan kamu tadi pagi”

Perawat mulai merentangkan tanganku. Diikat di ranjang yang juga terlentang mengikuti panjang tanganku. Tanganku diikat disitu. Lalu tangan kananku di pasang tensi darah dan jari telunjuk kanan dijapit rekam jantung. Sejenak suara nit…nit…nit… terdengar. Ya Allah.. itu suara detak jantungku!

Tangan kiriku, dipasang infuse untuk kedua kalinya. Kali ini berwarna putih. Infus yang berwarna seoerti bensin tadi sudah habis. Entah kenapa  cepat sekali habisnya. Setelah infuse dipasang saya merasa ada yang menekan dada saya, hingga saya sulit berrnafas.

“Suster, kenapa saya sesak? Seperti berat sekali untu bernafas”

“Tenang Rizza, sebentar lagi juga hilang” sampai hari ini aku tidak tahu kenapa aku merasa sesak saat itu apakah karena perubahan cairan infus itu atau yang lain. Aku tak tahu.

Dua lampu besar di atasku dinyalakan. Terang sekali. Perawat membuka alat-alat operasi dengan gumting, tak langsung dengan tangan. Karena alat itu steril. Kulihat disitu gunting dan pisau macam-macam bentuknya. Tapi anehnya aku sama sekali tidak begidik. Hari ini rasa takutku benar-benar hilang.

“Kita mulai ya Rizza”

“Baik Dok” , Lirih kulantunkan syahadat. Asshadhu Alla Ilaha illalah wa ashyhadu anna muhammadar rasulullah. Allah aku pasrah padamu…

Perawat memiringkan tubuhku ke kanan, lalu kakiku ditekuk. Mlungker. Aku benar-benar seperti bayi sekarang. Lalu kerasakan  empat suntikan yang cukup mengagetkanku. Tepat dibelakang pinggangku. Karena kaget itulah aku berteriak dan merintih. Perih.

Lalu perawat membalikkan tubuhku terlentang kembali. Perlahan aku merasakan kakiku kesemutan. Pelan tapi pasti aku kehilangan fungsi kakiku. Aku tak merasakan sama sekali ketika dokter mencubitnya. Allah, beginikah rasanya orang lumpuh itu?

Sekarang di depan wajahku, tepat di atas leherku ada kerangka besi. Yang ditutupi oleh kain. Aku sadar, tapi aku tidak tahu apa yang mereka lakukan dibawah sana. Tepat di perutku.
“Apakah kamu takut?”

“Tidak Dok”

“Saya suntik tidur saja ya?”

“Tapi dok, saya ingin..” Cuma itu kata terakhir saya sebelum akhirnya saya benar-benar disuntik obat tidur oleh dokter Anthony. Padahal sejujurnya saya ingin melihat operasi ini, Saya berani, saya tidak takut apalgi jijik. Tapi rupanya dokter Anthony tidak percaya, atau lebih tepatnya tidak tega kalau sampai saya tahu apa yang mereka lakukan terhadap tubuh saya.

Saat aku bangun, sudah jam 17.00 WIB, itu berarti aku tidur dua jam. Ternyata aku masih di ruang operasi. Aku  hanya diam, tidak berkata apapun. Diam dan melihat ke atas. Tepat di lampu operasi itu. Pinggiran lampu operasi itu berbahan aluminium. Dari aluminium itulah aku melihat apa yang mereka lakukan. Subhanallah, itu perutku. Mereka sedang bekerja menyelamatkan hidupku

Aku melihat perutku dibedah, mungkin sudah hamper selesai operasi ini. Aku terus melihat dalam diam dan istighfar. Sampai akhirnya perawat mengetahui kalau aku telah bangun.

“Rizza sudah bangun. Syukurlah usus buntu kamu belum pecah. Tubuh kamu kuat sekali ya rupanya.  Ini operasinya sudah selesai, tinggal dijahit. Berani melihat usus buntu yang sudah dipotong?”

“Berani Dok, mana?”

Suster menunjukkan padaku potongan usus buntu itu. Dengan sumpit suster itu menunjukkan usus buntuku. Ada warna hitam dan merah darah disana. Masyaallah.

“Rizza, dalam kondisi normal, seharusnya usus buntu  manusia itu sebesar selang infus ini, tapi lihat punyamu. Ini sudah sejempol. Kalau saja tidak dioperasi segera pasti akan pecah” 

Pukul 17.30 WIB aku keluar dari ruang operasi 4. Dibawa ke sebuah ruangan  yang disitu sudah banyak pasien pasca operasi yang lain. Ada yang tertidur dengan selang di lehernya ada pula yang masih belum sadar. Aku tak operasi sendirian hari ini

Dokter Andre menghampiri, “Bagaimana Rizza, tidak sakit kan? Pusing tidak? Mual?”

“Tidak Dok, saya hanya agak mengantuk”

“Ya sudah, kamu tidur dulu, nanti suster akan membawamu kembali ke kamarmu”

Pukul 18.00. Aku merasa ranjangku bergerak. Rupanya aku di dorong keluar dari ruang operasi. Disana sudah ada Budhe Yam, Pakpuh Rofik, dan Faisal. Ketika aku keluar, merekalangsung berdiri menghampiriku.

“Piye nduk, loro pora, opo sing dirasakne?” itu pertanyaan mereka. Faisal tak berkata apa-apa. Ia hanya menatapku dalam-dalam. Hey, tak pernah aku melihat adikku satu ini seperti itu. Apakah ia tak tega melihatku?


Tidak ada komentar:

Posting Komentar