Sesampainya di
IGD aku berjalan menuju ruangan, hampir tak ada perawat jaga malam di IGD yang
percaya kalau aku adalah pasien Appendicitis yag mendapatkan jadwal operasi
besok. Karena aku bisa jalan sendiri, naik ranjang sendiri, menata selimut
sendiri. Kata mereka, pasien Appendicitis itu biasanya kesakitan, kelojotan
sampai tak bisa berjalan, tapi aku berbeda. Aku kelihatan biasa saja.
Apalagi saat
mereka tahu aku baru saja datang dari Jogja, naik bus. Mereka semakin
keheranan. “Sampean kok kuat to Mbak, opo gak sakit?” tanya salah seorang
perawat.
“Ya sakit, tapi
ditahan dan alhamdulilah tetap bisa berjalan. Perawat itu menggelengkan kepala.
Aku hanya tersenyum. Tak lama datang dokter Andreas, dia dokter yang
memeriksaku dulu saat di IGD pertama kali. Yang dalam hati kuancam akan
kutendang kepalanya jika ia macam-macam.
“Hai Rizza,
akhirnya mau juga ya kamu operasi. Saya sudah mendengar dari Dokter Do kemarin.
Gimana tes S2-nya lancar?”
“Lancar Dok! Ya,
mau bagaimana lagi. Pasien itu harus nurut sama dokter kan?” Dokter Andre
tergelak
“Nah gitu dong,
semoga kamu lolos seleksi ya. Besok ketemu saya di ruang operasi. Nggak
usah takut, nggak sakit kok” dokter itu
berkelakar lalu keluar. Dokter, saya
sudah tidak peduli sakit atau tidak pasca operasi nanti saya hanya ingin sembuh.
Aku diberi baju
pasien. Aku harus memakainya untuk kemudahan penangannan, awalnya aku menolak,
aku lebih nyaman memakai baju panjangku daripada baju itu. Baju itu lebih mirip
baju adikku saat cukur di tukang cukur, lengannya pendek dan bagian belakang
bertali-tali. Akhirnya aku tak bisa menolak lagi karena ini untuk kemudahan
penanganan.
“Saya mau pakai
pakaian ini asalkan saya tetap memakai jilbab” perawat perempuan itu menyetujui.
Lalu ibuku mulai membantuku untuk mengikat bagian belakang bajuku dan
mengenakan jilbab padaku. Tak lama seorang perawat lelaki datang, ia memabawa
sepaket meja susun. Isinya selang, infus jarum dan obat-obatan lain.
“Saya infus ya
Mbak Rizza, nanti baru pindah ke kamar perawatan. Sekarang kamarnya masih ada
yang menempati. Ini agak sakit, jarumnya agak besar ya, tahan!”
Bismillah. Allah aku pasrah. Kulihat jarum itu menusuk pergelangan tangan kiriku. Ada rasa perih
dan mengganjal di pergelangan tangan itu. Sakit! Kurasakan memang jarumnya
besar. Perawat itu mengatakan untuk pasien bedah, jarum yang digunakan memang
besar karena untuk masuknya cairan obat yang beragam.
Sesaat setelah
perawat itu pergi, aku hanya memandangi ibuku yang sejak tadi
meringis-meringis. Beliau memang tidak tegaan, apalagi kalau sudah berhadapan
pada luka dan jarum.
“Aku ora opo-opo
Buk, gak loro kok, biasa ae, mek ngganjel thok” ibuku tak harus tahu kalau saat
itu pergelangan tanganku terutama pembuluh darah itu seperti tertarik-tarik.
Mungkin ia sedang menyesuaikan dengan benda asing berupa jarum itu. Aku menahan
perihnya dalam pejam.
Tak lama, aku
mendengar hapeku berbunyi. Ada miscall dan sms. Ibuku hendak mengambilkannya
untukku. Tapi aku menolak. “Bene Buk, biarkan, matikan saja dan masukkan tas
biar dibawa Faisal pulang ke rumah”
Aku tahu darimu, tapi maaf untuk saat ini aku belum
bisa membalasnya. Terima kasih doanya, Mas, Mbak. Semuanya
Allah, izinkan aku bisa membalas sms mereka yang
mendoakanku, izinkkan aku memenuhi janji-janji yang belum terpenuhi,
menyelesaikan amanah-amanah yang belum kuselesaikan. Allah aku masih ingin
menulis banyak hal lagi. Izinkan aku masih bisa menulis lagi.
Aku berada di
IGD sampai pukul satu malam. Aku sudah pulas dengan tangan terinfus ketika ibu
membangunkanku. Ya Allah, berarti sejak tadi ibuku tidur di kursi tunggu demi
menjagaku, sementara Faisal dan Farid pulang, karena ayah pasti capek duduk
lama di mobil. Dua perawat datang membawa ranjang beroda untuk memindahkanku ke
ruang rawat inap.
Pelan-pelan aku
berpindah, aku dibawa melewati lorong-lorong rumah sakit. Lampu lorong-lorong
ini memang terang tapi bagiku mencekam. Bagaimana tidak, biasaya aku ,melihat
orang dalam ranjang beroda jika menunggui ayah dulu. Sekarang aku sendiri di
atas ranjang itu. Apalagi angin tengah malam ini begitu dingin.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar