Selasa, 04 November 2014

Diary Appendectomy #6 Jarumnya Agak Besar Ya, Tahan!



Sesampainya di IGD aku berjalan menuju ruangan, hampir tak ada perawat jaga malam di IGD yang percaya kalau aku adalah pasien Appendicitis yag mendapatkan jadwal operasi besok. Karena aku bisa jalan sendiri, naik ranjang sendiri, menata selimut sendiri. Kata mereka, pasien Appendicitis itu biasanya kesakitan, kelojotan sampai tak bisa berjalan, tapi aku berbeda. Aku kelihatan biasa saja.

Apalagi saat mereka tahu aku baru saja datang dari Jogja, naik bus. Mereka semakin keheranan. “Sampean kok kuat to Mbak, opo gak sakit?” tanya salah seorang perawat.

“Ya sakit, tapi ditahan dan alhamdulilah tetap bisa berjalan. Perawat itu menggelengkan kepala. Aku hanya tersenyum. Tak lama datang dokter Andreas, dia dokter yang memeriksaku dulu saat di IGD pertama kali. Yang dalam hati kuancam akan kutendang kepalanya jika ia macam-macam.

“Hai Rizza, akhirnya mau juga ya kamu operasi. Saya sudah mendengar dari Dokter Do kemarin. Gimana tes S2-nya lancar?”

“Lancar Dok! Ya, mau bagaimana lagi. Pasien itu harus nurut sama dokter kan?” Dokter Andre tergelak

“Nah gitu dong, semoga kamu lolos seleksi ya. Besok ketemu saya di ruang operasi. Nggak usah  takut, nggak sakit kok” dokter itu berkelakar lalu keluar. Dokter, saya sudah tidak peduli sakit atau tidak pasca operasi nanti saya hanya ingin sembuh.


Aku diberi baju pasien. Aku harus memakainya untuk kemudahan penangannan, awalnya aku menolak, aku lebih nyaman memakai baju panjangku daripada baju itu. Baju itu lebih mirip baju adikku saat cukur di tukang cukur, lengannya pendek dan bagian belakang bertali-tali. Akhirnya aku tak bisa menolak lagi karena ini untuk kemudahan penanganan.

“Saya mau pakai pakaian ini asalkan saya tetap memakai jilbab” perawat perempuan itu menyetujui. Lalu ibuku mulai membantuku untuk mengikat bagian belakang bajuku dan mengenakan jilbab padaku. Tak lama seorang perawat lelaki datang, ia memabawa sepaket meja susun. Isinya selang, infus jarum dan obat-obatan lain.

“Saya infus ya Mbak Rizza, nanti baru pindah ke kamar perawatan. Sekarang kamarnya masih ada yang menempati. Ini agak sakit, jarumnya agak besar ya, tahan!”

Bismillah. Allah aku pasrah. Kulihat jarum itu menusuk pergelangan tangan kiriku. Ada rasa perih dan mengganjal di pergelangan tangan itu. Sakit! Kurasakan memang jarumnya besar. Perawat itu mengatakan untuk pasien bedah, jarum yang digunakan memang besar karena untuk masuknya cairan obat yang beragam.

Sesaat setelah perawat itu pergi, aku hanya memandangi ibuku yang sejak tadi meringis-meringis. Beliau memang tidak tegaan, apalagi kalau sudah berhadapan pada luka dan jarum.

“Aku ora opo-opo Buk, gak loro kok, biasa ae, mek ngganjel thok” ibuku tak harus tahu kalau saat itu pergelangan tanganku terutama pembuluh darah itu seperti tertarik-tarik. Mungkin ia sedang menyesuaikan dengan benda asing berupa jarum itu. Aku menahan perihnya dalam pejam.

Tak lama, aku mendengar hapeku berbunyi. Ada miscall dan sms. Ibuku hendak mengambilkannya untukku. Tapi aku menolak. “Bene Buk, biarkan, matikan saja dan masukkan tas biar dibawa Faisal pulang ke rumah”

Aku tahu darimu, tapi maaf untuk saat ini aku belum bisa membalasnya. Terima kasih doanya, Mas, Mbak. Semuanya

Allah, izinkan aku bisa membalas sms mereka yang mendoakanku, izinkkan aku memenuhi janji-janji yang belum terpenuhi, menyelesaikan amanah-amanah yang belum kuselesaikan. Allah aku masih ingin menulis banyak hal lagi. Izinkan aku masih bisa menulis lagi.

Aku berada di IGD sampai pukul satu malam. Aku sudah pulas dengan tangan terinfus ketika ibu membangunkanku. Ya Allah, berarti sejak tadi ibuku tidur di kursi tunggu demi menjagaku, sementara Faisal dan Farid pulang, karena ayah pasti capek duduk lama di mobil. Dua perawat datang membawa ranjang beroda untuk memindahkanku ke ruang rawat inap.

Pelan-pelan aku berpindah, aku dibawa melewati lorong-lorong rumah sakit. Lampu lorong-lorong ini memang terang tapi bagiku mencekam. Bagaimana tidak, biasaya aku ,melihat orang dalam ranjang beroda jika menunggui ayah dulu. Sekarang aku sendiri di atas ranjang itu. Apalagi angin tengah malam ini begitu dingin. 








Tidak ada komentar:

Posting Komentar