Selasa, 04 November 2014

Diary Appendectomy #14 : Belajar Duduk, Belajar Berjalan. Masa Pemulihan yang Panjang



Di rumah aku harus benar-benar mulai belajar dari awal lagi. Belajar berjalan, belajar duduk. Karena nyeri aku berjalan trantanan. Berpegangan pada tembok dan apa saja yang bisa kupegang. Aku baru bisa berjalan tanpa trantanan sekitar empat hari setelah pulang dari rumah sakit. Itu pun masih jalan pelan-pelan. Seperti ibu baru melahirkan.

Begitupun duduk. Aku harus belajar duduk tegak. Harus ada sandarannya. Entah kenapa setelah pulang dari rumah sakit. Pegal di pundak dan pinggangku terasa lagi. Padahal sebelumnya sudah tidak terasa. Aku harus duduk tegak. Makanya aku kadang-kadang duduk di kursi roda ayah jika ayah sedang tertidur di kamar. Dengan duduk di kursi roda itu aku bisa duduk tegak dan tanganku juga nyaman. Tapi setelah ayah membutuhan kursi roda itu aku pun harus duduk di kursi yang lain. Tapi tetap ada sandarannya.

Pernah teman ibuku datang. Aku sedang duduk di kursi yang miring ke belakang. Agar sejajar kutambah bantal sebagai sandaran. Saat melihatku duduk dengan cara seperti itu. Teman ibuku nyeletuk, “Bibar babaran to Mbak?”


 Baru melahirkan ya Mbak. Ibu dan aku tertawa. Meski tentu saja tawaku tak setergelak dulu. Pasca operasi ini aku benar belajar menjadi gadis yang halus. Berjalannya pelan, duduk pun harus pelan, pun tertawa hanya bisa tersenyum saja. Karena jika aku terbahak, perutku akan terguncang dan itu amat menyakitkan.

Sholat kulakukan dengan duduk, tapi kali ini aku tak tayamum lagi. Aku berwudhu di kran kamar mandi. Selama dua minggu pasca operasi aku sholat dengan duduk tanpa mukena, aku hanya pakai baju tertutup, jilbab, lalu bagian kakiku kututupi dengan sajadah. Allah pasti tahu. Aku kesusahan mengenakan mukena, pun melepasnya.

Hal yang paling menyakitkan setelah pulang ke rumah adalah bangun dari tempat tidur saat pagi. Rasanyaperutku ini benar-benar nyeri, menegang , campur aduk. Aku membutuhkan sekitar lima menit untuk bangun dari tidur dan menurunkan kakiku ke lantai. Semuanya kulakukan sendiri tanpa bantuan suster lagi seperti saat di rumah sakit. Tapi aku sama sekali tidak menangis. Justru karena nyeri setiap bangun tidur itu aku semakin merasa dekat dengan Allah. Setiap nyeri dan tegang di perut kurasakan aku mengucap asmanya dan beristighfar. Allah, apakah ini caramu agar aku memperbanyak menyebut asma-Mu?

Tapi, hal yang paling menyenangkan untukku adalah berangkat tidur atau tertidur. Karena hanya tidurlah yang membuatku tidak merasa nyeri lagi, perih lagi. Aku berangkat tidur dengan senyuman dan bangun dengan rintihan. Selama dua minggu pekerjaanku hanya makan, minum obat, duduk-duduk, ke kamar mandi lalu tidur. Sehari aku bisa tidur hingga lima kali! Obat-obatan itu telah membuat mataku mengantuk sekali. Tak jarang aku tertidur di kursi roda ayah dan tertidur di depan televisi dengan posisi duduk.

Ada satu hal yang paling membuatku bertanya-tanya. Kenapa aku terus beser? Hingga hari kesepuluh pasca operasi, aku selalu ke kamar mandi tiga menit setelah minum air putih. Benar-benar tidak bisa ditahan. Seperti sudah berada dipucuk dan ingin segera keluar. Setelah kencing aku minum lagi segelas dan merasa kebelet kencing lagi. Yang dikeluarkan lebih dari segelas. Dalam sehari aku bisa 20 kali ke kamar mandi. Ya, aku masih kencing dengan berdiri tentu saja. Untuk BAB alhamdulillah di rumahku ada WC duduk. Setelah ayah menderita stroke dan tak bisa jongkok. WC di rumahku di rubah menjadi WC duduk. Meski Faisal dan Farid tak pernah bisa BAB disitu. Kata mereka kalau tak jongkok tak bisa keluar. Untuk BAB, meski dengan duduk, aku masih merasakan perutku mengencang dan nyeri saat harus mengejan.

Kadang aku iseng membuka laptop, ingin menulis sesuatu, baru dua paragraf saja pinggangku sudah pegal, perutku menegang, akhirnya kumatikan dan aku kembali berbaring. Padahal sudah ingin sekali menulis. Tapi rupanya  harus bersabar lebih lama lagi. Aku hanya melihat hape saja, tapi membuka hape dan terkena cahaya membuatku pusing. Jika ada sms hanya kubalas sekenanya selanjutnya kututup dan kembali berbaring.

Belajar duduk, belajar bangun dari tidur, belajar jalan, belajar jongkok. BAB dan kencing yang terlalu sering membuat hariku sibuk meski nyatanya aku tak punya pekerjaan. Perjuangan masih belum usai Rizza!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar