Senin 11 Agustus 2014, pagi-pagi benar aku sudah membangungkan Faisal adikku. Setengah kupaksa, karena ia benar-benar susah sekali debangunkan. Hari ini aku berencana USG. Bukan untuk melihat janin yang bergerak-gerak seperti di sinetron tivi, tapi untuk menguatkan diagnosa dokter IGD bahwa aku menderita appendicitis
Jarak rumahku yang ndeso dan RS Baptis yang berada di
pinggiran Kota Kediri sekitar 20 km. Cukup jauh, jika tak berangkat pagi benar,
aku akan sampai disana siang dan itu pasti antre panjang. Apa mau dikata, aku
baru bisa berangkat pukul sembilan pagi karena kesibukan rumah dan Faisal yang
juga sibuk. Tak apalah, yang penting berangkat.
Faisal menurunkan aku di halaman
rumah sakit gedung Instalasi Rawat Jalan lalu pergi ke rumah temannya. Ia
memang tak sabaran jika disuruh menunggu, pun aku juga tak nyaman ditunggu
orang yang terus-terusan menggerundal. Bisa stress aku nanti. Sebagai kakaknya,
aku sudah paham 100 % tabiat adikku. Lebih baik aku sendiri.
Setelah mengambil nomer antrian
dan memberikan pada perawat. Aku mulai antri, menanti namaku disebut untuk
kemudian menimbang berat badan dan tensi. Setiap pasien rawat jalan wajib
menempuh prosedur ini sebelum nanti bertemu dengan dokter. Kali ini pasien
memamg sangat banyak, mungkin karena aku yang berangkat kesiangan. Dua jam
menunggu, namaku dipanggil. Menjalani timbang berat badan dan tensi. Setelah
itu menunggu lagi. Antri lagi untuk bertemu dengan dokter.
Aku memang tak suka menunggu
lama, tapi kali ini tak ada cara lain kecuali mematuhinya. Toh aku tak sendiri,
ada puluhan orang yang mengantri. Jika aku bosan, mereka juga, jika aku
bertanya “Kapan giliranku?” mereka pun bertanya hal yang sama. Kugunakan waktu
membosankan ini untuk bercengkrama, bertanya dengan orang-orang disampingku
tentang apa keluhanya, siapa dokternya, dimana rumahnya dan banyak lagi. Disaat
seperti ini menjadi orang kepo banyak untungnya. Menambah kenalan, pengetahuan
dan mengasah kepekaan.
Sejam menunggu, perawat memanggil
namaku, membawaku menuju lorong-lorong rumah sakit dan naik ke lantai 3 menemui
dokter. Aku baru tahu dokter yang nanti menanganiku adalah dr. Dominggus
Langgar, nama yang aneh di telingaku. Rupanya peraturan rumah sakit masa ini
adalah pasien berhak memilih siapa
dokter yang hendak menanganinya, karena aku tak tahu menahu track record-nya bahkan sama sekali tak
mengenal masing-masing dokter. Akhirnya, saat timbang berat badan dan tensi
tadi kubilang “Dokter siapa saja deh, yang penting dapat menyembuhkan penyakit
saya”
Bertemu dengan dokter itu,
perawakannya tak terlalu tinggi agak gemuk. Rambutnya putih dan kacamatanya
melorot. Ahaa... bayangan dokter dikepalaku selalu begitu, dokter yang
menangani ayahku juga begitu. Sejauh ini aku hanya melihat dokter muda bernama
dr. Ryan Thamrin host Dokter Oz Indonesia yang sering kutonton. Selebihnya, bayanganku tentang dokter masih
sama. Beruban, agak gemuk dan kacamatanya melorot. Maafkan jika aku salah
menafsirkan, tapi memang begitulah yang kulihat. Meski begitu, aku selalu
mengagumi profesi dokter. Ayahku selamat karena dokter yang bertindak cepat,
aku berhasil hidup meski hanya berberat 18 ons karena dokter yang berani
mengambil tindakan beresiko. Dari tangan dinginnyalah ribuan nyawa
terselamatkan, jurusan kedokteran menjadi jurusan prestisius yang diperebutkan.
Oh dokter!
Setelah aku berbaring, ia
memegang perutku. Lalu memerintahkan perawat menjadwalkan aku USG. Rupanya hari
itu aku memang kurang beruntung, setelah dari pagi hari mengantri, ternyata jadwal
USG penuh hingga sore. Dan perawat pun menjadwalkan aku USG besok, setelah
sebelumnya menginformasikan biaya USG, jika aku setuju maka aku akan
dijadwalkan untuk USG besok. Biayanya 350.000. Tanpa pikir panjang aku
menyanggupi, tabunganku dari jualan insyaallah cukup.
“Besok lama tidak kalau USG?”
tanyaku pada perawat yang menanganiku
“Tidak, Cuma sebentar kok”
“Harus bertemu dokter lagi?”
“Iyalah Mbak, kan harus di
konsultasikan hasilnya”
“Sampai pukul sebelas siang tidak
ya? Soalnya saya harus ke Jogja pukul 11.20 naik kereta”
“Oh begitu, ya sudah besok saya
majukan jadwalnya”
Esoknya, aku berangkat pagi sekali. Kali ini tak
boleh kesiangan lagi. Tepat pukul tujuh pagi aku sudah duduk di ruang tunggu
blok B, menanti namaku terpanggil. Masih sangat pagi, belum banyak yang antri.
Aku mendapat nomer 16. Bukan jumlah yang banyak, tapi lumayan lama untuk
mengantri. Aku hanya berdoa, semoga seluruh rangkaian pemeriksaan hari ini
selesai sebelum pukul sebelas siang, atau aku akan ketinggalan kereta menuju
Jogja.
Sudah kubawa tas ransel, berisi
satu daster, dua atasan dan satu rok dan barang pribadi plus alat mandi. Ada buku yang hendak kukhatamkan. Kertas,
pena, powerbank ,dompet dan snack oleh-oleh untuk Mbak Rahma, sepupuku yang
menyelesaikan S1nya di filsafat UGM. Tak lama aku berencana kesana, hanya dua
hari saja. Buat apa bawa barang banyak? Simpel saja.
Kuhabiskan waktu tunggu dengan membaca
buku, sesekali melirik ke TV plasma yang menayangkan Apa Kabar Indonesia TV
One, mengabarkan sidang MK yang kian memanas. Aku sempat dibuat kaget ketika
asyik menyimak berita TV, tiba-tiba TV itu mati lalu hening. Perawat yang
sebelumnya melayani timbang-tensi menghentikan tugasnya. Hening. Ada apa?
Segerombol bapak dan ibu yang
berseragam perawat masuk. Salah satu dari mereka membawa gitar dan yang lain
membawa buku kecil seukuran buku yassin. Oh, rupanya mereka hendak berdoa,
lebih tepatnya mengajak kami pasien rawat jalan ini berdoa. Melalui lagu-lagu
rohani yang diucapkan, serupa puji-pujian di masjid jika hendak shalat, tapi
nadanya lain dan tak kupahami dengan jelas maksudnya.
Aku lupa kalau ini rumah sakit
kristiani, rupanya setiap jam delapan pagi mereka menggelar pelayanan doa. Jujur
saja, ini kali pertama aku melihat umat kristiani berdoa secara langsung,
sebelumnya aku hanya melihatnya di film hollywood atau india. Di telingaku, hal
ini lebih terdengar sebagai nyanyian dibandingkan doa. Tapi bukankah doa bisa
dilakukan dengan cara apa saja? Begitupun diriku. Kurapal al-fatihah dan
istighfar berkali-kali, mengucap sholawat nabi lalu meminta Allah memudahkan
urusanku, menyembuhkan sakitku dan menguatkanku menghadapi ujian ini. Ini
caraku berdoa.
Tak lama perawat memanggilku,
mengajakku kembali menyusuri lorong rumah sakit. Kali ini berbeda dengan kemarin.
Ini yang kusuka, mengembara dan hal baru. Perawat itu menayakan apakah aku
sudah membawa air minum? Oh, aku lupa, benar- benar lupa! Kemarin perawat memerintahkan aku membawa air
minum, karena sebelum USG, pasien harus minum air yang banyak lalu menahan
kencing. Sebuah prosedur kesehatan yang unik. Diam-diam aku bersyukur beberapa hari ini bisa
dolan ke rumah sakit ini. Kalau
tidak, aku tidak akan pernah berani periksa ini dan itu sendirian, tidak akan
pernah melihat kegiatan umat kristiani berdoa secara langsung, tidak
bercengkrama dengan banyak orang. Allah, dibalik sakitku, Kau masih menyelipkan
nikmat ini. Terima kasih!
Di ruang USG, kulihat alat USG
yang sebelumnya hanya kulihat di TV. Oya, bagi yang belum tahu USG itu
singkatan dari Ultrasonografi. Di
dalam ruangan ini hanya ada satu dokter lelaki dan perawat perempuan. Perawat
memintaku untuk berbaring, menyelimutiku, lalu memerintahkan aku membuka
perutku. Agak lebar, karena kali ini benar-benar akan diperiksa secara teknis
dan alat canggih, tak
hanya kasat mata, seperti dokter di IGD dan dokter Domiggus kemarin.
Perawat memintaku untuk menaruh
tanganku ke atas, berpegangan pada besi ranjang. Lalu dokter menyalakan alat
USG itu, mengolesi permukaannya dengan gel lalu memainkannya di atas permukaan
peutku. Jika sebelumnya aku melihat di TV ibu hamil yang menjalani USG itu
senyum-senyum bersama suaminya melihan
gambar jabang bayinya tapi tidak denganku. Aku kelojotan, merasakan nyeri yang
amat sangat saat alat itu berjalan di permukaan perutku. Terutama di perut
bagian kanan bawah yang sejak kemarin nyeri. Tapi kali ini, nyerinya dua puluh
kali lebih hebat dari sebelumnya.
“Apakah haidmu lancar? Rutin tiap
bulan?”
“Iya, lancar Dok, rutin” jawabku
sambil meringis kesakitan. Lalu dokter itu diam lagi.
“Kamu nahan kencing ya?” tanyanya
“Iya”
“Kencing dulu ya, nanti saya USG
lagi. Kalau nahan pipis memang akhirnya sakit sekali” aku menuruti perintahnya,
dalam hati aku bertanya, bukankah tadi aku disuruh minum banyak lalu menahan
pipis?
Setelah selesai dari kamar mandi,
aku kembali berbaring dan meletakkan tanganku di atas kepala, memagang besi
ranjang seperti tadi. Kali ini kuharap tidak sakit lagi. Ternyata tidak,
sakitnya semakin menjadi. Aku benar-benar kesakitan. Anehnya aku tak menangis!
Belum pernah aku merasakan nyeri yang begitu hebat, hingga aku lupa cara
menangis. Aku hanya mengucap istighfar dalam hati, karena kutahu, jika
terdengar mereka akan terasa aneh, karena mereka kristiani. Astagfirullah, sakit sekali!
Sesekali kulirik layar USG,
tampak ada penampang uterus disana, selebihnya aku tak tahu namanya. Lalu
dokter menekan tombol dan gambar itu mengecil. Mungkin itu tombol capture. Setengah jam kemudian aku
keluar ruang USG dengan masih merasakan nyeri di perutku. Kok bisa ya, tersentuh
alat itu rasanya lebih menyiksa daripada perut ini dalam keadaan biasa? Dalam keadaan biasa nyeri
itu ada tapi tak sehebat di ruang USG tadi. Kelak, semoga Allah mengizinkan aku
kembali ke ruang USG itu bersama suamiku dan calon bayi dalam rahimku. Bukan
menangis kesakitan, tapi menagis haru melihat gerak lincah buah hati kami di
layar itu. Lalu suamiku menghadiahi kecupan di keningku. Ah… rupanya aku kebanyakan nonton film india,
tapi memang adegan pasangan dengan kehamilan
yang melihat janin di depan layar USG itu so
sweet menurutku. Semoga!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar