"Besok pagi kamu ke Mbah Tris ya Nduk,
rewang"
"Oh, besok sudah empat puluh hariannya Mbah Dayah ya Bu?"
"Iya, kamu saja yang kesana, ibu bantu buat kue di rumah,
lagian siang harinya kan jadwalnya ke rumah sakit
to?"
Aku baru ingat, kalau hari ini hari Jum'at, Selasa dan Jum'at adalah hari
wajib ibu mendampingi ayah pergi ke rumah sakit untuk menjalani cuci darah,
biasanya berangkat dari rumah pukul dua siang dan pulang pukul delapan. Seperti
halnya sholat lima waktu, cuci darah adalah ritual wajib ayah sejak lima bulan
lalu. Aku juga merasa waktu cepat sekali. Rasanya, baru kemarin tujuh harian
sekarang sudah empat puluh harian. Hmm... cepatnya waktu ini.
Beginilah orang desa, jika ada tetangganya -apalagi yang masih terhitung
saudara- punya
gawe sederhana saja, semuanya langsung tahu, tanpa
diminta pun langsung membantu sebisanya. Kebetulan kultur di desaku ini masih
mengenal tujuh harian, empat puluh harian, seratus harian, seribu bahkan ada
khol
mungkin dari kata
haul yang artinya sudah masuk satu tahun
meninggalnya seseorang. Aku pun paham dalam islam tak ada syariat ritual itu,
yang ada hanya mendoakan, tapi sebagai pemuda aku hanya menjadi warga yang baik
dengan berpartisipasi dengan kegiatan kemasyarakatan. Toh, intinya tetap
mendoakan, hanya caranya saja yang macam-macam, intinya tetap sedekah, hanya
bentuknya saja yang berbeda. Aku menganggapnya sebagai budaya yang baik. Islam
di Indonesia memang kaya budaya bukan?
Dalam kesempatan seperti ini, ada banyak hal yang bisa kupelajari. Apa itu?
Pertama, resep masakan. Kedua, pengalaman hidup. Kebanyakan dari mereka sudah
berusia tiga puluh tahunan ke atas,
bulik bulikku sendiri, yang
berusia tanggung mungkin hanya aku, sementara yang lebih muda dari aku masih
SD. Pastinya banyak hal yang bisa kudapatkan, pengalaman hidup mereka para
pendahulu itu bisa dijadikan pelajaran.
Saat masak masak dan buat kue bersama itulah terjadi banyak
perbincangan. Ada yang bilang perempuan itu tak bisa diam, sellau bicara, aku
memaklumi kalau akhirnya mereka banyak bercerita dan aku hanya bisa
mendengarkan. Yang paling banyak dibahas adalah masalah pemilihan presiden.
"
Sampeyan wingi nyoblos sopo?" Aha, ternyata tak hanya media
sosial dan media massa saja yang rame berbincang pilpres, ibu-ibu masak pun
juga punya
interest yang sama, meski yang di bahas sangat sederhana.
Siapa milih siapa dan siapa yang menang itu saja. Memang pilpres kali ini
begitu menarik perhatian banyak kalangan.
Dalam perbincangan itu pula saya mendengar "
Eh enek perang eneh
lho, kuwi lho Palestina musuh Israel. Mesakne akeh sing mati cah
cilik-cilik"
"Lha iyo, jaman saiki kok sek enek perang yo, kurang penggawean,
poso-poso pisan" Hanya sebatas itu, lalu tak ada kelanjutan lagi, aku
sempat berharap mereka akan mengutuk habis-habisan, lalu mereka akan melakukan
tindakan mulia dengan
urunan bantuan untuk Gaza, tapi ternyata
pembicaraan itu hanya berhenti disitu dan balik lagi ke topik
"milih
presiden sopo?" topik ini lebih legit daripada konflik Gaza.
Masyarakat desa masih tak kenal dengan Gaza, mungkin yang diingat hanya
masjidil aqsha, tempat Nabi singga
h pada peristiwa Isra' Mi'raj yang
sering mereka dengar di pengajian atau khotbah Jum'at. Hanya itu.
Jika mayarakat kota yang peduli dengan Gaza, sampai banyak lembaga yang
menarik dana bantuan untuk Gaza. Banyak yang mengecam dan banyak pula yang
mengirim relawan. Pengabdian mulia untuk orang-orang yang mengerti perjuangan
Islam, tapi untuk orang desa, mereka belum mengenal Gaza dengan baik, beruntung
masih ada imam shalat Jum'at yang mengingatkan untuk shalat ghaib bagi
syahid-syahidah di Gaza.
Meski begitu, aku yakin doa untuk masyarakat Gaza terucao dari mulut mereka,
tiap selesai shalat, tiap, tahlilan, tiap yasinan. Bukankah masyarakat Gaza
muslimin dan muslimat? Doa untuk muslimin dan muslimat selalu terucap bukan?
Pasti doa-doa dari orang desa itu sampai ke Gaza. Aku yakin itu.
Doa-doa yang terucap dari orang-orang sederhana, yang hidupnya hanya
dihabiskan untuk bekerja, merawat anak, shalat jamaah dan mengikuti kegiatan
rutinan kampung. Orang-orang yang tak pernah neko-neko dengan hidup.
Gaza sekarang memang berduka, banyak yang mengecam dan menggalang bantuan
dana, aku hanya berharap Palestina segera merdeka, agar tak ada lagi nyawa yang
hilang, air mata yang merucah dan kecaman serta hujatan dari penjuru
dunia. Allah akan catat setiap perjuangan itu, juga setiap bantuan yang
diberikan. Relawan yang punya keberanian dan keikhlasan serta doa-doa yang
terucap tanpa putus.
Allahumagfir lil muslimin wal muslimat,
al-ahyaai minhum wal amwaat. Allahuma sahil umurona, sahil umurona fi dunya wal
akhiroh. Yang membaca tulisan ini sampai akhir, mari lafadzkan al-fatihah
untuk Gaza. Karena selemah-lemahnya usaha adalah doa.
Rizza Nasir
Kediri, 11 Juli 2014