Tampilkan postingan dengan label Culture. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Culture. Tampilkan semua postingan

Selasa, 28 Oktober 2014

TAKBIRAN SENDIRIAN




Takbiran sendirian, tanpa ada ayah, ibu dan adik-adik. Menyesakkan memang, tapi inilah kenyataan. Mungkin juga ini satu alasan kenapa Indonesia begitu akrab dengan tradisi mudik menjelang hari raya Idain. Karena mereka tak ingin takbiran sendirian dan tak ingin diselimuti kerinduan menyesakkan.

Bagi orang lain, mungkin Idul Adha tak sesakral Idul Fitri, yang harus bersama keluarga, bela-belain pulang meski harus berdesakan, meski harga tiket mahal. Tapi bagiku Id tetap Id. Takbiran tetap tetap takbiran. Dua hari raya ini begitu istimewa, tapi kali ini terasa sangat berbeda.

Biasanya, malam Id, kami sekeluarga sudah sibuk dengan pekerjaan kami. Faisal dan Farid, menyapu halaman, mengepel lantai, membersihkan kaca, atau menata karpet untuk tetamu, sedangkan aku dan Ibu, menyapu rumah, membersihkan meja-meja, menggantinya dengan taplak cantik lalu menata hidangan di atasnya. Sehari atau dua hari sebelumnya, biasanya kami sibuk membuat kue kering rupa-rupa. Jika semua itu sudah selesai, baju-baju untuk shalat Id menunggu disentuh. Koko atau hem Faisal dan Farid, Koko Ayah, sarung mereka, baju ibu dan bajuku harus disetrika,  kalau perlu disemprot dengan pewangi. Semua itu sudah menjadi kebiasaan tiap tahun. 

Malam ini, tak ada semua itu. 

Jumat, 11 Juli 2014

ORANG DESA TAK KENAL GAZA



"Besok pagi kamu ke Mbah Tris ya Nduk, rewang"
"Oh, besok sudah empat puluh hariannya Mbah Dayah ya Bu?" 
"Iya, kamu saja yang kesana, ibu bantu buat kue di rumah, lagian siang harinya kan jadwalnya ke rumah sakit to?"

Aku baru ingat, kalau hari ini hari Jum'at, Selasa dan Jum'at adalah hari wajib ibu mendampingi ayah pergi ke rumah sakit untuk menjalani cuci darah, biasanya berangkat dari rumah pukul dua siang dan pulang pukul delapan. Seperti halnya sholat lima waktu, cuci darah adalah ritual wajib ayah sejak lima bulan lalu. Aku juga merasa waktu cepat sekali. Rasanya, baru kemarin tujuh harian sekarang sudah empat puluh harian. Hmm... cepatnya waktu ini.


Beginilah orang desa, jika ada tetangganya -apalagi yang masih terhitung saudara- punya gawe sederhana saja, semuanya langsung tahu, tanpa diminta pun langsung membantu sebisanya. Kebetulan kultur di desaku ini masih mengenal tujuh harian, empat puluh harian, seratus harian, seribu bahkan ada khol mungkin dari kata haul yang artinya sudah masuk satu tahun meninggalnya seseorang. Aku pun paham dalam islam tak ada syariat ritual itu, yang ada hanya mendoakan, tapi sebagai pemuda aku hanya menjadi warga yang baik dengan berpartisipasi dengan kegiatan kemasyarakatan. Toh, intinya tetap mendoakan, hanya caranya saja yang macam-macam, intinya tetap sedekah, hanya bentuknya saja yang berbeda. Aku menganggapnya sebagai budaya yang baik. Islam di Indonesia memang kaya budaya bukan?


Dalam kesempatan seperti ini, ada banyak hal yang bisa kupelajari. Apa itu? Pertama, resep masakan. Kedua, pengalaman hidup. Kebanyakan dari mereka sudah berusia tiga puluh tahunan ke atas, bulik bulikku sendiri, yang berusia tanggung mungkin hanya aku, sementara yang lebih muda dari aku masih SD. Pastinya banyak hal yang bisa kudapatkan, pengalaman hidup mereka para pendahulu itu bisa dijadikan pelajaran.


Saat masak masak dan buat kue bersama  itulah terjadi banyak perbincangan. Ada yang bilang perempuan itu tak bisa diam, sellau bicara, aku memaklumi kalau akhirnya mereka banyak bercerita dan aku hanya bisa mendengarkan. Yang paling banyak dibahas adalah masalah pemilihan presiden. "Sampeyan wingi nyoblos sopo?" Aha, ternyata tak hanya media sosial dan media massa saja yang rame berbincang pilpres, ibu-ibu masak pun juga punya interest yang sama, meski yang di bahas sangat sederhana. Siapa milih siapa dan siapa yang menang itu saja. Memang pilpres kali ini begitu menarik perhatian banyak kalangan.


Dalam perbincangan itu pula saya mendengar "Eh enek perang eneh lho, kuwi lho Palestina musuh Israel. Mesakne akeh sing mati cah cilik-cilik"

"Lha iyo, jaman saiki kok sek enek perang yo, kurang penggawean, poso-poso pisan" Hanya sebatas itu, lalu tak ada kelanjutan lagi, aku sempat berharap mereka akan mengutuk habis-habisan, lalu mereka akan melakukan tindakan mulia dengan urunan bantuan untuk Gaza, tapi ternyata pembicaraan itu hanya berhenti disitu dan balik lagi ke topik "milih presiden sopo?" topik ini lebih legit daripada konflik Gaza. Masyarakat desa masih tak kenal dengan Gaza, mungkin yang diingat hanya masjidil aqsha, tempat Nabi singgah pada peristiwa Isra' Mi'raj yang sering mereka dengar di pengajian atau khotbah Jum'at. Hanya itu.


Jika mayarakat kota yang peduli dengan Gaza, sampai banyak lembaga yang menarik dana bantuan untuk Gaza. Banyak yang mengecam dan banyak pula yang mengirim relawan. Pengabdian mulia untuk orang-orang yang mengerti perjuangan Islam, tapi untuk orang desa, mereka belum mengenal Gaza dengan baik, beruntung masih ada imam shalat Jum'at yang mengingatkan untuk shalat ghaib bagi syahid-syahidah di Gaza.


Meski begitu, aku yakin doa untuk masyarakat Gaza terucao dari mulut mereka, tiap selesai shalat, tiap, tahlilan, tiap yasinan. Bukankah masyarakat Gaza muslimin dan muslimat? Doa untuk muslimin dan muslimat selalu terucap bukan? Pasti doa-doa dari orang desa itu sampai ke Gaza. Aku yakin itu.
Doa-doa yang terucap dari orang-orang sederhana, yang hidupnya hanya dihabiskan untuk bekerja, merawat anak, shalat jamaah dan mengikuti kegiatan rutinan kampung. Orang-orang yang tak pernah neko-neko dengan hidup.


Gaza sekarang memang berduka, banyak yang mengecam dan menggalang bantuan dana, aku hanya berharap Palestina segera merdeka, agar tak ada lagi nyawa yang hilang, air mata yang merucah dan kecaman serta hujatan  dari penjuru dunia. Allah akan catat setiap perjuangan itu, juga setiap bantuan yang diberikan. Relawan yang punya keberanian dan keikhlasan serta doa-doa yang terucap tanpa putus.  Allahumagfir lil muslimin wal muslimat, al-ahyaai minhum wal amwaat. Allahuma sahil umurona, sahil umurona fi dunya wal akhiroh. Yang membaca tulisan ini sampai akhir, mari lafadzkan al-fatihah untuk Gaza. Karena selemah-lemahnya usaha adalah doa.


Rizza Nasir

Kediri, 11 Juli 2014

Jumat, 04 Juli 2014

Kenangan Sahur



Adik saya Farid, sejak semalam sebelum ramadhan tiba, sudah berpesan pada seluruh keluarga saya. mulai dari ayah, ibu, saya dan Faisal. Pesannya sama
"Bangunkam aku jam 12 malam ya"
"Mau ngapain?"
"Ya ronda dong, gimana sih" kami pun mafhum, meronda adalah ritual wajib yang diikuti Farid sejak 4 tahun terakhir. Dulu adik tengah saya, Faisal juga melakukan hal yang sama, tapi sejak dia lulus SD dan harus hidup di pondok, dia mengakhiri kebiasaannya meronda bersama teman-temannya. Sekarang kebiasaan itu di'wariskan' pada Farid. Masih sama, "bangunkan aku pukul 12 malam"

Di tempat tinggal saya, tepatnya Dukuh Bendo, Dusun Sagi, Desa Jarak, Kabupaten Kediri anak-anak lelaki mulai ikut meronda, setahu saya yang paling kecil usia 9 tahun, sudah mulai ikut-ikutan ronda malam. Membangunkan para penduduk sahur. Saya tidak tahu, kenapa adik-adik saya, Faisal dan Farid, selalu minta dibangunkan pukul 12 malam, untuk mengikuti ronda, padahal jeda antara pukul 12 malam dengan pukul 3 pagi waktu sahur masih tiga jam lagi. Mungkin itu sudah menjadi kebiasaan atau ada semacam perjanjian diantara kelompok itu.

Senin, 30 Juni 2014

Semalam Sebelum Ramadhan



Semalam sebelum ramadhan, adalah malam yang paling saya  tunggu-tunggu. Apakah saya masih hidup saat adzan Maghrib terakhir di bulan Sya’ban? Siang tadi aku mendengar ceramah dari ustadz Maulana di tivi. Jika mendengar seruan adzan Maghrib di akhir bulan Sya’ban, maka disunahkan berdoa, “Marhaban Ya Ramadhan” lalu sujud syukur dan mulai berniat puasa untuk satu bulan ke depan, disusul doa agar kita dikuatkan untuk menjalani semua amalan di bulan Ramadhan.


Semalam sebelum ramadhan pula, masjid selalu ramai. Setelah sholat Maghrib pasti ada para ibu membawa buceng. Buceng itu adalah makanan berupa nasi dan lauk pauknya yang ditempatkan di nampan. Setelah berdoa bersama, maka buceng ini akan kami makan bersama pula. Dalam tradisi, makanan yang dibawa ke masjid untuk dimakan bersama ini dinamakan mengengan. Setahu saya mengengan berasal dari kata Megeng yang artinya mempersiapkan, atau menahan. Mempersiapkan diri menyambut bulan ramadhan dan mempersiapkan diri pula melaksanakan puasa selama satu bulan penuh dengan menahan lapar dan terus berlomba dalam kebaikan.

Selasa, 14 Januari 2014

Muludan, Berkatan dan Jenang Abang

Saya melihat di kalender, ternyata hari ini tanggal merah. Sejak tidak ada lagi jadwal kuliah, saya sering lupa tentang hari, tanggal dan moment apa yang terjadi. Saya hanya ingat hari ini Maulid nabi. Saya teringat dulu saat saya masih SD, hari maulid nabi seperti ini adalah hari yang sangat menyenangkan. Kenapa? Karena di hari ini saya tak memakai baju seragam sekolah.

Ya, jujur saya bosan dengan seragam merah putih juga seragam lainnya, yang harus saya pakai, makanya setiap moment seperti ini saya senang karena saya bisa memakai baju bebas. Busana muslim, begitu ibu saya memberitahu, setelan baju atasan dan bawahan panjang plus jilbabnya yang satu setel. Ya, seperti anak-anak jaman sekarang.

Di hari maulid seperti ini, kami akan mengadakan sholawat bersama di lapangan sekolah, lalu mendengarkan tauziah guru agama tentang maulid nabi. Shiroh nabawiyah, karena tauziah beliaulah saya tahu sejarah nabi, bahkan hapal di luar kepala karena setiap tahun yang dibicarakan selalu sama.

Setelah selesai bertauziah, kami bersalam-salaman kemudian berlari masuk ke kelas dan membuka berkat. Berkat itu adalah sebutan untuk makanan yang kami bawa dari rumah. Biasanya ibu tidak hanya membawakan satu berkat untuk saya tapi dua. Satu untuk saya, satu untuk wali kelas. Ada beberapa murid yang ibunya berlaku seperti ibu saya. Bisa dibayangkan betapa pebuhnya meja guru dengan berkat dari kami.

Selasa, 20 Agustus 2013

PESTA RAKYAT : MENGAJARKAN ANAK KOMPETISI SEHAT




Indnesia telah berusia 68 tahun kini, sebuah usia yang masuk kategori senja bagi manusia.  Setiap pertambahan usianya Indonesia selalu diwarnai berbagai perlombaan yang biasa kita sebut pesta rakyat atau agustusan. Bagi para pengamat atau pejabat pertambahann usia Indonesia selalu disibukkan untuk berkaca apa saja kemajuan yang telah diraih Indonesia seiring pertambahan usianya atau apa saja yang perlu dibenahi dan diinstropeksi agar kelemahan yang menelikung tak terulang lagi. Agaknya bagi rakyat biasa topik berat begini tak jadi soal. Mereka hanya ingin bergembira menyambut pertambahan usia negaranya.

Bagi anak-anak tentu saja moment tujuh belasan sangat dinanti. Tak hanya baris berbaris atau karnaval pakaian adat nasional, anak-anak bahkan orang dewasa menanti serunya lomba khas tujuh belasan itu. Ada lomba makan kerupuk, balap karung, bangkiak dobel dan yang paling puncak dan yang punya puncak tertinggi adalah panjat pinang. Perlombaan ini tentu banyak variasi di tiap tempat, banyak macamnya, apapun lombanya yang jelas rakyat bisa gembira.

Jumat, 02 Agustus 2013

Catatan Kecil) Bahasaku, Bahasamu, Bahasa Kita

 
Bicara soal bahasa. Banyak sekali saya dapati fenomena, seorang anak yang telah mahir berbahasa Indonesia, bahasa inggris atau bahasa arab saat pulang kampung ia seperti kehilangan identitasnya. Yang biasanya berbahasa jawa jadi berbahasa Indonesia, yang biasanya berbahasa krama dengan kerabat jadi berbahasa inggris atau berbahasa arab.


Sangat saya sayangkan jika ada anak atau pemuda yang setelah pulang kampung berubah 'sok' Sok Indonesia, keminggris dan ngarap. Sejatinya, esensi bahasa selain paham dan memahamkan lawan bicara juga berbahasa sesuai dengan tempat dan siapa lawan bicara kita dengan memerhatikan budaya berbahasa yang ada.

" Piye kabarmu Le cah ganteng?"

"Alhamdulillah baik banget tante"  atau begini" Alhamdulillah i'm fine"


Yang biasanya manggil dengan sebutan 'paklik', 'bulik', 'uda' jadi manggil 'om', 'tante'.  Mungkin keluarganya akan merasa 'wah' dengan perubahan anaknya dan si anak akan bangga karena pujian-pujian. Buat apa pujian jika melahirkan kesombongan dan melemahkan?


Lingkungan baru boleh merubah kita, ilmu kita boleh setinggi langit namun tempat dimana kita dilahirkan hanya butuh kita yang dulu, yang manis dan santun. Hanya butuh kita yang bisa bermasyarakat dengan baik, memberikan kontribusi nyata untuk dinamisasi masyarakat.  Ia tak akan menanyakan penghargaan apa saja yang telah kita dapatkan di luar sana atau seberapa banyak warna yang menempel di diri kita yang semula putih.


Mari berbahasa dengan santun, elegan dan menyatu dengan lingkungan. Asal kita, tempat kita dilahirkan dan tempat kita harus pulang.  Salam dari saya untuk keluarga kalian di rumah ya Kawan, selamat mudik. Hati-hati di jalan dan tetap semangat !!!!


Catatan Kecil Rizza Nasir



Senin, 08 Juli 2013

Eksotika Ramadhan Di Kampungku


Ramadhan adalah bulan yang begitu eksotik dari semua bulan yang ada di mataku. Kenapa? Karena ramadhan meninggalkan kenangan agung yang membekas di ingatan setiap muslim yang bertemu dengannya. Ramadhan di kampungku, sebuah desa kecil bernama Jarak terletak di bagian timur kabupaten Kediri. Di kampungku tanda ramadhan menyapa adalah adanya tradisi megengan. Megengan secara lughawi berarti menahan. Di dalam konteks puasa, maka yang dimaksud adalah menahan hawa nafsu selama bulan puasa. Secara simbolik, bahwa upacara megengan berarti menjadi penanda bahwa manusia akan memasuki bulan puasa sehingga harus menahan hawa nafsu, baik yang terkait dengan makan, minum, hubungan seksual dan nafsu lainnya., megeng berarti suatu penanda bagi orang Islam untuk melakukan persiapan secara khusus dalam menghadapi bulan yang sangat disucikan

Dua hari atau tiga hari menjelang ramadhan tiba penduduk desa mulai ramai megengan. Para ibu membawa sebakul nasi dan lauknya ke masjid. Setelah shalat maghrib berjamaah, seluruh jamaah berkumpul di masjid untuk berdoa bersama dan menyantap hidangan yang telah dibawa. Dalam satu malam biasanya sampai ada lima atau lebih bakul nasi. Makan bareng, dialasi daun pisang dan makan dengan tangan. Meski lauknya hanya urap-urap dan tempe kami cukup lahap. Tak jarang anak-anak berebut ayam jika ada salah satu dari bakul nasi itu berlauk ayam. Satu lagi yang khas dari megengan, yaitu kue apem dan pisang Hmmm…Alhamdulillah makan bareng di masjid begini adalah salah satu yang paling kurindukan. Kekeluargaan begitu terasa, makan seadanya diselingi berbagi cerita. Aiih…

Senin, 22 April 2013

SANGGUL KECILKU

Melihat gadis-gadis kecil bersanggul, bergincu merekah dan pakaian adat yang indah adalah pemandangan yang lazim terjadi setiap tahunnya di tanggal 21 April. Sebuah tanggal keramat yang dikultuskan sebagai hari emansipasi wanita. Wanita itu bernama Kartini yang fotonya anggun, berkebaya putih dan bersanggul. Kata anak-anak Kartini adalah putri sejati yang harum namanya sepanjang masa.

Pernah menikmati fenomena 21 April? Anak-anak berdandan sedemikian rupa, ada yang berpakaian tradisional aceh, jawa, Sumatra juga berpakaian sesuai profesi impiannya, Polisi, dokter dll. Mereka berbaris rapi , mengular memanjang membelah jalanan. Meskipun peluh membasah namun mereka tetap ceria dengan ‘pakaian kebesarannya’

Saya pribadi sangat terkesan dengan ‘suguhan kultural’ 21 April. Karnaval budaya dan cita-cita. Mengingatkan masa kecil dengan rutinitas yang sama. Anak-anak masa lalu dan anak-anak masa kini masih lekat mengenal 21 April sebagai Hari Kartini. Ya Kartini, Putri Indonesia yang harum namanya itu?