Setelah USG yang menyakitkan itu. Perawat membawaku ke ruang dokter. Dokter melihat lembar USG itu sekilas lalu menatapku lekat-lekat.
“Kamu
sendirian kesini?” tanyanya menyelidik
“Iya
Dok saya sendiri, katakana saja. Saya siap mendengarnya”
“Kalau
operasi kamu berani?”
“Apa
memang harus dioperasi Dok? Kalau minum obat saja bagaimana?”
“Hasil
USG ini menunjukkan kalau usus buntu kamu adalah usus buntu akut, harus segera
dioperasi”
“Ya
sudah Dok kalau memang begitu, saya siap dioperasi!”
“Baik.
Suster tolong siapkan kamar untuk Mbak Rizza ya”
Aku
tercenung, ngamar saiki?
Dok,
maaf tapi Mbak Rizza setengah 12 ini mau ke Jogja Dok, ada tes masuk S2”
“Kamu
mau tes S2 ya? Tidak bisa ditunda?”
Tidak
Dok ini gelombang terakhir, saya sudah lama ingin S2 Dok, saya harus ke Jogja
siang ini! Hanya dua hari saja, saya janji setelah tes selesai saya akan segera
ke rumah sakit menemui dokter. Setelah itu lakukan tugas Anda! Saya pasrah!
Tapi untuk sekarang izinkan saya ke Jogja dulu, saya ingin mencoba mewujudkan
impian saya untuk S2 sebelum saya mati”
Kulihat
dokter itu tercenung melihatku, mungkin dia heran, berani-beraninya aku berkata
sepanjang itu dan menolak sarannya, apa lagi dengan penyakit akut yang harus
segera dioperasi. Tapi sungguh, aku tak ada pilihan lain, aku benar-benar ingin
kuliah S2 dari dulu. Tapi justru di saat kesempatan itu datang, Allah
mengujiku, hingga aku harus memilih salah satu diantaranya. Aku tentu saja
memilih impianku untuk bisa kuliah S2 di kota Jogja, seperti yang sudah kutulis
di daftar impian beberapa tahun lalu.
“Darimana
kamu tahu kalau penyakit ini bisa berujung kematian?”
“Saya
sudah baca tentang appendicitis di google Dok, jadi saya sedikit tahu kalau
jika usus buntu ini nanti pecah, maka saya akan mati, karena penanganan dokter
akan sulit sekali. Saya janji, saya tidak akan membuat usus buntu ini pecah
Dok, saya akan hati-hati”
“Baiklah
Rizza, saya beri kamu resep obat yang harus kamu minum. Tapi ingat setelah tes
harus segera pulang ke Kediri dan langsung kesini!”
“Dokter
mengizinkan saya menunda operasi?”
“Iya!
Semoga usus buntu kamu tidak pecah” sumringah aku mendengar izin dokter itu!
“Saya
janji Dok! Oke saya pamit dulu ya Assa..” hampir saja aku mengucap salam.
Saking senangnya aku lupa kalau beliau kristiani dan ini rumah sakit Baptis.
perawat ke sebuah
ruangan. Disitulah kecerianku yang baru sesaat lalu itu hilang. Ia
memberitahukan biaya operasinya. Biaya yang cukup tinggi untuk keluargaku. Allah
tolong aku…
Untuk
pertama kalinya dalam hidupku naik kereta sendirian. Dulu saat masih kecil, aku
pernah naik kereta bersama keluargaku. Siang itu aku harus naik kereta seorang
diri dengan sebuah penyakit yang harus segera dioperasi, nyeri yang menusuk dan
pikiran yang yang semrawut setelah melihat rincian biaya operasi
Wes ora usah dipikir biayane Nduk. Wes enek. Ora
usah mikir macem-macem. Pikiren tes S2-mu kuwi. Lek wes mari, ndang muleh gek
operasi. Tak dongakne mugo-mugo lancar!
Itu
balasan sms ibuku saat aku menanyakan apakah ibu punya uang 7 juta untuk
operasi. Itu jika usus buntuku ini tidak pecah. Kalau pecah, maka biayanya 9 juta
itu baru operasinya saja, belum biaya kamar, obat-obatan, check up dan
lain-lain. Menerka totalnya sudah membuatku lemas.
Aku
benar-benar berada dalam kondisi yang antitesis. Di satu sisi aku senang karena
akhirnya diizinkan naik kereta sendirian setelah sekian lama. Di sisi lain aku
memikirkan biaya operasiku. Apa yang akan kurasakan nanti dan banyak lagi. Aku
benar-benar kalut!
Meski
begitu aku
bersyukur, karena dalam kondisi menderita usus buntu, dengan sakit yang hilang
timbul selama sepuluh hari, aku masih diberi kekuatan untuk melakukan
perjalanan dengan kereta ke Jogja. Saat kereta bergoyang, sakit di perutku
semakin menjadi, untung saja aku seorang diri, jadi tak ada kesempatan untukku
mengeluh pada siapapun, hanya merasakan sakit itu dalam diam dan doa. Allah kuatkan aku, aku mohon jangan biarkan
usus buntuku pecah karena perjalanan ini, kalau pecah biaya operasinya akan
semakin mahal.
Aku hanya mengelus-elus perut bagian
kanan seperti seorang ibu yang sedang hamil. Entah kenapa ketika aku
mengelusnya aku sedikit tenang, meski sakitnya masih hilang timbul. Berdamailah denganku hai usus buntu! Meski kereta
ini bergoyang dari tadi, jangan pecah dulu ya! Please! Aku seperti orang
gila berbicara lirih pada sesuatu menyakitkan di dalam sana, mengelus-elusnya
sampai aku tertidur.
Esoknya,
selama dua hari kuikuti tes seleksi dengan menahan sakit di bagian kanan bawah
perutku. Kujawab semampuku, sebisaku dan kuserahkan lainnya pada Allah. Allah, ini usahaku. Aku hanya bisa beberapa,
selebihnya maafkan aku! Aku hanya ingin segera pulang, ke rumah sakit dan
menjalani operasi, lalu sakit ini akan hilang. Hanya itu!
Dua
hari setelahnya, tepatnya tanggal 14 Agustus 2014, aku memutuskan pulang.
Setelah semua urusan ujian selesai, aku harus memenuhi janjiku pada dokter
Dominggus. Aku harus pulang, malam ini
juga, aku harus sampai di Kediri!
Jadwal
kereta tak memenuhi syarat untukku sampai di Kediri malam itu. Travel juga tak
memungkinan. Akhirnya aku memutuskan naik bus! Bersama dua teman baru yang
kukenal saat seleksi, aku nekat ke terminal Giwangan, mencari bus yang bisa
membawaku ke Kediri segera! Teman-teman baruku itu heran melihatku yang
tergesa-gesa pulang. Mereka ingin mengajakku dolan sebentar, cari kuliner atau
sekedar jalan-jalan. Setelah sampai terminal dan mendapatkan bus, aku baru
bercerita kalau aku mengidap usus buntu dan harus di operasi besok. Seperti
dugaanku, mereka kaget!
“Kamu
nekat Za!”, “Kamu nggak kesakitan sekarang?”
“Ya,
nekat, tapi Alhamdulillah dokter mengizinkan. Sekarang, sakit sih, tapi nggak
apa-apa besok juga sudah hilang kok sakitnya” Lalu untuk sesaat kami terlibat
diskusi seru, perjalanan ini akan memakan waktu 7 jam! Akan sangat membosankan
jika dilalui dalam diam.
Jogja, jika Allah merestui aku akan
kesini lagi bulan depan. Tapi untuk sekarang, aku harus berjuang untuk hal
lain. Semoga operasi ini berhasil!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar