Selasa, 04 November 2014

Diary Appendectomy #7 Rontgen Paru Jantung dan Konsultasi Anestesi


Ini alat rotgen paru dan jantung
Aku tidur nyenyak malam kemarin, meski sebelum tidur aku harus kelojotan lagi. Kenapa? Karena perawat meneteskan antibiotic di tangan kananku. Hanya setetes lalu dilingkari dengan spidol. Meski hanya setetes aku merasakan perih yang amat sangat. Jika biasanya aku hanya terdiam menahan perih tapi malam kemarin aku benar-benar mengaduh. Perawat menenangkan dan mengatakan kalau perih itu tak akan lama, hanya lima belas menit saja. Tes antibiotik ini untuk mengetahui antibiotik apa yang cocok untukku. Jika lingkaran spidol nanti berwarna merah, maka itu pertanda kalo anti biotik itu tak cocok untukku. Setelahnya perawat itu pergi meninggalkan aku yang masih meringis menahan panas dan perih.

Aku baru bangun saat Adzan Shubuh, aku terdiam mengamati setiap sudut ruangan. Hampir tak kupercaya kalau aku benar-benar seorang pasien dari sebuah penyakit yang tidak main-main.  Ibuku tertidur di atas karpet. Sebenarnya ada kasur khusus bagi penunggu pasien. Tapi ibuku tak mau, dibiarkannya ranjang itu kosong sementara ia menggelar karpet. Ibuku memang takut hal-hal medis, apalagi dengan seprei berwarna putih. kubawa infusku ke kamar mandi, untuk berwudhu lalu sholat dengan duduk. Seumur hidupku, baru kali ini aku benar-benar menjalankan rukhsoh sholat. Setelah sholat Shubuh ibu menyetel televise mendengarkan ceramah Mamah Dedeh

Di sela-sela ceramah itu kukatakan pada ibu

“Bu, biayanya bagaimana? Kenapa ibu memilih kamar kelas 1 sih? Kenapa nggak memilih 3 atau kelas 2 saja, lebih murah, nanti uangnya bisa digunakan untuk yang lain”


“Tenang Nduk, awakmu gak ngerti to, ibu dan ayah sudah mendaftarkan kalian asuransi sejak setahun yang lalu atas nama Mbak Rizza dan Dek Faisal. Nah, kamar yang tercover untuk asuransi adalah kamar kelas I kalaupun pengen menempati kamar kelas 2 ya silahkan, tapi ibu ndak mbayari, ora nduwe dhuwit “begitu kata ibu padaku dengan seringai lucu.

“Nah, termasuk biaya operasi, obat dan perawatan, semua juga ditanggung asuransi. Sampean ora usah mikirne kuwi, sing penting sehat!

Ya Allah, aku sungguh tak tahu kalau ayah dan ibuku sudah menabungkan asuransi untukku. Asuransi yang berlaku seumur hidupku. Padahal mereka berdua hanya ‘rela’ sebagai peserta JKN BPJS Kesehatan dari pemerintah sementara aku dan adik-adikku di asuransikan ke perusahaan asuransi besar yang bonafid. Uang darimana? Mengingat ayah dan ibuku hanyalah petani biasa. Tapi memang kuakui setahun lalu, panen cabai milik kami mendatangkan hasil. Panen banyak pas harga cabai mahal. Mungkin tabungan itulah yang digunakan untuk mengasuransikan kami. Mereka sudah berpikir jauh sekali atas diri kami. Oh, ayah, ibu. Terima kasih!

Hari ini ada dua hal penting yang kujalani. Setiap pasien bedah harus menjalaninya. Pertama aku harus menjalani rontgen paru jantung. Untuk mengetahui apakah ada masalah dengan paru dan jantungku. Karena kesehatan keduanya penting untuk menentukan obat apa yang cocok untukku dan penangan serta perawatan selanjutnya.

Aku dibawa dengan kursi roda menuju sebuah ruangan, namanya Ruang Radiologi. Disitulah aku menjalani serangkaian tes. Aku diperintahkan berdiri memeluk alat yang tak kutahu namanya. Lalu aku disuruh tarik nafas dalam, selanjutnya alat itu mengeluarkan kilap cahaya. Seperti blitz. Jantung dan paruku telah terfoto.

Saat aku mulai naik kembali di kursi roda, seorang perawat menghampiriku, ahaaa… aku ingat dia adalah perempuan yang berada di ruang USG empat hari lalu.

“Bagaimana Mbak Rizza, sehat setelah dari Jogja? Kapan operasinya? Siap kan?

“Saya siap Sus!”

“Bagus! Saya tahu kamu sudah siap dari dulu” Ia pun tersenyum meninggalkanku, dan perawat yang lain mendorong kursi rodaku ke kamar.

Disana sudah menunggu seorang dokter dan perawat, namanaya Anthony spesialis anastesi. Ia menanyakan padaku tentan jenis bius yang aku mau. “Rizza mau dibius total atau separuh?”

“Kalau total itu gimana, kalau separuh itu gimana Dok” mungkin pertanyaan bodoh, tapi aku memang tidak tahu, jadi aku harus jujur bertanya, apalagi ini menyangkut hidup dan matiku.

“Kalau dibius total nanti kamu akan tidak sadar selama operasi berlangsung. Sampai dua atau tiga jam setelahnya. Kalau bius separuh atau spinal, kamu akan tetap sadar, yang dibius hanya bagian perut ke bawah” Aku memandangi ibuku, meminta pesetujuan, mengingat beliau pernah menjalani caesar saat melahirkanku dan adik-adikku.

“Saya spinal aja Dok”

“Tidak takut?”

“Enggak, justru saya penasaran” jawabku mantap

“Oke, nanti saya akan suntik dibagian punggung, jangan kaget kalau kaki kamu lumpuh, itu cuma sementara nanti setelah biusnya hilang akan kembali bisa digerakkan.

“Baiklah, sekarang sedang puasa kan?” Nanti operasinya jam 2 ya Rizza dengan dokter Dominggus, Dokter Andre dan saya”

Jam 2? Empat jam lagi ya Allah… Hey, kenapa sekarang kamu nggak takut seperti semalam? 

Diary Appendectomy #8 Persiapkan Dirimu Untuk Operasi Rizza!


Tidak ada komentar:

Posting Komentar