Selasa, 04 November 2014

Diary Appendectomy #10 : Saat Biusku Hilang



Aku di kamarku sekarang. Sejam setelah aku datang. Ibuku datang, Mbak Nia dan Mas Hasan juga datang. Semua menanyakan apa yang kurasakan

“Aku ra kroso opo-opo kok Mbak, gak loro” lalu kami bercanda-canda. Tapi aku menanggapi candaan itu dengan senyuman saja. Karena aku tak boleh bergerak. Tak boleh mengangkat kepala. Tapi untuk miring kiri dan kanan malah boleh. Kata suster pasca operasi memang tak boleh mengangkat kepala dulu selama 24 jam. Karena dikhawatirkan pasien akan mengalami pusing hebat setelahnya. Aku menuruti.

“Tapi, kenapa miring ke kiri dan ke kanan malah boleh suster, bukankah ini ada luka operasi?”

“Kan lukanya sudah dijahit dan diperban, jadi aman. Kamu malah harus sering miring-miring. Kalau tidak kamu akan kaku. Tapi ingat, jangan mengangkat kepala sampai besok pagi”

“Baik sus” Dalam hati aku berpikir, bagaimana tidur miring tanpa mengangkat kepala itu, sedikit banyak kepala pasti bergerak ketika tubuh miring.


Aku tidur sesaat setelah Mbak Nia dan suaminya pulang. Ibu dan Faisal juga pulang. Karena ibu harus membuat kue untuk acara bersih desa esok hari. Haya ada Bulek El yang menemani. Aku tidur cukup lama, sekitar tiga jam, sampai akhirnya aku terbangun pukul 23.00 WIB. Saat itulah aku merasakan nyeri hebat di sekitar perutku. Lebih nyeri daripada sebelum operasi. Lebih nyeri daripada saat usus buntu itu masih bercokol dalam perut ini. Nyeri sekali.

Aku menangis, aku merintih. Aku kesakitan malam itu. Benar-benar sakit. Ya Allah kuatkan aku…

Sampai Bulek El terbangun mendengar isakanku. Aku hanya menangis pelan sebelumnya, setelah Bulek El bangun dan bertanya “Ada apa?” tangisku menjadi bersuara. Persis seperti anak kecil yang terjatuh lalu dihampiri ibunya. Tapi aku salah. Tangis dengan suara dan sesenggukan justru membuat dinding perutku terguncang dan rasanya semakin sakit. Untuk itulah selanjutnya aku masih  menangis, tapi tanpa suara, tanpa isakan. Hnaya air mata yang terus meleleh keluar. 
15 Agustus 2014 adalah perjuangan bagiku. Sakit itu nyaris membuatku kelibugan Miring kanan sebentar, lalu miring ke kiri. Ke kanan lagi lalu ke kiri lagi. Perut teras nyeri dan pinggang bagian belakang terasa pegal sekali. Ya Allah inikah yang dirasakan ibuku dulu? Sesaat setelah melahirkan caesar diriku? Luka operasi ibu panjang, tentu jauh lebih sakit dariku. Ya Allah tapi ini sakit sekali, neri dan pegal ya Allah

Karena sakit itulah tidurku malam itu lap-lapan. Antara tidur dan tidak, antara sakit dan tangis


Tidak ada komentar:

Posting Komentar