Perjalanan
Malang-Kediri hari ini begitu lama. Rasanya sudah cukup lama aku tertidur, tapi
belum sampai juga. Sesaat aku kembali merasa nyeri. Allah, penyakit macam apa
ini? Aku hanya berharap cepat sampai Kediri, agar aku bisa menemui ahlinya,
agar aku tak terus-terusan bertanya-tanya.
Sampai di rumah Mak,
menjelang Dzuhur. Istirahat sejenak sembari bercerita pada budhe tentang yang
kurasakan. Budhe bilang appendix itu usus buntu dan penderita usus buntu harus
opname. Haruskah aku opname? Oh... Bagaimana dengan biayanya? Operasi? Berapa
harganya?
Bersama Mbak Ita
sepupuku, kudatangi rumah sakit Baptis. Mbak Ita mengisi data diriku dan aku
masuk ke ruang IGD. Seorang perawat memintaku berbaring kemudian menutupkan
selimut putih pada rokku.
“Apa yang kamu
rasakan?”
“Perut saya nyeri”
“Dimana?”
“Disini” aku meraba
perut bagian kanan bawah
“Sedang haid?”
“Iya, tapi biasanya
tidak begini. Ini aneh sekali”
“Baik, tunggu sebentar
ya”
Selang beberapa lama
seorang dokter masuk, memintaku membuka perutku yang sakit itu, merabanya,
mengetuk-ngetuk tiga kali.
“Sakit?” tanyanya
setelah mengetuk perut
“Tidak!” Diketuknya
bagian yang lain, kali ini agak ditekan
“Sakit?”
“Iya!” lalu ia
tersenyum. Ia pun memintaku menekuk kaki kanan. Menanyakan hal yang sama dan
jawabanku, “Tidak!”
“BAB lancar Mbak?”
“Lancar Dok”
“Mual?”
“Tidak!”
“Nyeri seperti
menebal?”
“Iya!”
“Baiklah, saya ambil
darahnya ya” seorang perawat masuk dan
mengambil darahku. Baru kali ini aku mengalami pengambilan darah hingga
beberapa tetes seperti ini. Lalu perawat itu pergi, meninggalkan aku dan Mbak
Ita dalam hening. Mau ngobrol apa? Lagipula sekarang bukan waktunya mengobrol!
Aku sedang tidak ingin bicara. Kupandangi langit-langit IGD yang bersih itu.
Lalu kordennya hijau muda. Dibalik gorden itu kudengar seorang perempuan hamil
bersama suaminya sedang berbincang dengan dokter yang tadi memeriksaku.
Sepertinya mereka sedang mengalami masalah pada kehamilan. Sepertinya kehamilan
pertama, pantas saja mereka sedikit panik. Setelah dokter mengatakan tak ada
apa-apa dengan kandungannya. Pasangan itu tertawa-tawa. Oh senangnya mereka.
Kali ini aku tak lagi
berbaring, sudah duduk dipinggiran ranjang dan memainkan kaki. Mencoba santai
sebisa mungkin. Sesekali kubaca aplikasi resonansi Asma Nadia yang baru
kudownload semalam. Kira-kira habis tiga tulisan kubaca sampai dokter tadi
datang kembali, membawa kertas berisi laporan hasil lab atas darahku.
“Mbak, ini hasil
darahnya bagus. Leukositnya normal, trombositnya normal. Karena hasil cek
darahnya normal kita harus pakai cara lain untuk mendiagnosa penyakitmu. Boleh
saya lihat duburnya?”
“Jika memang itu
caranya saya tidak masalah Dok. Silahkan!”
Dokter ini seorang
pria, aku tidak tahu apa yang akan dia lihat atau apa yang akan dia lakukan
pada duburku. Aku percaya ini adalah langkah medis yang harus ditempuh. Di
artikel yang kubaca sebelumnya memang menggambarkan hal ini. Jika
pasien tidak menunjukkan gejala pada hasil lab darah. Maka pemeriksaan dubur
bisa dilakukan. Untuk memperkuat dugaan penyakit appendicitis. Aku
hanya berbekal satu keberanian, kalau dokter ini sampai macam-macam akan
kutendang kepalanya!
Ia mulai memakai sarung
tangan, mengolesi tangan itu dengan gel. Sebelumya perawat telah memintaku melepas celana dalamku. Tentunya
saat dokter ini keluar mengambil sarung tangan itu.
“Permisi ya Mbak” ia
memohon izin
“Iya” jawabku pasrah.
Kurasakan sesuatu masuk
di duburku. Itu adalah jemari dokter itu. Subhanallah. Ternyata jemari itu bisa
masuk dalam lubang dubur yang kecil. Elastis sekali tubuh ini ya! Aku merasakan
ia menyentuh ujung di dalam sana, masih dalam dubur, mungkin semacam lubang
yang aku tak tahu apa namanya.
“Ini sakit?” tanyanya
“Tidak!”
Lalu ia menggeser
sedikit, ternyata ada lubang lagi! Ya, kurasakan ada lubang lagi. Dokter itu
bertanya lagi, pertanyaan yang sama, dan kali ini kujawab “ Iya sakit Dok!”
saat jemarinya menyentuh. Setelah itu ia
mengeluarkan tangannya dari duburku. Aku merasa seperti setelah BAB, mungkin
gerak peristaltik dan elastisitas dubur yang membuatku merasakan seperti itu.
Setelahnya dokter keluar tanpa berkata apa-apa.
Perawat mengajakku
untuk ke kamar mandi. Cebok! Karena tangannya dilapisi gel aku seperti merasa
lengket-lengket di duburku. Risih sekali! Aih. Sepanjang perjalanan ke kamar
mandi hingga duduk di sisi ranjang kembali, aku terus berpikir sesuatu. Lebih
tepatnya takjub. Rasa takutku saat dokter itu hendak melihat duburku hilang
seketika. Pun rasa sakit yang kurasakan saat ujung lubang tersentuh. Aku sudah
lupa. Yang kuingat dan membuatku penasaran adalah : Allah, Aku tak pandai
Biologi apalagi Fisiologi, jadi aku masih terus bertanya-tanya hari itu, bahkan
sampai menyelesaikan tulisan ini. Apakah ada dua lubang dalam dubur manusia?
Atau aku yang salah menduga?
Diary Appendectomy #3 USG Yang Menyakitkan
Diary Appendectomy #3 USG Yang Menyakitkan
Tidak ada komentar:
Posting Komentar