
Begitu juga ibu, meski ibu sering membuatkan kue teman-temannya kalau ada rapat desa, atau acara rutinan, ibu tak pernah memmerintahkan saya belajar buat kue. Saya hanya membantu saja. Sesekali melihat cara ibu membuatnya. Toh saya gampang sekali lupa dengan resep, kalau tak melihat catatan pasti lupa. Jadi saya sama sekali tak berniat menekuni pembuatan kue. Apalagi ibu yang suka 'sibuk sendiri' jika ada rapat atau pertemuan dengan teman-temannya. Dulu saya berkomentar begini, "Ah... ibu kenapa musti repot-repot sih, kan capek buat kue, mereka enak tinggal makan thok" ibu hanya tersenyum mendengar ejekan saya itu.
Tapi lama-lama saya kena tulah. Saat kuliah di UIN Maliki Malang, saya keranjingan memasak dan mencoba beberapa resep kue, bahkan kadang iseng campur bahan dan jadi kue baru yang saya beri nama sekenanya. Kala itu saya sudah mulai merasa menjadi perempuan dewasa. Kata ibu kelak saya akan menikah, saya akan jadi ibu juga, kalau saya tak bisa memasak lalu anak-anak dan suami saya makan apa?
"Kan bisa beli di warung Bu" jawab saya sekenanya.
"Hey, beli di warung memang simple Nduk, tapi memasak sendiri itu lebih nikmat dan puas. Sebagai perempuan kamu harus bisa masak. Kalau suamimu jatuh cinta sama penjaga warung gimana hayo, kan yang masakin tiap hari dia"
Oh tidak! Tidak! Ibu benar, saya harus belajar memasak! Mulai saat itu saya mulai berani membawa makanan buatan saya untuk dicicipi teman-teman. Entah teman kelas, FLP UIN Malang, UKM LKP2M atau LDK At-Tarbiyah. Sebisanya, enak gak enak, yakini enak sajalah! hehe
Meski semua itu sederhana dan rasanya tak seenak masakan ibu, tapi teman-teman memuji masakan saya enak. Entah itu jujur atau hanya memuji biar saya seneng. Tapi buat saya, masakan yang saya buat ada yang mau menghabiskan saya sudah senang luar biasa.
Gara-gara sering membuat kue dan disuguhkan pada mereka, di FLP UIN Malang adik-adik tingkat memanggil saya "Bunda" Ketika saya tanya, "Kenapa memanggil saya Bunda? Saya kan belum kelihatan seperti ibu-ibu to?"