Selasa, 04 November 2014

Diary Appendectomy #1 : Perjalanan Mengenal Appendicitis



Aku baru saja menjalani appendixtomy pada tanggal 15 Agustus 2014. Sebuah tanggal yang akan selalu kuingat. Aku tidak tahu apakah kamu merasakan rasaku aku tidak. Aku hanya ingin bercerita. Kuharap jika kamu merasakan rasaku, kamu bisa tahu kalau yang kamu rasakan itu adalah appendicitis, kamu akan tahu hal apa yang akan kamu alami dan rasakan. Bagaimana proses perawatan dan penyembuhan? Apa saja yang akan terjadi? Aku akan menuliskannya dalam sengkarut diary appenditomi ini apa adanya. Semuanya. Sejujur-jujurnya. Kuharap setelah membacanya hingga usai  nanti. Kamu  tak akan bertanya-tanya lagi, tak akan takut lagi. Aku sudah mengalaminya, merasakannya. Kubagi denganmu, karena aku ingin kamu tahu apa dan bagaimana appendicitis dan appendixtomy  itu.

 Aku merasa baik-baik saja. Tidak ada yang aneh ditubuhku. Sampai suatu hari setelah idul fitri aku menemui menstruasiku bulan ini. Bulan Agustus. Seperti bulan-bulan sebelumnya, aku selalu menemui menstruasiku. Rutin. Tapi ada yang berbeda dengan menstruasiku kali ini. Jika biasanya aku hampir tak pernah mengalami nyeri haid atau bahasa jawanya dilepen kali ini aku merasakan hal yang berbeda di perutku.

Memang, biasanya saat haid rasanya dinding perut seperti menebal. Kali ini pun begitu. Hanya saja setelah haid berakhir aku masih merasakan perutku menebal. Bukan ditengah tepat rahim berada, tapi di sebelah kanan bawah. Kadang dibarengi nyeri. Tak terlalu nyeri memang, tapi adanya nyeri ini yang membuatku bertanya-tanya. Bukankah biasanya aku tak begini? Bukankah haidku sebentar lagi selesai?


Jika aku tidur miring ke kanan, aku seperti merasakan menindih sesuatu di perut kanan bawah itu. Padahal aku sedang tidak mengantongi sesuatu. Ada apa? Aku terus bertanya dan menerka, bukan pada siapa-siapa tapi pada diriku sendiri. Sesekali aku iseng googling. Kutulis keluhanku pada search engine. Keluarlah situs-situs kesehatan. Sebagian besar mengatakan ini gejala myom atau kelainan pada rahim. Seketika aku tercenung. Aku belum menikah, aku belum punya anak Allah, jangan ambil rahimku. Ingin menangis tapi tak bisa, masih ingin bertanya tapi pada siapa? Tak mungkin pada ibu. Aku tak ingin menambahi beban pikiran beliau.

Kalau aku tak salah ingat, hari itu hari Kamis 7 Agustus 2014. Ibuku menyiapkan ayah untuk pergi terapi. Ya, ayahku menderita komplikasi. Diabetes, stroke dan gagal ginjal. Selain menjalani cuci darah rutin dua kali seminggu, beliau juga mengikuti terapi di sebuah pengobatan unik. Ibu pernah cerita kalau yang mengobati ayah menggunakan telur sebagai media pengobatannya. Meski susah dinalar, nyatanya banyak yang beroleh kesembuhan. Kesehatan Ayah juga mengalami kemajuan. Unik sekali.

“Bu, kali ini aku ikut ya?”      

“Tumben ikut, mau ngapain?”

“Ini, perutku kok agak aneh ya rasanya”

“Sejak kapan? Ayo, cepet ganti baju kalau ikut”

Satu hal, aku penasaran dengan pengobatan unik itu, di samping itu aku berharap mendapatkan jawaban atas keanehan yang kurasakan. Syukur- syukur mendapat kesembuhan. Tidak ada pasien yang antri selain kami. Jadi bisa cepat ditangani. Didampingi ibuku aku masuk ke ruangan beliau, pria setengah tua berkumis tebal. Mirip Mas Adam suami Mbak Inul Daratista. Ibuku menceritakan keluhanku lalu beliau memerintahkan aku menaikkan baju, memperlihatkan bagian yang menjadi keluhan itu.
“Sudah lama dirasakan?” tanyanya menyelidik

“Sekitar lima hari ini Pak”

“Kok keras ya, atos!” gumamnya setelah menekan-nekan perutku. Lalu beliau mengambil sebutir telur bebek. Dioles-oleskan telur itu diperutku. Mulutnya komat-kamit mendoa. Aih, agak takut juga. Aku merasakan seperti ada gerakan di perutku, seperti ada aliran setrum saat telur itu mulai dijalankan di permukaan perut kanan bawah itu.

Beliau mengambil plastik ukuran 1 kg. Memasukkan telur itu dan memecahkannya, mengalirkan isinya dan membuang kulit telurnya di tempat sampah. Tahukah kamu apa isi telur itu? Darah! Darah Men! Darah merah kental dan menggumpal! Oh Tuhan, bukankah itu telur bebek biasa? Kok bisa ada darah sebanyak itu?

Beliau mengambil lagi telur yang kedua, melalukan ritual yang sama dan memecahkannya. Kali ini masih darah, tapi tak sepekat tadi. Sekarang ada selaput-selaputnya. Apa lagi itu? Allah, ada apa dengan perutku? Apakah benar ada masalah pada rahimku?

“Coba di USG ya Bu, nanti biar tahu apa penyebabya” Ia menutup pertemuan kami. Sepanjang perjalanan pulang aku hanya terdiam. Sesekali menanggapi candaan Farid atau Faisal yang menggodaku. Rasanya candaan mereka kali ini tak lucu!

“Bu, besok aku ke Malang ya” kataku memecah keheningan

“Mau ambil barang-barangmu?”

“Iya, kapan lagi. Mumpung ada waktu” Barang-barangku memang masih ada sebagian yang tertinggal di kontrakan. Sesaat setelah wisuda, aku hanya mengangkut sebagian. Selain itu, aku ingin sekedar jalan-jalan, silaturahim dengan teman-teman disana. Alih-alih kangen dan membuang sejenak galau tentang penyakitku yang masih tak tentu ini. Bisa jadi setelah ini aku tak bisa bertemu mereka lagi.

Berangkat ke Malang pukul tiga pagi, dengan harapan sampai Malang segera menyelesaikan yang harus kuselesaikan hari itu juga. Karena kutahu aku tak punya banyak waktu. Senang rasanya bertemu teman-teman kontrakanku. Saling menanyakan kabar dan bercerita banyak hal. Pagi hari kumanfaatkan untuk mengunjungi SDN Sumbersari 1, tempat penelitian skripsiku dulu. Bertemu guru-guru dan berbincang. Melihat anak-anak bermain di lapangan. Setelah cukup puas, aku mencegat AL di perempatan ITN dan menuju UIN Maliki. Kali ini tujuanku adalah Gedung FITK. Mengambil legalisir ijazah yang sudah kutumpuk sebulan sebelum ramadhan, bertemu Pak Walid, ketua jurusan sekaligus dosen pembimbingku. Konsultasi tentang kehidupan pasca kuliah dan banyak lagi. Bertemu Pak Walid dan dosen yang lainnya yang ternyata masih mengingat namaku membuatku merasa masih menjadi mahasiswa.

Masih ada waktu, tak ada salahnya dolan ke UKM. Tak ramai, hanya ada dua orang, Habibah dan Mas Hafidz. Seperti biasanya jika di UKM aku selalu membuka koran Kompas. Membacanya sebentar lalu berbincang. Mas Hafidz yang suka melucu dan kami bertiga yang terlibat perdebatan tak berujung, membuatku lupa sakitku. Aku bisa tertawa-tawa dan menanggapi semua perbincangan sengit itu, sesekali ada nyeri, tapi kucoba bertahan. Ada Fino anak FLP UIN juga yang datang meski sebentar, mengambil sertifikat.

Malam harinya, aku menyambangi warnet di ujung pertigaan kontrakan. Dulu aku sering kesana jika butuh  download sesuatu, butuh bacaan dan mengirim tulisan. Kini tak ada salahnya kesana lagi, meski aku tak butuh apa-apa malam ini. Mungkin untuk yang terakhir kali. Kucoba sekali lagi menelisik tentang sakitku. Setelah beberapa situs, akhirnya aku menemukan informasi yang membuatku mantap. Appendicitis! Ya, aku tak mengalami kelainan pada rahimku, tapi aku mengalami Appendicitis! Aku harus segera pulang ke Kediri, karena jika terlambat, aku akan mati!

Kukatakan pada teman kontrakanku bahwa aku akan pulang esok hari. Malam itu juga kubereskan barang-barangku. Kupesan travel agar bisa pulang cepat. Tak kukatakan penyakitku, meski mereka agak terheran dengan cepatnya aku pulang. Semalam di Malang, cukuplah mengobati kerinduan, memberesken keperluan dan mengambil kenangan sebelum nanti berjuang.

Sesampainya di Kediri nanti, aku berniat langsung pergi ke rumah sakit Baptis Kediri untuk USG. Aku sudah membicarakannya pada ibu dan ibu menyarankan untuk pergi ke RS Baptis.  Aku sempat bertanya, kenapa tidak di RS Bhayangkara saja tempat dulu ayah di rawat? Aku kan sudah hapal tempat-tempat periksa disana karena saking seringnya berada disana. Atau di Rumah Sakit Islam? Jujur saja, aku agak kurang sreg karena RS Baptis itu rumah sakit Kristiani.

Appendicitis adalah radang pada usus buntu. Semua manusia memiliki usus buntu (ujung usus) atau dalam dunia kedokteran disebut appendix. Ada dua jenis apendicitis. Akut dan kronis. Penderita appendicitis harus segera menjalani operasi sesegera mungkin, karena usus buntu yang meradang itu bisa pecah dan bernanah. Jika pecah maka nanahnya akan menyebar dan mengotori usus lainnya. Itu sangat berbahaya, jika penanganan medisnya tidak tepat dan hati-hati maka dapat menyebabkan kematian pada pasien.

Begitulah yang tertulis di situs yang kubaca semalam. Daripada aku berlama-lama berdebat tentang rumah sakit, akhirnya aku menyetujui periksa ke RS Baptis. Kenapa tak nyaman? Bukankah dulu aku juga lahir disana?



Tidak ada komentar:

Posting Komentar