Selasa, 04 November 2014

Diary Appendectomy #11 “Saya Mandikan Ya”



16 Agustus 2014

Aku mencoba berdamai dengan perih, nyeri dan pegal di seputar perut dan pinggang. Pagi tadi saat sarapan, aku disuapi. Dengan tetap tidur. Karena aku masih tak boleh angkat kepala sampai siang nanti pukul 14.00

Ini adalah makanan pertama setelah puasa seharian kemarin. Nasi tim dengan ikan dan sayur berkuah. Makanan ini sangat encer, hingga aku tak perlu mengunyahnya.  Kuhabiskan pagi sampai siang dengan menonton acara berita TV atau berbincang dengan ibuku. Sholat kulakukan dengan berbaring dan tayamum. Bedrest total

Tepat pukul 14.00 WIB perawat datang, membantuku untuk duduk  bersandar pada ranjang yang sudah ditinggikan bagian atasnya. Meski perutku terasa nyeri dan tegang memang harus dipaksakan untuk duduk. Seharian itu aku belajar duduk. Belajar bagaimaa caranya dari berbaring sampai duduk, atau dari duduk berbaring lagi. Masih di atas ranjang. Dengan kaki lurus. Belum boleh menggantung di tepi ranjang.

Setelah melewati proses belajar duduk ini aku baru tahu kenapa selama setelah operasi kemarin sampai sore ini aku tak pernah merasa kebelet kencing. Ada kateter terpasang disaluran kencingku. Setiap enam jam sekali suster membuangnya.

“Mbak Rizza, selamat sore, gimana sudah belajar duduk hari ini?”

“Iya sus, tapi masih nyeri banget”

“Oke, tidak apa-apa. Itu wajar. Mandi yuk, sudah sore. Saya mandikan ya”

“Tapi…”

“Sudahlah tidak apa-apa, memang sudah tugas kami”


Dua perawat perempuan itu dengan sigap melepas semua kain yang menutupi tubuhku. Menyeka tubuhku, memakai sabun cair lalu dibilas dengan air hangat. Gosok gigi pun begitu. Jujur saja, aku malu. Sangat malu. Aku ini sudah dewasa. Perawat-perawat itu mungkin usianya juga tak terlalu tua dariku. Tapi aku dimandikan seperti ini. Seperti bayi. Setelah mandi, mereka mengganti sprei dan baju penutup tubuhku. Masih warna yang sama dan masih bertali.

“Ibu, aku isin” kataku pada ibu setelah dua perawat itu keluar

“Wes ora usah isin Mbak, sing penting sehat”

Begitu seterusnya, setiap pagi dan sore perawat memandikanku. Tak jarang mereka membantuku memakai jilbab, mengingat tangan kiriku masih berinfus.

Esoknya, 17 Agustus 2014. Sebelum mengikuti upacara 17 Agustusan di lapangan rumah sakit. Perawat terlebih dulu memandikanku, masih dengan cara yang sama. Jam 6 pagi, aku sudah wangi, ganti baju dan sarapan. Kali ini aku makan sendiri, tak lagi disuapi. Kudengar lagu Indonesia Raya di luar sana, dinyanyikan para perawat rumah sakit ini. Riuh dan semangat sekali. Aku pun ikut melantunkannya di tempat tidurku.

Hai Indonesia, selamat ulang tahun ya. Terima kasih atas semangatnya pagi ini. Semoga negeri ini terus damai. Indonesia, aku sudah berjuang melawan sakitku. Kau tak ingin mengucapkan selamat pula padaku?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar