Kamis, 29 Oktober 2015

MBAK HAYATI, KEHILANGAN PENGLIHATAN SETELAH OPERASI CAESAR

Mbak Hayati ini kakak sepupu saya. Ibunya adalah Mbakyu ayah. Mbak Yeti, kami biasa memanggilnya begitu. Melahirkan 6 bulan lalu. Sebenarnya saat itu dokter sudah mengatakan kanndungannya baik-baik saja dan bisa lahir normal. Tapi Allah punya rencana lain, tiba-tiba saja tubuhnya panas tinggi. Gejala tipus, begitu diagnosis dokter waktu itu. Katanya bayi di rahimnya juga merasakan panas tubuhnya yang tinggi itu. Kalau tidak segera dikeluarkan khawatir tidak selamat.

Harus caesar hari itu juga. Bahkan untuk sekedar sikat gigi saja tidak boleh! Pokoknya harus sekarang secepatnya! Lahirlah bayinya. Perempuan. Bayi itu diberi nama Agya. Singkatan dari Agung dan Hayati. Selayaknya ayah dan ibu baru mereka sangat senang dengan lahirnya Agya. Agya adalah cucu keempat budhe. Empat sudah cucunya. Siapa yang tidak bahagia? Ternyata kebahagiaan ini hanya bertahan beberapa hari saja. Setelah hari itu penglihatan Mbak Yeti berkurang. Terus berkurang hingga akhirnya sama sekali tidak bisa melihat. Hitam. Gelap.

Stress! Pastinya! Itu yang terjadi pada Mbak Yeti dan mungkin juga Mas Agung suaminya. Tapi saya lihat Mas Agung masih tegar, setidaknya setiap saya bertemu, tidak pernah terlihat sedih atau menangis. Meski dia tidak bisa menyembunyikan di raut mukanya. Aku khawatir!

Sabtu, 02 Mei 2015

IRONI KONGSI TKI MALAYSIA

Bulan Februari tahun lalu, saya mendapatkan kesempatan praktek mengajar di Malaysia, di salah satu SD Internasional di daerah Kuala Lumpur, saya bersyukur sekali atas kesempatan dari kampus saya ini dan saya menikmatinya. Disela-sela kegiatan mengajar, saya pernah diajak oleh salah satu warga Indonesia yang telah lama tinggal disana untuk mengunjungi Kongsi TKI. Kongsi adalah bahasa melayu untuk perkumpulan atau organisasi. Disinilah perjalanan pertama saya mengenal buruh migran lebih dekat untuk pertama kalinya.

Pukul delapan malam, saya dalam perjalanan menuju kongsi TKI. Dalam hati saya penasaran sekali, seperti apa kongsi TKI itu? Bagaimana keadaan mereka? Saudara jauh saya, kabarnya juga ada yang jadi TKI di Malaysia, apakah dia juga ada disana? Ada banyak pertanyaan yang ingin saya temukan jawabannya malam itu.

Tiba di sebuah daerah yang sepi, tiba-tiba mobil kami dihentikan seseorang sebelum berbelok ke tempat tujuan. Ada seorang berseragam, seperti satpam jika di Indonesia, setelah bernegosiasi dengan bahasa melayu, mobil kami diizinkan masuk. Sebelumnya saya membayangkan bahwa kongsi TKI semacam asrama, yang di dalamnya ada banyak tempat tidur bertingkat lalu ada sebuah ruang pertemuan tempat berlangsungnya acara malam ini, tetapi bayangan saya jauh dari kenyataan.

Mobil berjalan pelan, memasuki sebuah tempat yang mencekam, gelap. Ada banyak drum gamping, kayu-kayu, semen, batako dan bangunan menjulang tinggi yang belum jadi. Mobil terus masuk ke dalam bangunan, berbelok-belok, sopir rupanya sudah hapal seluk beluk bangunan ini. Jalanan menanjak naik dan berputar, sampai akhirnya kami turun, tepat di sebuah titik cahaya, yang makin lama makin berpendar, yang sebelumnya mencekam seperti tak ada kehidupan makin lama makin ramai.

Minggu, 05 April 2015

TAK ADA SAHABAT LAMA

Tiga hari ini, saya kedatangan tamu dari UIN Maulana Malik Ibrahim Malang, dia adik kelas saya tapi sebenarnya kami seusia. Dia memanggil saya Mbak Rizza dan saya memanggil namanya. Lia. Susah bagi saya memanggil Dek Lia, karena senyatanya kami seusia. Saya tak merasa lebih senior dari dia meskipun kakak tingkatnya. Saya juga tak merasa lebih dewasa sehingga harus memanggilnya "Dek" Bagi saya, memanggil namanya sudah cukup.


Setahun terakhir menjadi mahasiswa UIN Malang, saya dan Lia tinggal dalam satu kontrakan di daerah Joyoraharjo, ada 9 orang dalam satu rumah itu. Seiring waktu kami bersembilan  benar-benar layaknya saudara. Dekat, akrab. Lia, Lala, Navis, Arum, Alak, Nada, Didi, dam Luluk.. Nama yang akan saya ingat sampai kapanpun.


Meski sudah setahun tidak bertemu ditambah lagi saya hijrah ke Yogyakarta, saya dan teman-teman tak hanya terpisah jarak. Komunikasi pun jadi jarang. Rasa-rasanya bisa berbalas sms, chatting atau komentar di status facebook sudah bahagia tersendiri. Obat kangen.

Minggu, 08 Maret 2015

Pergunjingan Souvenir Pernikahan

Malam kemarin seperti biasanya tiap hari Sabtu, jika pemuda lain menghabiskan waktu malam mingguan bersama pacar atau keluarga mereka, mungkin di Malioboro, mungkin di resto es krim, atau mungkin menikmati nasi kucing ditemani teh hangat di angkringan. Ah pasti nikmat dan seru sekali. Tapi sekali lagi, malam minggu saya masih sama pulang kerja pukul 19.00 WIB. Tak masalah, memang jam inilah yang saya pilih untuk tetap bekerja di hari libur. Selain untuk kesibukan juga menambah penghidupan. Saya cukup menikmati malam Minggu- malam Minggu saya, karena tiap malam sama saja.

Saya biasa naik Bus Trans Jogja. Untuk sampai ke shelter (tempat pemberhentian Trans Jogja) di dekat UIN dari Jalan Veteran, saya harus naik dua kali. Pertama naik 2A dari shelter RSIA Hidayatullah turun di Kridosono, lalu naik lagi 4B turun di shelter UIN. Perjalanan ini memakan waktu 90 menit. Lama? Iya! Waktu tunggunya yang biasanya lama.

Sabtu, 07 Maret 2015

Kenapa Harus Anjing?

Sejak mediasi antara Gubernur DKI, Basuki Thahaya Purnama (Ahok) dan anggota DPRD digelar dan tanpa kesepakatan. Berakhir ricuh dan saling mengumpat. Saya sempat menonton video jalannya mediasi ini. Awalnya berjalan tenang dan terjadi diskusi yang aktif antara Ahok,mediator dan DPRD. Kericuhan baru terjadi di 15 menit sebelum mediasi harus diakhiri karena tidak kondusif.

Bermula dari Ahok yang menyampaikan pembelaannya atas keputusan menyerahkan draf hasil E-Budgeting, dengan nada keras dan jari telunjuk menunjuk-nunjuk anggota DPRD, Ahok memaparkan alasan-alasannya, ia juga menantang anggota DPRD yang terkait untuk membuktikan apa yang telah mereka sepakati. Saya tak tahu pasti, tapi setelah kejadian ini, semua anggota DPRD berubah emosional. Ada yang berjalan ke depan dan berteriak-teriak kepada Ahok, ada pula yang hendak walk out.