Selasa, 28 Oktober 2014

DAGING KURBAN PERTAMAKU




Mungkin agak aneh di dengar, tapi memang baru tahun inilah aku mendapatkan daging kurban pertamaku. Tahun-tahun sebelumnya, ibuku yang mendapatkannya, ibu yang mengurusnya. Dari mulai membersihkan daging sampai memasaknya, mungkin aku hanyamembantu menguliti bawang atau bumbu yang lain, selebihnya ibu yang memasak daging itu, kami sekeluarga tinggal makan saja.

Lagipula, aku agak jijik melihat gajih sapi atau kambing. Lembek-lembek gimana gitu. Belum lagi baunya, pyuwhh.. kalau sudah mengurus daging kurban, baju, kerudung, badan dan rambut semuanya bau daging.  Alat masak bekas daging pun setelah dicuci kadang baunya masih melekat. Itulah yang membuatku ogah-ogahan mengurus daging kurban. Kan ada ibu.

Tapi tahun ini berbeda. Ibu dan ayah sedang berhaji, aku pun tak pulang ke Kediri. Memilih tetap di Jogja, meski menyesakkan takbiran sendirian semalam. Ternyata, tiap rumah termasuk anak kos juga mendapatkan jatah daging kurban. Sementara teman kosku yang lain merasa tidak bisa memasak, merasa tidak bisa mengurus daging dan jijik dengan daging mentah. Akhirnya semua sepakat menunjuk diriku! Dengan asumsi akulah yang paling sering uthek-uthek di dapur selama ini. Alamaak! Andai mereka tahu, kalau aku juga belum pernah mengurus daging sendiri! Andai... andai... Ah..


Kulihat daging kurban itu, cukup banyak, satu kresek tanggung. Sejak tadi di taruh begitu saja di atas kursi. Kasihan juga! Akhirnya dengan modal bismillah kuambil daging itu, kucuci lalu kurebus. Entah mau dibuat masakan apa nanti yang penting di rebus dulu! Biar awet! Biar tidak bau!

Jujur saja, daging sapi yang harganya mencapai 80 ribu per kilo itu tak terbeli oleh keuanganku selama ini. Selama di Malang dan selama masa perantauanku dimana pun itu, daripada untuk beli daging lebih baik untuk yang lain. Banyak juga sebenarnya penjual rendang, tapi entah kenapa aku sama sekali tak tertarik membeli lauk daging selama ini, selain mahal. Aku lebih suka membeli sayur dengan lauk sederhana, seperti tempe, tahu, perkedel atau yang lain. Oya, krupuk, Wajib!

Dulu saat di kontrakan Malang, jika ingin makan enak, biasanya kami membeli lalapan ayan atau lele. Jika ingin masak sendiri, kami satu kontrakan membeli setengah kilo ayam atau ceker 5 ribu. Lima ribu bisa mendapat 6 ceker. Untuk apa? Kalau tidak sop ceker ya, ceker bumbu pedas, sebenarnya kami sok-sokan memasak ceker mercon yang terkenal itu. Alhamdulillah berhasil! Pedasnya minta ampun! Kebanyakan anggota rumah memang suka masakan pedas. Ya, cabai jarang beli, karena jika aku pulang, pasti bawa cabai dari rumah. Cabai dari sawah.

Kemabali ke daging kurban pertamaku itu, akhirnya hari ini aku ke pasar, membeli sengkarut bumbu yang sudah terdaftar di resep. Ceritanya tadi pagi mencari resep masakan daging, dapatlah resep serundeng daging dan empal gepuk. Bisa tak bisa, enak tak enak, daging itu harus dimasak dan aku memutuskan memasak dua resep itu. Meski sebelumnya aku belum pernah mencoba memasaknya di rumah. Tapi, apa salahnya di coba!

Membuka tutup daging. Bau khas daging menguar. Allah, kuatkan aku! Kalau bukan aku yang memasaknya siapa lagi? Kalau aku tetap mempertahankan egoku, maka daging ini akan terbuang sia-sia! Mubadzir, eman-eman! Bumbu-bumbu sudah kukupas dan siap dihaluskan : Bawang merah putih, asam jawa, garam, lengkuas, serai, daun salam, daun jeruk, gula merah, kemiri, ketumbar, merica. Ulek sampe halus Mamen!

Setelah itu, bumbu halus dimasukkan ke dalam perasan santan. Setelah siap, daging sapi bagian has di masukkan dan direbus sampai air meresap habis. Sekitar sepuluh menit di atas kompor, aku mulai mencium bau sedap. Ini kan bau masakan ibu! Oh, jadi bau masakan seperti ini itu bumbunya ini!

Setelah  santan dan bumbu meresap dalam daging. Daging dipotong tipis-tipis lebar,  digepuk (dipukul) sampai penyet atau pipih, saatnya di goreng dengan api kecil sodara! Melihat daging-daging iru mulai menghitam matang, legalah rasanya. Ibu, aku bisa memasak empal gepuk seperti masakanmu. Oya, hitam itu bukan gosong, tapi karena tadi bumbunya ada gula merah. Gula merah itulah yang menyebabkan empal gepuk goreng berwarna coklat tua kehitaman. Rasanya enak juga. Alhamdulillah!

Satu lagi, resep yang kupertaruhkan untuk daging pertamaku adalah serundeng daging. Sebelumnya aku hanya makan serundeng jika ada tonjokan manten  atau berkat tahlilan. Selain itu tak pernah makan, atau membuatnya, ibuku sendiri tak pernah. Selain membutuhkan waktu lama, serundeng juga sulit. Tapi, justru itulah yang membuatku tertantang membuat serundeng daging. 

Bumbunya hampir sama dengan empal hanya saja tanpa santan, jumlah bawang merah putih, asam dan gula jawa lebih banyak. Prosesnya begini : Daging yang sudah direbus tadi diiris kotak kecil, lalu di masak bersama bumbu yang telah dihaluskan, Setelah daging tercampur dengan bumbu, kumasukkan parutan kelapa muda. Tadi di pasar beli kelapa parut satu buah. Aduk terus dengan api kecil. Aduk sampai kecoklatan, sampai kelapanya tidak lengket, kering! Ya, setengah jam baru selesai mengaduk serundeng itu, setengah jam tanpa henti mengaduk wajan, Phuffttt rasa pegelnya tuh disini!

Tapi, tapi, alhamdulillah tsumma alhamdulillah. Serundeng pertama dari daging kurban pertama itu berhasil sodara-sodara. Rasanya gurih, asinnya pas, manisnya pas, kering dan sedap. Eh ini yang bilang teman-teman satu kosku lho, dan semuanya say thanks karena sudah menyelamatkan daging kurban kami semua. Olala, berasa kayak pahlawan bertopeng ya! Penyelamat cuy, penyelamat daging!

Benar kata ibu, perempuan itu bukan mereka yang manis, lucu, centil dan kemayu. Perempuan itu yang bisa membawa diri, dan paham pekerjaan perempuan. Tidak selamanya kita bertahan dengan ego untuk jijik dengan ini atau dengan ini. Kelak kalau sudah menjadi ibu, mau tidak mau kita yang akan turun tangan mengurus daging, ikan, ayam dan lainnya. Kalau masih suka jijik, siapa yang akan mengurusnya? Anakmu? Suamimu?

Ibu benar! Ibu benar! Terima kasih untuk hari ini Alllah, untuk daging kurban pertamaku, untuk empal gepuk pertamaku, untuk serundeng pertamaku. Terima kasih pula telah menyelamatkanku, sehingga aku bisa memasaknya enak, meski tentu saja belum seenak masakan ibu. Aku berjanji, tak akan jijik lagi dengan urusan daging atau ikan mentah. Mereka semua makhluk-Mu, kalau dengan ayam saja aku bisa berani mengurusnya, kenapa dengan daging dan ikan tidak? Aku akan belajar memasak lebih baik lagi. 

Yogyakarta, Minggu, 5 Oktober 2014
Rizza Nasir

Tidak ada komentar:

Posting Komentar