Sabtu, 29 Maret 2014

Apakah Ini Pesan Terakhir?



Andai aku punya waktu lebih lama berada disini, tentu aku akan senang sekali. Ya, akan kujaga kau setiap hari, selalu ada setiap kau memanggilku dan membutuhkanku. Sayangnya aku tak punya waktu itu Yah, aku harus berkutat dengan urusan kuliahku. Aku hanya ingin membahagiakanmu dengan kelulusanku. “Aku berangkat dulu ya Yah” bisikku di telingamu. Kau hanya mengangguk dengan mata tetap terpejam.

Malam hari itu, pukul tiga pagi. Lorong rumah sakit masih sangat sepi. Kutarik koperku berlahan, agar tak mengganggu pasien di kamar lainnya. Ibuku menguntit di belakangku. Pamit pada ibu adalah ritual sakral setiap keberangkatanku, apalagi harus berangkat dari tempat pesakitan seperti ini. Menyesakkan.

“Kalau mau menikah, menikah saja.... Kalau sudah ada calon bilang saja, haha”, “nanti kamu tak belikan rumah, kamu bisa buat kos-kosan. Jadi ibu kos saja, kamu tinggal duduk di rumah, ngurusi anak dan suamimu, tiap bulan uang datang. Kamu nggak usah susah cari uang Nduk” terngiang kata-kata ayah malam itu. Malam mencekam, panasnya tinggi, matanya, terpejam dengan mulut yang tak pernah berhenti bicara. Kata-kata yang belum pernah terucap sebelumnya.

Kata-kata ayah barusan, mungkin ia ucapkan tanpa sadar. Keluar begitu saja. Mungkin merupakan isis hatinya yang sudah ia pendam sejak lama. Aku menikah? Sebenarnya aku tak takut menikah. Pertanyaannya sederhana saja. Menikah dengan siapa? Apakah ayah sudah punya calon untukku? Oh tidak, bukankah ia bilang kalau sudah punya calon bilang saja? Ah... aku masih skripsi ayah. Kalau boleh jujur, aku sempat kacau gara-gara ceracau itu. Ayah, belum ada siapa-siapa, lalu aku harus bagaimana?

Aku pernah berjanji, bahwa aku tak akan menangis lagi padanya, tapi malam itu, bagaimana bisa aku tak menangis? Ayah terus merapal, menceracau, Merapal pesan-pesan. Sebentar-sebentar menyebut namaku dan mengucap pesan untukku, lalu mencari adikku, Faisal. Faisal datang, dan ia mulai lagi merapal pesan. 

Jumat, 28 Maret 2014

Catatan Lima Belas Hari Seorang Mahasiswi PKLI

Hari Pertama
 Begini Rasanya Naik Pesawat? 
Hari Kedua
Selamat Datang di Kuala Lumpur 
Hari Ketiga
Aku Ingin Melihat Petronas
Hari Keempat
PPI, IIUM, Gombak, Adni dan Dataran Merdeka 
Hari Kelima
Kehidupan TKI Malaysia, Sebuah Ironi.
Hari Keenam
Serasa Berada di India  
Hari Ketujuh
Adni Islamic School 
Hari Kedelapan
Primary Biruni, Girls Class 
Hari Kesembilan
Primary Farabi dan Pak Amar
Hari Kesepuluh
Team Teaching dan Perpisahan  
Hari Kesebelas
Belajar Bersama Al-Attas 
Hari Kedua Belas
Adat Lamaran di Malaysia dan Batu Caves  
Hari Ketiga Belas
Putrajaya, Kota Indah Nan Sunyi.
Hari Keempat Belas
Kembali Ke Adni, Sejenak Saja.
Hari Kelima Belas
 Terima kasih sudah membaca, semoga ada hikmahnya ^_^
Salam
Rizza Nasir

BEGINI RASANYA NAIK PESAWAT?



Hari Pertama, Rabu, 26 Februari 2014

Alhamdulillah, akhirnya hari malam ini aku telah berada di Malaysia. Sebuah kata atau negara yang menjadi pikiranku sejak empat bulan lalu. Tepatnya sejak aku dinyatakan lolos seleksi PKLI Malaysia. Ada rasa syukur dan senang di hatiku, meski dulu jujur saja aku sempat tidak tahu apa-apa dan bingung harus melakukan apa dengan statusku ini.

Allah sempat mengujiku dengan banyaknya sindiran dan pendapat miring banyak orang terhadap program Fakultas Ilmu Tarbiyah Dan Keguruan ini. Sebagai salah satu pesertanya tentu saja aku merasa tersudutkan, bahkan aku merasa menjadi bahan pembicaraan karena menurut mereka aku dipermainkan. Entahlah, itu karena aku yang terlalu perasaan, atau mereka yang terlalu mengkritik atau jangan-jangan memang begitu adanya. Entahlah. Aku hanya bermodal positive thinking dan bismillah saja.

Malam ini aku menulis tepat di sebuah kamar yang selama 14 hari kedepan akan kutinggali, bersama 2 teman lainnya, yakni Etika dan Farida dari ICP PAI Bahasa Inggris. Aku hanya berharap, semoga kami bisa menjadi teman kamar yang baik sampai program ini selesai nanti.

Kuceritakan tentang keberangkatanku, kami berangkat dari UIN Maulana Malik Ibrahim Malang pukul 11.00 WIB setelah sebelumnya berfoto bersama dekan dan para dosen ICP di depan Micro Teaching. Ada keharuan di dadaku saat semua dosen yang mengajar di lantai 1 keluar dari kelas dan mengikuti prosesi pemberangkatan kami. Raut muka mereka sumringah, senyum-senyum. Seakan mengucapkan selamat pada kami. Berulang kali kulihat dosen laki-laki yang menepuk pundak peserta PKLI laki-laki dan mengucap selamat. Jika tak ada banyak orang, mungkin aku sudah menitikkan air mata. Allah, benarkah ini saatnya? Saatnya aku berangkat? 


Semua berpakaian rapi, berjas dan bersepatu. Ya, rapi. Karena ini upacara pemberangkatan untuk pertama kalinya dalam sejarah. Saking sakralnya, ada salah seorang peserta yang kena semprot dosen karena dengan santainya melenggang memakai sandal. “Lebih baik tak usah berangkat saja” begitu katanya. Setelah berdoa bersama, kusalami dosen-dosen satu persatu, kumasuki mobil yang siap membawa kami ke Juanda. Kulihat sekilas Pak Nur Ali yang melambaikan tangan pada kami. Bismillah.

Diperjalanan, kutelepon ibuku, pamitan, memohon doa dan mengucap salam untuk semua keluarga. Ingin rasanya aku ucapkan keras-keras “Ayah, sebentar lagi Mbak Rizza naik pesawat Yah”, ya, aku memang pernah bilang pada ayahku dulu, bahwa aku ingin sekali naik pesawat. Sebentar lagi terwujud Yah..

Perjalanan tak sepi karena Etika, Farida dan Wawan yang menyanyi nyanyi. Ah, mereka anak yang ramai rupanya. Jujur saja, meski hampir empat tahun belajar dalam satu gedung yang sama dan sering bertemu wajahnya, tapi baru hari ini aku tahu kalau lelaki ceking tinggi itu bernama Wawan, perempuan yang disamping Etika itu namanya Farida dan yang berkaca mata di samping sopir itu bernama Ana. Etika, aku sudah mengenalnya sejak dulu, karena kami satu organisasi. Salam kenal. Aku Rizza.

Sesampainya di bandara, aku benar-benar speechless. Inikah namanya bandara itu? Aku benar-benar seperti orang udik yang baru pergi ke kota. Baru kutahu, seperti inilah bandara. Pemberangkatan pukul 16.45. Sekarang pukul 14.45 Aku masih bisa melakukan sholat jamak takhir untuk Dhuhur dan Asharku hari ini. Setelah sholat, aku sama sekali tak bisa membendung keharuanku. Aku akan berangkat ke Malaysia hari ini, memenuhi janjiku pada kampusku, memenuhi mimpiku. Terima kasih Allah.

Kami sempatkan berfoto. Aku, Najib, Navis dari PGMI. Kuikuti semua persyaratan sebelum pemberangkatan, mulai check in bagasi, airport tax, sampai pengecekan paspor. Semuanya berlangsung kurang lebih satu jam. Semua yang biasanya kulihat di televisi kini kulalui. Aku akan terbang sebentar lagi.

SELAMAT DATANG DI KUALA LUMPUR!




Hari Kedua, Kamis, 27 Februari 2014
Pagi pertama di Malaysia. Aku bangun jam setengah tujuh! Dan aku belum sholat Shubuh! Tentu saja aku geragapan. “Sudah setengah tujuh ya, haduh aku belum sholat Shubuh nih. Kok nggak dibangunin sih” protesku pada Farida dan Etika. Kulihat mereka tersenyum. “Rizza, tenang saja. Ini masih baru saja adzan kok” Apa? Setengah tujuh pagi baru adzan? Benar saja. Lamat-lamat kudengar suara Al-Fatihah dari corong masjid. Alhamdulillah.
Setelah sholat kucoba menyibak tirai dan masih gelap! Benar-benar nuansa Shubuh seperti di Indonesia! Subhanallah!. Aku baru tahu, ternyata waktu shubuh Malaysia itu pukul 06.15 waktu Malaysia. Jika di Indonesia, khususnya Malang waktu shubuh pukul 04.15 WIB, berarti ada beda dua jam. Padahal Malaysia memiliki beda satu jam lebih cepat dari Indonesia. Mengapa sholatnya berbeda dua jam ya? Ah, entahhlah, aku tak paham tentang astronomi atau almanak.
Teman-teman laki-laki heboh diluar. Saat kutanya “Ada apa?” Mereka bercerita kalo Imron membangunkan teman-teman pukul 5.00 pagi tadi. Membangunkan untuk sholat Shubuh. Dan mereka kaget saat jam 06.15 ada adzan. Adzan Shubuh! Inilah resikonya di negeri orang. Harus menyesuaikan diri dengan berbagai hal. Termasuk waktu sholat. Pasti beda dengan negara kita. Indonesia. Yang dilakukan Imron tadi pagi adalah bentuk ketaatan. Taat yang belum pada waktunya. Alhamdulillah.
Sekitar pukul 8.00 kami pergi ke Rumah Bu Mimin. Aku sempat bertanya-tanya. “Bu Mimin itu siapa?” Setelah berjalan kurang lebih 600 meter kami sampai ke sebuah kantor bersusun. Awalnya aku mengira ini motel. Ternyata ini adalah perkantoran yang bersususun. Memasuki sebuah ruangan yang menyerupai administrasi sebuah perkantoran. Kubaca tulisan disitu ‘Aura Cargo’. Oh ini yang sering dikatakan Pak Nur Ali? Cargo itu bernama Aura Cargo. Pihak yang akan menyambungkan kami dengan masyarakat disini.


Seorang perempuan paruh baya, mungkin usianya empat puluh lima. Cantik dan tersenyum renyah menyambut kami. Bu Ulfa memanggilnya Kak Mimin. Seusia ini masih dipanggil Kak? Lucu juga. Batinku. Agak aneh memang telinga ini mendengar sebutan ‘Kak’ untuk orang seusia beliau. Sebelumnya di Indonesia. Aku hanya mendengarnya untuk kakak-kakak pembina Pramuka. Sejurus kemudian aku teringat Upin-Ipin. Bukankah Ipin memanggil kakaknya Kak Ros? Mungkin saja karena Bu Mimin lebih tua dari Bu Ulfa, maka beliau memanggilnya Kak Mimin. Rasanya agak aneh juga aku harus memanggilnya Kak Mimin juga. Kupanggil dia Bu Mimin saja.

Terjadi perbincangan cukup serius antara Bu Mimin, Bu Ulfa, Suami Bu Mimin dan kami mahasiswa. Semacam negosiasi untuk kegiatan kami selama disana. Ada usulan rumah tahfidz, kongsi TKI atau mengikuti kegiatan KMNU (Keluarga Malaysia Nahdhatul Ulama) Bu Ulfa dan Bu Mimin kental dengan Nahdhatul Ulama. 

Suami Bu Mimin, entah siapa namanya, (beliau tidak kenalan dulu sih) bercerita banyak hal. Salah satunya tentang pendidikan di Malaysia. Beliau memberitahukan jika pendidikan di Malaysia itu bersifat terpusat. Hanya ada satu Aliyah di Kuala Lumpur. Satu-satunya sekolah Islam negeri disini. Dimasuki oleh anak-anak yang terseleksi ketat. Di sekolah itu orang tua tak perlu mengeluarkan sepeserpun ringgit. Terjamin secara intelektual dan finansial.

Siswa lain yang tak terjaring di sekolah itu memilih untuk sekolah di sekolah kebangsaan (jika di Indonesia sekolah negeri) dan sebagian lainnya bersekolah di sekolah swasta. Pendidikan di Malaysia gratis seratus persen untuk sekolah kebangsaan. Dari Sekolah Rendah sampai Sekolah Menengah. Jika di Indonesia menjamur pondok pesantren, maka di Malaysia hampir tak ada satu pun pondok pesantren. Di Malaysia hanya ada majlis-majlis taklim. Kenapa tak ada? Karena pemerintah Malaysia beranggapan bahwa pondok pesantren itu oposisi bagi pemerintah. Tak heran banyak di temui di Indonesia santri-santri dari Malaysia. Suami Bu Mimin mengakui, Malaysia kurang lembaga agama. Jika orang tua ingin anak-anaknya sekolah di lingkungan agama. Sekolah swasta Islam adalah pilihannya, dan untuk itu orang tua harus membayar mahal. 

Setelah selesai berbincang kami turun. Bu Ulfa mengajak kami sarapan. Roti Canai. Roti Canai, aku baru dengar hari ini. Saat pesan makanan, aku manut saja, saat semuanya memesan canai telur. 


“Minumnya ape?” kata pelayannya kudengar Bu Ulfa bilang “Te o saja semua” “Kamu apa Za?”tanya Navis
“Te o juga” padahal aku tak tahu Te o itu apa.
Farida beda lagi, ketika di tanya dia menjawab “Aku teh saja”
Beberapa menit kemudian datanglah pesanan kami. Roti Canai itu. Oh rupanya Roti Canai itu semacam martabak jika di Indonesia. Bedanya, jika di Indonesia martabak berisi telur dan potongan sayur, dimakan dengan cabai rawit atau acar. Canai telur berisi telur saja, dimakan dengan dicelupkan pada saus kare. Hmm... enak juga! Meski lidahku merasa aneh. Makanan Khas india yang populer di Malaysia. Alhamdulillah bisa merasakannya.

Minuman datang, baru kutahu, ternyata Te o adalah teh. Te O Ais adalah Es Teh. Dan Farida yang menyebutkan Teh saat ditanya “minum apa?” mendapatkan segelas minuman aneh berwarna coklat abu-abu, mirip kopi susu, tapi rasanya aneh. Getir, manis. Entahlah apa itu namanya.

AKU INGIN MELIHAT PETRONAS




Hari Ketiga, Jum’at, 28 Februari 2014
Aku semakin percaya pada kekuatan impian. Masih kuingat, aku pernah menuliskan “Aku ingin melihat Petronas” di daftar impianku yang kutempel di diding ma’had dua tahun lalu.
            Alhamdulillah, hari ini bisa ke Petronas. Sebelumnya aku hanya bisa melihat dari balkon kamar Navis saat menjemur pakaian. Lampunya yang kerlap kerlip dengan tinggi yang menjulang membuatku semakin penasaran ingin melihat Petronas.

            Teman-teman bilang Petronas itu dekat. “Dekat kok,  jalan kaki saja”  Akhirnya kami berjalan. Beriringan belok kiri, belok kanan terus saja. Belok lagi, nyebrang. Jauh sekali. Entah aku sudah lupa persisnya. Aku hanya menguntit teman-teman saja. Yang kurasakan adalah jauh sekali dan kaki ini mulai pegal-pegal. Mungkin 6 km lebih kami berjalan.

            Di perjalanan kami bertemu dengan dua lelaki. Dari Bandung rupanya, Karena aku, Etika, Wawan dan Farida terpisah dari rombongan lain. Jadilah dua lelaki yang kutahu namanya Amir menjadi teman perjalanan kami. Sepanjang jalan kami berbincang banyak hal. Tentang kuliah kami, tentang pekerjaan mereka sebagai tenaga di perusahaan komunikasi dan tentang pengalaman mereka plesiran.




Kebetulan Mas Amir memegang kamera Nikon. Jadilah kami ikut narsis sepanjang jalan. Mungkin belum sampai Petronas sudah puluhan gambar yang dibidik. Bagaimana tidak, jalan-jalan malam sejauh ini. Hanya berbincang dan foto-fotolah obatnya. Alhamdulillah, tambah kenalan, tambah saudara. Dia bilang akan mengirim foto itu melalui jejaring sosial.

            Petronas semakin dekat. Alhamdulillah. Hanya Alhamdulillah yang bisa kuucap setelah melihat Petronas. Mewujudkan impianku. Impian yang pernah kutempel di ma’had dua tahun lalu. Alhamdulillah Allah. Terima kasih untuk hari ini.

            Di perjalanan pulang, aku bertemu dengan seorang perempuan yang berjalan bersama anak dan suaminya. Mungkin karena mendengar kami berbicara Bahasa Indonesia, dia menyapa kami. Busananya sederhana, memakai sandal jepit dan meneteng tas kresek putih, entah apa isinya. Dia menyapa dan mengatakan bahwa dia juga dari Indonesia. “bahkan di Kuala Lumpur segini luasnya saya masih bertemu orang indonesia” begitu katanya.

            Saat kutanya ada kepentingan apa ke Kuala Lumpur? Dia mengatakan karena mengikuti short course di salah satu perguruan tinggi di Malaysia. Subhanallah. Wanita ini, penampilannya sangat sederhana tapi siapa sangka dia adalah salah satu peserta short course salah satu perguruan tinggi ternama. Aku bahkan sempat mengira dia adalah ibu-ibu yang mengajak jalan-jalan malam anaknya, karena penampilannya yang sangat sederhana. Don’t judge person by her cover Rizza!

            Di persimpangan, kami berpisah dengan wanita itu dan keluarganya, setelah sebelumnya berfoto bersama. Bertemu dengan orang satu negara di negara lain. Terlibat perbincangan dan berbagi pengalaman. Ini adalah pengalaman emas untukku. Indonesia telah menyatukan kita

            Hari ini teman-teman mengunjungi sekolah tempat mereka mengajar. Ya, sekedar ingin tahu saja dimana sekolah mereka berada. Karena hari Senin depan mereka harus mulai observasi ke sekolah sekaligus mengajar. Sekolah Indonesia Kuala Lumpur, Sekolah Damansara. Sementara Sekolah Islam Adni tempatku dan teman-teman PGMI. Kami belum mengunjungi sekolah, karena hari Senin sekolah itu ada cuti peristiwa. Cuti peristiwa adalah bahasa melayu untuk libur sekolah. Hari ini mungkin teman-teman PGMI sedikit lebih luang. Santai. Kugunakan untuk mencuci. Meski baru tiga hari, baju kotorku sudah menumpuk. Disini intensitas ganti bajuku lebih sering, karena panas dan keringat.


Jalan Raja Alang, Chow Kit, jalanan rutin tiap hari


            Sore hari tadi, setelah teman-teman pulang dari sekolah. Kami menyempatkan untuk berjalan-jalan di sekitar Chow Kit. Di ajak Ustadz Muhammad ke GM GM itu semacam pasar Kapasan di Surabaya. Pasar grosir, tempat barang-barang murah. Beli banyak lebih murah. Tapi kami hanya jalan-jalan saja. Tak membeli apapun. Belum saatnya membeli oleh-oleh. Begitulah kira-kira yang ada di pikiran kami.

PPI, IIUM, GOMBAK, ADNI DAN DATARAN MERDEKA




Hari Keempat, Sabtu, 1 Maret 2014
Hari ini padat sekali... Pagi hari hingga malam. Aku lelah. Lelah sekali. Namun setidaknya aku tetap bisa tersenyum malam ini. 

08.00- 17.00 waktu Kuala Lumpur. saatnya menyambung silaturahim

Kami sudah bersiap diri. Hari ini, agenda kami adalah menghadiri undangan futsal dengan teman-teman PPI Malaysia (Persatuan Pelajar Indonesia Malaysia). Menghadiri undangan ini adalah rangkaian agenda pengenalan pada masyarakat dan mahasiswa Malaysia.


Futsal diadakan di sebuah daerah bernama Gombak. Aku sendiri baru dengar nama itu. Kami berjalan beriringan menuju tempat pemberhentian bus. Tepat diperempatan Chow Kit. Melewati jalan yang sama, kali ini lebih pagi dari sebelumnya. Jalanan masih lengang. Pak Agus, Pak Trio, Bu Lutfi, Bu Ulfa. Semua ikut.

Kami sempat kebingungan. Naik bis apa? Nyegat dimana? Kami sama sekali tak tahu. Bertanya pada petugas di pos polis di ujung jalan adalah jalan keluarnya. Kami menunggu. Menunggu dengan kepastian. Karena di Malaysia, tempat pemberhentian ini dilengkapi dengan alat yang memberitahu. Jam berapa bis akan datang. 1 menit lagi, 30 detik lagi. Semuanya pasti.

Bis resmi di Malaysia bernama Rapid KL. Menaikinya dengan memasukkan uang ke sebuah alat pendeteksi. Keluarlah slip sebagai bukti pembayaran. Tempat duduk nyaman. Dan representatif untuk orang-orang berkebutuhan khusus. Ada spot khusus untuk orang berkebutuhan khusus, juga ada tempat khusus untuk kursi roda. Baru kali ini kutemukan. Bis yang ramah untuk semua penumpang.

Sesampainya di Gombak. Kami kembali melakukan perbincangan dengan mahasiswa anggota PPI dan KMNU. Sebelum akhirnya bermain futsal untuk lelaki dan bulutangkis untuk perempuan. Ada beberapa mahasiswa perempuan yang datang. Mereka masih mahasiswa semester 2 di IIUM. Menariknya, mahasiswa periang yang bernama Eki ini dulu diterima di UIN Maulana Malik Ibrahim Malang. Sudah melakukan registrasi. Tinggal mengikuti orientasi saja. Ia urung menjadi mahasiswa UIN Maulana Malik Ibrahim Malang karena pengumuman di IIUM menyatakan bahwa ia diterima. Menjadi mahasiswa IIUM adalah pilihannya.





Jika teman-teman bermain futsal dan bulutangkis, maka aku yang tak bisa mengikutinya memanfaatkan waktu itu untuk bertanya banyak hal pada mahasiswa lain yang ikut menonton. Berdasarkan perbincangan dengan banyak teman-teman PPI hari ini, berikut ini adalah gambaran tentang bagaimana mereka bisa menjadi mahasiswa di Malaysia;
Ø  Untuk starta S1 (degree) calon mahasiswa hanya menunjukkan nilai rapor masa sekolah menengahnya saja. Mengikuti tes yang ditentukan.
Ø  Sebelum diterima menjadi mahasiswa, calon mahasiswa harus mengikuti program pembekalan bahasa inggris sampai tingkatan yang ditentukan. Jika lulus pada satu tingkatan maka dinyatakan lulus dan menjadi mahasiswa,  jika gagal maka lanjut tingkat dua dan seterusnya. Waktu pembekalan ini selama dua tahun. Jika selama dua tahun, tidak lulus juga, maka sudah dipastikan ia tidak bisa menjadi mahasiswa.
Ø  Biaya kuliah satu tahun di Malaysia (lengkap dengan asrama) rata-rata sebesar 10.000 RM (1 RM = ±3.500)
Ø  Untuk IIUM (International Islamic University Malaysia) bahasa pengantar menggunakan bahasa inggris dan bahasa arab
Ø  Berlaku semester pendek, bagi mahasiswa yang berkeinginan mempersingkat masa studinya atau mengambil mata kuliah bahasa arab,
Setelah lelah bermain futsal dan bulutangkis. Kami diajak untuk melihat kampus IIUM. Memasuki kampus megah ini. Hanya rasa syukur dan takjub yang kuucapkan. Kampus ini benar-benar apik. Tertata begitu rapi. Dengan bangunan-bangunan yang menjulang tinggi. Asrama mahasiswa berjejer di tepi kampus. Terpisah antara asrama perempuan dan laki-laki. Mayoritas mahasiswa degree IIUM tinggal di asrama. Selain karena biaya sewanya lebih murah dari kontrak rumah di luar kampus juga karena letaknya di lingkungan kampus dan keamanan terjamin.


Jika di ma’had Aly UIN Maulana Malik Ibrahim Malang terdapat program-program ma’hadi yang memperkuat keilmuan agama mahasiswa, maka di IIUM asrama mahasiswa adalah penginapan saja. Tanpa peraturan apapun! Tak ada ngaji bersama, tak ada  batas akhir masuk asrama. Yang ada adalah tak bolehnya mahasiswa lelaki menyatroni asrama mahasiswa perempuan dan sebaliknya.Semua sudah dewasa. Tanggung jawab ada pada diri mereka.

Kantin asramanya pun bersih, masakan selalu tersedia dalam keadaan hangat. Gizinya pun terjamin. Hidangannya bermutu gizi tinggi namun tetap terjangkau. Karena mendapatkan subsidi dari kampus. Kursi-kursi makan selalu bersih. 

Pukul 18.30 waktu Kuala Lumpur, Dimana Adni?

Baru saja satu jam beristirahat, kami tim yang ditugaskan ke Sekolah Islam harus bersiap untuk hunting. Dimana Adni berada? Di surat balasan dari Adni tertulis 

ADNI ISLAMIC SCHOOL,
Jalan 1 Taman Sri Ukay, 68ooo Ampang, Selangor D.E

Aku, Navis, Nida dan Najib diantarkan oleh Ustadz Muhammad mencari sekolah tersebut. Pak Trio bilang Sekolah Adni itu tak terlalu jauh, “jalan Ampang itu dekat” tapi kami membutuhkan waktu hingga pukul 21.00 untuk menemukan Adni. Setelah tersasar, beberapa kali. Sampailah kami ke depan sekolah Adni. Kueja tulisan arab pegon yang tertulis di tembok. Ya, inilah Sekolah Islam Adni, tempat kami mengajar mulai besok. Alhamdulillah.

Setelah berbincang sebentar dengan security.Kami pamit undur diri. Niat hati ingin segera beristirahat, menyiapkan fisik untuk hari pertama di sekolah. Ternyata takdir berkata lain. Penginapan Pustaka Mujadid terkunci. Agung yang dihubungi Nida lewat handphone mengatakan jika teman-teman sedang di dataran merdeka. Kontan saja kami syok, apalagi Agung mengatakan mereka baru sampai di dataran merdeka karena mereka menempuhnya dengan jalan kaki. Menunggu mereka pulang? Rasanya tidak mungkin. Kami berempat tidak mungkin klesetan di tangga dengan kondisi yang lelah luar biasa seperti ini.

            Tak ada pilihan lain kecuali menyusul mereka. Untung saja ustadz Muhammad mau mengantarkan kami dengan mobilnya. Dataran mereka itu adalah sebuah bangunan tua peninggalan Inggris yang berada di tengah Kuala Lumpur. Merupakan area car free, sehingga udaranya benar-benar segar. Segarnya malam Malaysia. 

            Ada banyak keluarga dengan anak-anak yang lucu disana. Ada sejoli yang duduk-duduk berbagi cerita. Ada segerombolam pemuda yang mendiskusikan hal entah apa. Ada penjual mainan dan minuman yang tak henti berteriak menjajakan dagangannya. Meski begitu suasana masih terkendali, tidak bising sama sekali.

KEHIDUPAN TKI MALAYSIA, SEBUAH IRONI



Hari Kelima, 2 Maret 2014
Berkunjung ke kongsi TKI itulah agenda besar kita hari ini. Aku sempat berpikir bahwa hari ini aku akan hadir di sebuah camp pembekalan TKI, semacam ruangan yang nantinya kami akan berdiskusi berdiskusi banyak hal. Tapi ternyata aku salah, kongsi TKI yang dimaksud bukanlah seperti yang ada dalam khayalku. Beda sekali.

Dengan menaiki Ben (sebutan untuk mobil isi kurang dari 20) kami berangkat menuju kongsi TKI yang kebetulan memiliki agenda pertemuan rutin sekaligus pengajian. Perjalanan cukup jauh, membuatku semakin penasaran. Pak Trio menyebutkan IKMA (Ikatan Keluarga Madura Malaysia). Oh, madunten?
Sesampainya disana kami cukup ngeri karena harus memasuki sebuah proyek pembangunan, entah mall atau apartement, yang jelas suasananya begitu mencekam, gelap dan tak beraturan. Ditambah lagi mobil ini harus naik ke lantai atas melewati jalan yang berputar seperti di Pasar Turi dengan kondisi gelap dan semrawut begini. Ah... sholawatan mulai terdengar sayup-sayup

            Ternyata beginilah kongsi itu. Sebuah perkumpulan tenaga kerja yang menyelesaikan proyek pembangunan. Dalam satu lantai ada lebih dari tiga ratus orang. Membentuk perkampungan kecil. Ada kamar-kamar dari triplek. Juga ada baju menggantung berjajar. Anggaplah itu jemuran. Aku lebih menganggap ini sebagai perkampungan dadakan yang kumuh.

            Ya inilah perkampungan dadakan itu. Bagaimana tidak, ada mushola, ada tempat menonton bersama, ada kantin, ada kamar-kamar untuk mereka yang sudah menikah dengan masing-masing memiliki dapur dan masih banyak lagi suudt-sudut yang luar biasa.baru kutemui disitu.

            Salah satu TKW menjelaskan, bahwa kongsi ini terdiri dari laki-laki dan perempuan yang jumlahnya ratusan. Mereka tinggal di kampung itu, atau lebih tepatnya lantai itu sampai lantai itu siap dihuni. Dan perkampungan itu harus ‘digusur’ untuk dipindah ke proyek lain. Dalam sehari mereka mendapat gaji 50-100 ringgit, tergantung pekerjaan apa yang dikerjakan. Tak peduli lelaki atau perempuan semuanya sama. Angkat batu bata, plamir, adalah hal biasa.

            Kebetulan Bu Mimin juga datang, setelah memberikan sambutan beliau bercerita banyak hal. Bahwa kongsi-kongsi seperti ini tidak semua dihuni oleh mereka yang memiliki paspor. Ada banyak imigran gelap Indonesia. Untuk itu bos kongsi tidak pernah mengizinkan TKI itu keluar dari lingkungan –hidupnya hanya di proyek bangunan itu saja- jika, tertangkap oleh polis (polisi) maka itu tanggung jawab individu masing-masing. Benar saja, diantara mereka mengaku bahwa dirinya illegal dan pernah dibui beberapa bulan.

SERASA BERADA DI INDIA




Hari Keenam, Senin 3 Maret 2014
Teman-teman dari SIK dan Dhamansara hari ini mulai ke sekolah. Penyerahan mahasiswa yang didampingi oleh Bu Sulalah, Pak Imam Bani, Pak Trio dan Imam Ahmad. Ini hari pertama mereka ke sekolah. Pasti menyenangkan.

Kami yang mendapat tempat di Sekolah Islam Adni? Karena Adni hari ini ada cuti peristiwa (libur kondisional) maka masa Adni dikurangi sehari. Lalu apa yang kami lakukan hari ini? Ke masjid India. Seperti apa ya masjid India itu? Itu yang menjadi pikirku beberapa hari ini.

Aku, Najib, Navis dan Nida nekat pergi ke Masjid India. Meski kami tak tahu letak persisnya dimana masjid India itu. Jalan saja. Nanti tanya orang, itu modalnya. Dengan naik LRT jurusan Pasar Seni kami mulai petualangan kami hari ini.

Ternyata Masjid India itu adalah sebuah masjid yang berada di lingkungan masyarakat keturunan India. Bentuk masjidnya pun hampir sama dengan masjid-masjid di India. Banyak orang india disini. Penjual es India, penjual baju India. Kain-kain sari menjuntai banyak dijumpai. Meski sebelum-sebelumnya aku sering menjumpai orang India di jalanan. Berada di lingkungan masjid India ini membuatku merasa benar-benar ada di India. Masyaallah





Masjid India letaknya tak terlalu jauh dari Masjid Jamek, mungkin sekitar 300 meter. Kami juga menyambangi Masjid Jamek. Masjid yang besar dan indah. Kami kaget ketika melihat banyak orang berjubah ungu. Oh ternyata mereka adalah pengunjung yang tak berjilbab. Bagi pengunjung yang tak berjilbab diharuskan menyewa jubah dengan tutup kepala di atasnya.  

 
Kain adalah oleh-oleh pertama yang kami beli. Nida bilang di Malaysia itu kainnya bagus dan murah. Setelah berkeliling lama di sekitar pertokoan Masjid India, akhirnya kami menemukan toko kain yang murah dengan kualitas bagus. Aku membeli dua potong kain untuk ibuku. Semoga beliau senang.






Evaluasi malam ini. Ya, setiap malam kita selalu melakukan evaluasi, tak peduli jam berapa. Yang penting kegiatan selesai kami melakukan ritual evaluasi. Berkumpul di ruang tengah. Di pimpin Pak Trio kami melakukan evaluasi. Jika ada yang bertugas masak, ya masak. Tetap terdengar, karena rumah ini tak terlalu besar. 

Saat teman-teman bercerita tentang pemyambutannya, kami yang bertempat di Adni malah bercerita tentang Masjid India dan beli kain. Pak Trio berseloroh “Oh jadi yang di dapat hari ini dari teman-teman Adni adalah bisa naik LRT, nggak nyasar dan bisa beli kain. Alhamdulillah” kontan saja semua tertawa.

Aku suka film India, aku suka tarian, nyanyian dan cara mereka menjaga budaya lokal. Aku pernah menuliskan sebuah mimpi “Aku ingin ke India” Meski aku belum pernah ke India, hari ini aku merasakan seperti berada di India. Wanita-wanita bersari menjuntai dan bersindur merah disana adalah atmosfernya.

Chow Kit, terbayang kain sari
Pelajaran hari ini:
ü  Jika membeli kain –apalagi belum tahu harga pasaran disana-berkelilinglah dulu. Carilah perbandingan. Karena kualitas sama, kadang ada yang dibandrol dengam harga berbeda.
ü  Jika tak bisa bahasa India, pakailah bahasa Inggris. (berlaku juga untuk bahasa asing lain)
ü  Berminat membeli kain sari? Di pertokoan masjid Indialah tempatnya
Hari Selanjutnya