Senin, 22 April 2013

SANGGUL KECILKU

Melihat gadis-gadis kecil bersanggul, bergincu merekah dan pakaian adat yang indah adalah pemandangan yang lazim terjadi setiap tahunnya di tanggal 21 April. Sebuah tanggal keramat yang dikultuskan sebagai hari emansipasi wanita. Wanita itu bernama Kartini yang fotonya anggun, berkebaya putih dan bersanggul. Kata anak-anak Kartini adalah putri sejati yang harum namanya sepanjang masa.

Pernah menikmati fenomena 21 April? Anak-anak berdandan sedemikian rupa, ada yang berpakaian tradisional aceh, jawa, Sumatra juga berpakaian sesuai profesi impiannya, Polisi, dokter dll. Mereka berbaris rapi , mengular memanjang membelah jalanan. Meskipun peluh membasah namun mereka tetap ceria dengan ‘pakaian kebesarannya’

Saya pribadi sangat terkesan dengan ‘suguhan kultural’ 21 April. Karnaval budaya dan cita-cita. Mengingatkan masa kecil dengan rutinitas yang sama. Anak-anak masa lalu dan anak-anak masa kini masih lekat mengenal 21 April sebagai Hari Kartini. Ya Kartini, Putri Indonesia yang harum namanya itu?


Mengapa Kartini begitu terkenang? Mengapa tak yang lain saja. Padahal kita pun mengenal pahlawan wanita lainnya, Cut Nyak Dien, Cut Meutia, Dewi Sartika, kenal kan? Setidaknya pernah membaca nama mereka dintuku sejarah. Mereka pun pahlawan, namun namanya tak terlalu membekas. Mengapa Kartini? Karena Kartini mau menulis. Ia gemar bertukar surat dengan temannya –Ny. Abendanon- Menceritakan apa yang dialaminya, apa yang sedang terjadi di Indonesia, apa yang dia rasakan menjadi wanita Indonesia dan apa impiannya untuk Indonesia. Ia menuliskannya yang kini kita kenal dengan Habis Gelap Terbitlah Terang.

Kartini tidak berperang seperti Cut Nyak Dien. Tapi Kartini juga pahlawan wanita. Lalu apa yang dilakukan Kartini? Kartini mengajarkan anak-anak gadis membaca dan wanita ketrampilan yang dapat menunjang hidupnya. Kartini berusaha menyuntikkan semangat agar wanita tidak tunduk pada aturan zamannya. Aturan yang meletakkan wanita menjadi  pelaku hidup kedua setelah lelaki. Pada surat-surat Kartini tertulis pemikiran-pemikirannya tentang kondisi sosial saat itu, terutama tentang kondisi perempuan pribumi. Sebagian besar surat-suratnya berisi keluhan dan gugatan khususnya menyangkut budaya di Jawa yang dipandang sebagai penghambat kemajuan perempuan. Dia ingin wanita memiliki kebebasan menuntut ilmu dan belajar. Kartini menulis ide dan cita-citanya, seperti tertulis: Zelf-ontwikkeling dan Zelf-onderricht, Zelf- vertrouwen dan Zelf-werkzaamheid dan juga Solidariteit. Semua itu atas dasar Religieusiteit, Wijsheid en Schoonheid (yaitu Ketuhanan, Kebijaksanaan dan Keindahan), ditambah dengan Humanitarianisme (peri kemanusiaan) dan Nasionalisme (cinta tanah air).

Surat-surat Kartini juga berisi harapannya untuk memperoleh pertolongan dari luar. Pada perkenalan dengan Estelle "Stella" Zeehandelaar, Kartini mengungkap keinginan untuk menjadi seperti kaum muda Eropa. Ia menggambarkan penderitaan perempuan Jawa akibat kungkungan adat, yaitu tidak bisa bebas duduk di bangku sekolah, harus dipingit, dinikahkan dengan laki-laki yang tak dikenal, dan harus bersedia dimadu.

Pandangan-pandangan kritis lain yang diungkapkan Kartini dalam surat-suratnya adalah kritik terhadap agamanya. Ia mempertanyakan mengapa kitab suci harus dilafalkan dan dihafalkan tanpa diwajibkan untuk dipahami. Ia mengungkapkan tentang pandangan bahwa dunia akan lebih damai jika tidak ada agama yang sering menjadi alasan manusia untuk berselisih, terpisah, dan saling menyakiti. "...Agama harus menjaga kita daripada berbuat dosa, tetapi berapa banyaknya dosa diperbuat orang atas nama agama itu..." Kartini mempertanyakan tentang agama yang dijadikan pembenaran bagi kaum laki-laki untuk berpoligami. Bagi Kartini, lengkap sudah penderitaan perempuan Jawa yang dunianya hanya sebatas tembok rumah.

Kartini dengan semua pemikirannya yang tertulis telah membukakan mata perempuan Indonesia. Bagaimana menjadi wanita yang taat pada Tuhannya, cinta pada keluarganya dan berkiprah untuk masrakatnya. Namun sepertinya pemikiran emansipasi yang dipelopori Kartini banyak diartikan menjadi emansipasi yang sebebas-bebasnya. Bahwa wanita sejajar dengan lelaki bahkan wanita bisa melebihi lelaki dalam berbagai hal.

Menurut saya, makna emansipasi tidak bisa diartikan sebebas itu, perlu telaah mendalam dan diinsyafi secara kodrati. Bahwa lelaki sampai kapanpun adalah imam bagi wanita. Arrijalu Qowwamuna Alannisa’.  Ayat tersebut bukanlah mengartikan kelemahan wanita atas pria namun lebih kepada perlindungan dan penghormatan pada wanita. Islam sangat menghormati wanita hingga mewajibkan lelaki untuk melindunginya. Emansipasi bagi wanita ada pada kebebasan dalam menuntut ilmu, berbudaya dan berproses dalam masyarakat. Seperti Kartini, yang berbuat untuk masyarakatnya namun tetap cinta pada Tuhannya dan menghormati suaminya. Wallahu’alam


 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar