Jumat, 28 Maret 2014

SELAMAT DATANG DI KUALA LUMPUR!




Hari Kedua, Kamis, 27 Februari 2014
Pagi pertama di Malaysia. Aku bangun jam setengah tujuh! Dan aku belum sholat Shubuh! Tentu saja aku geragapan. “Sudah setengah tujuh ya, haduh aku belum sholat Shubuh nih. Kok nggak dibangunin sih” protesku pada Farida dan Etika. Kulihat mereka tersenyum. “Rizza, tenang saja. Ini masih baru saja adzan kok” Apa? Setengah tujuh pagi baru adzan? Benar saja. Lamat-lamat kudengar suara Al-Fatihah dari corong masjid. Alhamdulillah.
Setelah sholat kucoba menyibak tirai dan masih gelap! Benar-benar nuansa Shubuh seperti di Indonesia! Subhanallah!. Aku baru tahu, ternyata waktu shubuh Malaysia itu pukul 06.15 waktu Malaysia. Jika di Indonesia, khususnya Malang waktu shubuh pukul 04.15 WIB, berarti ada beda dua jam. Padahal Malaysia memiliki beda satu jam lebih cepat dari Indonesia. Mengapa sholatnya berbeda dua jam ya? Ah, entahhlah, aku tak paham tentang astronomi atau almanak.
Teman-teman laki-laki heboh diluar. Saat kutanya “Ada apa?” Mereka bercerita kalo Imron membangunkan teman-teman pukul 5.00 pagi tadi. Membangunkan untuk sholat Shubuh. Dan mereka kaget saat jam 06.15 ada adzan. Adzan Shubuh! Inilah resikonya di negeri orang. Harus menyesuaikan diri dengan berbagai hal. Termasuk waktu sholat. Pasti beda dengan negara kita. Indonesia. Yang dilakukan Imron tadi pagi adalah bentuk ketaatan. Taat yang belum pada waktunya. Alhamdulillah.
Sekitar pukul 8.00 kami pergi ke Rumah Bu Mimin. Aku sempat bertanya-tanya. “Bu Mimin itu siapa?” Setelah berjalan kurang lebih 600 meter kami sampai ke sebuah kantor bersusun. Awalnya aku mengira ini motel. Ternyata ini adalah perkantoran yang bersususun. Memasuki sebuah ruangan yang menyerupai administrasi sebuah perkantoran. Kubaca tulisan disitu ‘Aura Cargo’. Oh ini yang sering dikatakan Pak Nur Ali? Cargo itu bernama Aura Cargo. Pihak yang akan menyambungkan kami dengan masyarakat disini.


Seorang perempuan paruh baya, mungkin usianya empat puluh lima. Cantik dan tersenyum renyah menyambut kami. Bu Ulfa memanggilnya Kak Mimin. Seusia ini masih dipanggil Kak? Lucu juga. Batinku. Agak aneh memang telinga ini mendengar sebutan ‘Kak’ untuk orang seusia beliau. Sebelumnya di Indonesia. Aku hanya mendengarnya untuk kakak-kakak pembina Pramuka. Sejurus kemudian aku teringat Upin-Ipin. Bukankah Ipin memanggil kakaknya Kak Ros? Mungkin saja karena Bu Mimin lebih tua dari Bu Ulfa, maka beliau memanggilnya Kak Mimin. Rasanya agak aneh juga aku harus memanggilnya Kak Mimin juga. Kupanggil dia Bu Mimin saja.

Terjadi perbincangan cukup serius antara Bu Mimin, Bu Ulfa, Suami Bu Mimin dan kami mahasiswa. Semacam negosiasi untuk kegiatan kami selama disana. Ada usulan rumah tahfidz, kongsi TKI atau mengikuti kegiatan KMNU (Keluarga Malaysia Nahdhatul Ulama) Bu Ulfa dan Bu Mimin kental dengan Nahdhatul Ulama. 

Suami Bu Mimin, entah siapa namanya, (beliau tidak kenalan dulu sih) bercerita banyak hal. Salah satunya tentang pendidikan di Malaysia. Beliau memberitahukan jika pendidikan di Malaysia itu bersifat terpusat. Hanya ada satu Aliyah di Kuala Lumpur. Satu-satunya sekolah Islam negeri disini. Dimasuki oleh anak-anak yang terseleksi ketat. Di sekolah itu orang tua tak perlu mengeluarkan sepeserpun ringgit. Terjamin secara intelektual dan finansial.

Siswa lain yang tak terjaring di sekolah itu memilih untuk sekolah di sekolah kebangsaan (jika di Indonesia sekolah negeri) dan sebagian lainnya bersekolah di sekolah swasta. Pendidikan di Malaysia gratis seratus persen untuk sekolah kebangsaan. Dari Sekolah Rendah sampai Sekolah Menengah. Jika di Indonesia menjamur pondok pesantren, maka di Malaysia hampir tak ada satu pun pondok pesantren. Di Malaysia hanya ada majlis-majlis taklim. Kenapa tak ada? Karena pemerintah Malaysia beranggapan bahwa pondok pesantren itu oposisi bagi pemerintah. Tak heran banyak di temui di Indonesia santri-santri dari Malaysia. Suami Bu Mimin mengakui, Malaysia kurang lembaga agama. Jika orang tua ingin anak-anaknya sekolah di lingkungan agama. Sekolah swasta Islam adalah pilihannya, dan untuk itu orang tua harus membayar mahal. 

Setelah selesai berbincang kami turun. Bu Ulfa mengajak kami sarapan. Roti Canai. Roti Canai, aku baru dengar hari ini. Saat pesan makanan, aku manut saja, saat semuanya memesan canai telur. 


“Minumnya ape?” kata pelayannya kudengar Bu Ulfa bilang “Te o saja semua” “Kamu apa Za?”tanya Navis
“Te o juga” padahal aku tak tahu Te o itu apa.
Farida beda lagi, ketika di tanya dia menjawab “Aku teh saja”
Beberapa menit kemudian datanglah pesanan kami. Roti Canai itu. Oh rupanya Roti Canai itu semacam martabak jika di Indonesia. Bedanya, jika di Indonesia martabak berisi telur dan potongan sayur, dimakan dengan cabai rawit atau acar. Canai telur berisi telur saja, dimakan dengan dicelupkan pada saus kare. Hmm... enak juga! Meski lidahku merasa aneh. Makanan Khas india yang populer di Malaysia. Alhamdulillah bisa merasakannya.

Minuman datang, baru kutahu, ternyata Te o adalah teh. Te O Ais adalah Es Teh. Dan Farida yang menyebutkan Teh saat ditanya “minum apa?” mendapatkan segelas minuman aneh berwarna coklat abu-abu, mirip kopi susu, tapi rasanya aneh. Getir, manis. Entahlah apa itu namanya.


            Pulang dari sarapan. Kami kembali ke penginapan. Berjalan melewati pertokoan dan pasar. Baru aku sadar, ternyata ini adalah pasar. Jika di indonesia mungkin namanya pasar krempyeng. Pasar yang hanya ramai sebentar lalu sepi. Baru kutahu juga, daerah yang kutempati ini bernama Chow Kit. Bu Mimin bilang, “Chow Kit itu seperti Indonesia kecil, semua makanan dari Indonesia ada di Chow Kit. Mulai dari nasi padang, soto, bakso. Semua ada. Orang-orangnya pun kebanyakan orang Indonesia”


Mau kemana kita hari ini? Entahlah. Teman-teman bilang kita akan ke Bukit Bintang. Seperti apa Bukit Bintang itu? Aku hanya bisa mengira-ngira. Mengikut saja. Mau kemana nanti, aku menganggapnya sebagai kejutan. Hal yang baru pasti menyenangkan.
            Matahari terik sekali. Keringatku mengucur dari tadi. Malaysia, kenapa panasmu seekstrem ini? Jalan kaki jauh sekali, ditambah udara yang panasnya luar biasa, membuatku sedikit kehilangan konsentrasi. Bismillah... Cuma itu yang kuucapkan. Baru hari pertama, Masih ada hari-hari selanjutnya Rizza, bisik hatiku.
            Oh... Bukit Bintang itu bukan bukit ternyata. Aku terlanjur membayangkan kalau Bukit Bintang itu seperti bukit teletubbies. Ternyata bukit bintang itu adalah Mall. Mall dengan barang-barang branded yang senilai dengan uang ringgit yang kubawa. Jalan-jalan sajalah. Hitung-hitung window shooping dan cari hawa. Satu lagi, foto-foto ^_^


            Setelah puas jalan-jalan kami memutuskan pulang. Pulang itu berarti kita akan melewati jalan yang tadi kita lewati. Deretan pertokoan dan pasar-pasar. Hari ini aku juga membeli kartu Malaysia. U mobile namanya. Harganya 10 ringgit, kartu saja. Jika satu ringgit 3500. Oh Tuhan, harga sebuah kartu dengan bonus 5 ringgit di dalamnya. Mahal sekali! Tak apalah. Yang penting bisa berbincang dan mengirim kabar dengan ibu dan keluarga di rumah. Internetan dengan jangka satu bulan harganya 17 rinngit.

            Jalan pulang ini, aku merasakan seperti berjalan di pertokoan Pasar Besar Malang, toko kaset berjejer dengan lagu-lagu Indonesia sebagai hitsnya. Lagu Zaskia Gotik, “Jum’at Sabtu, sampai Minggu kok masih nggak ketemu” berulang kali di putar. Selain itu lagu milik Tegar “ Aku yang dulu bukanlah yang sekarang” juga terdengar. Kemarin saat perjalanan dari bandara ke penginapan, lagu milik Wali yang di putar di bis. Rupanya, lagu Indonesia menjadi primadona disini.

            Dan kegiatan malam ini, setelah tadi bertemu Bu Mimin. Kami menuju sekeretariat KMNU. Ada istighotzah dan rapat. Memperingati 40 hari Kyai Sahal. Di tempat itu kami berkenalan dengan banyak mahasiswa Indonesia yang kuliah di Malaysia. Pria-pria muda itu, pria-pria sederhana yang khusyuk saat berdoa namun ilmunya mendunia. Ada yang pernah mendapat beasiswa belajar ke Yaman, Ke Mesir dan masih banyak lagi. Aku selalu kagum dengan orang seperti mereka ini. Berilmu tapi sederhana sekali. Tutur katanya, perangainya, penampilannya. Tak ada yang perlu disombongkan. Andai seluruh pria seperti mereka. Betapa indahnya dunia ini.

            Malam ini, malam keduaku di Malaysia. Malam yang cukup panas, padahal AC sudah on dan aku tidur tanpa selimut. Ah malam selanjutnya pasti terbiasa.
Chow Kit, Kuala Lumpur, Selangor Malaysia
Pelajaran hari ini:
ü  Hidup di negeri orang akan ada banyak perbedaan. Karena kita Muslim, perhatikan dengan cermat waktu sholat. Mungkin lebih cepat atau lebih lambat.
ü  Malaysia itu panas sekali. Berada lurus dengan garis khatulistiwa. Pakailah jilbab dan baju kaos atau katun yang menyerap keringat.
ü  Jika belum tahu tempat-tempat yang ingin kamu tuju atau hal lain. Jangan malu bertanya. Jika mereka tak paham Bahasa Indonesia dan kamu tak paham bahasa Melayu. Tak ada bahasa pemersatu lain selain Bahasa Inggris. Malaysia negara jajahan Inggris. Bahasa Inggris adalah bahasa kedua setelah Bahasa Melayu
ü  Naik LRT? Simpan baik-baik koinnya. Jangan sampai hilang atau kamu tak bisa keluar stasiun kecuali melapor pada petugas.
ü  Jika memungkinkan untuk jalan kaki. Jalan kaki saja. Selain menghemat ringgit. Juga untuk melihat lebih detail aktivitas masyarakat. Capek? Istirahat ^_^
ü  Bawalah minum sendiri, Malaysia itu panas sekali. Jangan sampai dehidrasi!
Hari Selanjutnya



1 komentar:

  1. assalamu'alaykum mbak,
    mbak pelajar indonesia yang sedang menempuh pendidikan dimalaysia kah ?
    jika benar, bolehkah berbagi informasi ke saya.
    ini alamat e-mail saya yg bisa dihubungi
    desii.suryama41@yahoo.com
    terima kasih

    BalasHapus