Andai aku punya waktu
lebih lama berada disini, tentu aku akan senang sekali. Ya, akan kujaga kau
setiap hari, selalu ada setiap kau memanggilku dan membutuhkanku. Sayangnya aku
tak punya waktu itu Yah, aku harus berkutat dengan urusan kuliahku. Aku hanya ingin
membahagiakanmu dengan kelulusanku. “Aku berangkat dulu ya Yah” bisikku di
telingamu. Kau hanya mengangguk dengan mata tetap terpejam.
Malam hari itu, pukul
tiga pagi. Lorong rumah sakit masih sangat sepi. Kutarik koperku berlahan, agar
tak mengganggu pasien di kamar lainnya. Ibuku menguntit di belakangku. Pamit
pada ibu adalah ritual sakral setiap keberangkatanku, apalagi harus berangkat
dari tempat pesakitan seperti ini. Menyesakkan.
“Kalau mau menikah,
menikah saja.... Kalau sudah ada calon bilang saja, haha”, “nanti kamu tak
belikan rumah, kamu bisa buat kos-kosan. Jadi ibu kos saja, kamu tinggal duduk
di rumah, ngurusi anak dan suamimu, tiap bulan uang datang. Kamu nggak usah
susah cari uang Nduk” terngiang kata-kata ayah malam itu. Malam mencekam,
panasnya tinggi, matanya, terpejam dengan mulut yang tak pernah berhenti
bicara. Kata-kata yang belum pernah terucap sebelumnya.
Kata-kata ayah barusan, mungkin ia ucapkan tanpa sadar. Keluar begitu saja. Mungkin merupakan isis hatinya yang sudah ia pendam sejak lama. Aku menikah? Sebenarnya aku tak takut menikah. Pertanyaannya sederhana saja. Menikah dengan siapa? Apakah ayah sudah punya calon untukku? Oh tidak, bukankah ia bilang kalau sudah punya calon bilang saja? Ah... aku masih skripsi ayah. Kalau boleh jujur, aku sempat kacau gara-gara ceracau itu. Ayah, belum ada siapa-siapa, lalu aku harus bagaimana?
Aku pernah berjanji,
bahwa aku tak akan menangis lagi padanya, tapi malam itu, bagaimana bisa aku
tak menangis? Ayah terus merapal, menceracau, Merapal pesan-pesan.
Sebentar-sebentar menyebut namaku dan mengucap pesan untukku, lalu mencari
adikku, Faisal. Faisal datang, dan ia mulai lagi merapal pesan.
Ayah mencari Farid, aku
harus mencarinya di luar kamar pasien, karena Farid masih suka main dan
keliling jalan-jalan. Padahal aku sudah berpesan “Jangan kemana-mana, ayah
sering mencari kamu” tapi tetap saja, adik kecilku itu bebal. Ah... aku lupa,
ia masih terlalu kecil untuk mengerti tentang kesedihan dan ketakutan. Kutarik Farid
mendekat pada ayah “Yah, ini Farid disini, ayah mau bilang apa sama Farid?”
tanyaku.
“Farid ya, oh dia kan
suka jualan mainan, nanti biar dimodalin. Dia jadi pedagang saja” kata ayah
sambil tertawa kecil. Farid adikku hanya tersenyum dan bingung melihatku. Lebih
tepatnya melihat bulir air mataku. Kenapa semua orang menangis? Kenapa?
“Mbak Rizza, kenapa
sih? Ah, gembeng, week”
“Nggak apa-apa, ya
sudah sana main diluar tapi jangan jauh-jauh”
Inikah namanya wasiat
itu Allah? Apakah ini namanya pesan terakhir? Apakah ayahku akan mati? Apakah
ini malam terakhirnya? Oh jangan Allah, jangan! Aku masih ingin punya ayah di
hidupku, aku ingin ayah hadir di prosesi wisudaku, aku ingin ayah sendiri yang
menikahkan aku, aku ingin... Adik-adikku masih kecil Allah. Please..
Bagaimana bisa aku
terpejam, sementara ayah masih terus merapal pesan? Bagaimana bisa aku makan,
jika ayah sudah dua hari ini tak mau makan? Bagaimana aku tidak menangis,
melihat ibuku yang tertidur dengan bulir di sudut matanya? Dua adikku, tertidur
kemulan sarung di luar sana. Aku
hanya duduk di sampingnya, memegang erat tangannya dan mengucap “inggih Yah”
atas semua pesannya.
“Tak ada lagi jalan
lain Bu, Bapak harus HD segera, saya jadwalkan segera kalau ibu mau
menandatangani surat persetujuan itu. Racun tubuhnya sudah naik ke otak, kalau
tidak segera, bapak bisa gila. Beberapa hari ini menceracau terus kan tiap
malam?”
“Iya Dok, setiap hari
selalu ngomong banyak hal, sampai kadang-kadang diulang-ulang. Mirip kaset
ruwet begitu” kata ibuku
“Nah, itu sudah
buktinya. Kalau bapak tidak segera dicuci darahnya, tubuhnya akan terus bengkak
dan menceracau. Mau ya?”
“Eh.. Dok, apa tidak
ada cara lain? Saya takut kalau...”
“Sudah Dok, mana surat
yang harus kami tanda tangani Dok?” aku tak tahan terus berada di balik tembok
dan menguping pembicaraan mereka. Lebih tepatnya aku tak mau mendengar
kemungkinan-kemungkinan buruk tentang ayah. Aku tahu dokter tetaplah manusia,
bukan peramal yang bisa meramal hidup seseorang, tapi setidaknya dia adalah orang
yang telah belajar ilmu kesehatan bertahun-tahun dan telah menangani banyak
pasien yang mungkin sama dengan ayah.
“Kamu dengar Nduk?”
mata ibuku berkaca-kaca
“Iya Bu, saya mendengar
semuanya. Suratnya, apakah bisa saya tanda tangani segera?” todongku pada
dokter berkumis itu.
“Nduk, nanti kalau ayah
kesakitan bagaimana? Kalau ayah nggak sembuh bagaimana? Kalau ayah, Ah darah
kok dicuci. Ibu nggak bisa bayangin” Ibuku menutup memukanya. Tubuhnya
menggigil.
Kubawa ibuku masuk ke
kamar, kukedipkan mata pada dokter itu. Dia mengerti dan kembali ke kantornya.
Kubiarkan ibuku terduduk lemas di kursi samping tempat tidur ayah. Kuambil
laptop dan kutancapkan modem. Kucari website Pipiet Senja, yang berkisah
tentang hidupnya. Siapapun tahu, kalau Pipiet Senja adalah wanita inspiratif
yang berhasil berjuang melawan penyakitnya, meski harus cuci darah seumur
hidupnya.
“Bu, ibu tahu kan kalau
Mbak Rizza suka menulis dan ikut organisasi kepenulisan? Nah, salah satu senior
penulis itu ada yang cuci darah juga Bu, namanya Pipiet Senja. Dia sudah cuci
darah sejak ia perawan sampai sekarang. Cucunya sudah tiga lho Bu dan dia tetap
sehat dan beraktivitas keluar kota. Dua tahun lalu, beliau ke Malang, bertemu
dengan beliau. Sehat, segar. Seperti tidak sakit”
“Masak begitu?” Orang
mana dia?” Sini ibu mau baca?” ibuku penasaran. Kusodorkan laptopku padanya,
kubiarkan ibuku membaca isi tulisan yang kupilih. Melihat foto-foto dan semua
tentang Pipiet Senja.
Aku tahu sebenarnya
tidak hanya tentang kekhawatiran masa depan ayah yang menjadi pikiran ibu,
tetapi juga biaya cuci darah yang tak bisa dibilang murah untuk keluarga kami
yang hanya mendapatkan penghasilan dari pertanian. Kudengar dari penjelasan
dokter tadi. Biaya cuci darah delapan ratus lima puluh ribu. Jika ayah harus
cuci darah dua kali seminggu berarti dalam seminggu kami harus membayar satu
juta tujuh ratus ribu. Wow!
“Bagaimana Bu?” tanyaku
setelah ibuku selesai membaca
“Apakah kamu setuju
kalau ayahmu cuci darah?” tanya ibuku meminta kepastian.
“Jika itu yang terbaik
untuk ayah, aku setuju Bu, tak tega melihat ayah begitu”
“Biayanya, delapan
ratus lima puluh ribu Nduk” ibuku mulai bimbang.
“Bu, uang bisa dicari,
yang penting ayah sehat dulu. Aku dan Faisal sekarang juga sudah mulai belajar
cari uang kan? Jadi ibu nggak usah terlalu khawatirkan kami. Bu, Mbak Rizza
nggak keberatan kok, kalau harus berhenti kuliah, Mboten nopo-nopo, kerja saja”
“Husst, kamu ini
ngomong apa? Sing kuliah ya kuliah, sing sekolah ya sekolah. Pendidikan iku nomer siji” ibuku melenggang ke kamar mandi meninggalkan aku yang
mematung sendiri.
***
Hari ini hari Jum’at,
jadwal ayah cuci darah. Entah sudah kali keberapa sejak pertengahan Februari
kemarin. Aku berada di samping ayahku. Melihat dokter mengusapkan cairan ke
siku ayah lalu memasukkan jarum besar ke kedua pembuluh darah. Pembuluh vena
untuk mengeluarkan darah dan pembuluh arteri untuk memasukkan darah kembali ke
dalam tubuh. Jarum itu dibuntuti dengan dua selang berdiameter 2 cm. Setelah
jarum tertancap sempurna dan angka-angka di alat pencuci darah itu bergerak,
selang-selang itu mulai memerah. Darah berwarna merah kehitaman keluar dan
terus mengalir. Dikeluarkan dari dalam tubuh untuk diproses di mesin pencuci
darah dan dimasukkannya kembali ke tubuhnya.
Sejak bulan Januari
2014, pemerintah mengeluarkan kebijakan BPJS Kesehatan. Untuk seorang petani
yang bukan pekerja dan bukan PNS program ini cukup membantu kami. Seperti
Askes, hanya saja setiap jiwa yang mengajukan BPJS Kesehatan harus
mengalokasikan untuk dirinya secara mandiri. Ibu tak perlu lagi takut masalah biaya dan aku
tentu saja bisa sedikit tersenyum. Alhamdulillah.
“Yah, seperti ini nih
apa tidak sakit?” tanyaku memecah keheningan di antara kami. Kulihat lebam di
tangan kirinya bekas jarum cuci darah Selasa lalu.
“Ah, enggak sakit kok.
Biasa saja” kata ayah. Senyum kecil tersungging, mendengar jawaban itu, aku
tersenyum getir. Ayah, kenapa ayah selalu bilang tidak sakit? Apakah ekspresi
meringis yang kulihat saat dokter menancapkan jarum-jarum itu adalah bagian
dari akting? Apakah ayah sedang bermain akting seperti yang dulu sering kita
lakukan? Apakah ayah sedang bermain? Aku bukan gadis kecilmu yang sering kau
bohongi seperti dulu ayah.
Ayahku adalah lelaki
yang kuat yang pernah kukenal. Sebagai anak lelaki tertua dari delapan
bersaudara, ia memutuskan putus kuliah dari IKIP Malang jurusan pendidikan dan
memilih merawat sawah milik mbah kung
dan berjualan ikan hias untuk menghidupi adik-adiknya. Mbah kung, yang
menderita stroke tak bisa lagi bekerja. Sejak itulah ayah menjadi lelaki yang
gila bekerja. Pagi ke sawah, siang ke kolam ikan dan sore berkeliling menjual
ikannya. Berbagai pekerjaan tambahan pernah ia geluti, tujuannya biar
adik-adiknya bisa sekolah.
Memikirkan adik-adiknya
membuat ayahku lupa pada dirinya sendiri, badan tak terurus. Makan pun begitu.
Kalau ada ya makan, kalau tidak ya tak makan. Akibatnya jika ada makanan banyak
ayahku sering makan dalam porsi besar. Kemaruk.
Ayah lupa, berapa usianya, ayah juga mulai lupa teman-temannya sudah mulai
mengantarkan anak-anaknya ke TK.
Pernah suatu hari aku
iseng bertanya begini pada ayah “Yah, kenapa sih, ayah kok sudah tua. Padahal
ayah temanku tak setua ayah lho” niatku bercanda saja. Kami, aku, ayah dan ibu
memang sering berbincang, apa saja.
“Haha, ya mau bagaimana
lagi, aku dulu nggak punya apa-apa. Malu mau deketin anak orang. Untung saja
ibumu mau, haha” kata ayah melirik ibuku.
“Mau bagaimana lagi
Nduk, adanya cuma itu, ya sudah mau saja” kata ibuku menimpali. Kami pun
tertawa. Ah... mereka ini. Si suami suka bercanda dan si istri serius sekali.
Bisa nyambung ya?
Ayah dan ibuku memang
disatukan karena perjodohan. Keduanya sama-sama perjaka dan gadis yang serius
pada pekerjaan. Ayahku disibukkan pada sawah Mbah Kung dan ibuku disibukkan
dengan mahasiswanya di UNISKA, sampai lupa memikirkan pendamping hidup hingga
usia mencapai 33 tahun dan 28 tahun. Ketika akan menikah, hanya mengenal
beberapa bulan, ngapel dua kali dan
langsung di lamar. Mbah sudah sangat gregetan dengan ayah dan ibuku yang bandel
jika berkutat tentang urusan pernikahan.
Menikahlah mereka dan lahirlah aku dan dua adik lelakiku. Faisal dan Farid.
Sejak ayah mulai
sakit-sakitan delapan tahun lalu. Aku belajar bagaimana menjaga kesehatanku dan
adik-adikku. Bagaimana pun juga kesehatan seseorang itu bermula dari nutrisi
yang ia makan. Aku mulai paham makanan apa saja yang boleh ayah makan dan
pantangannya. Jika sakitnya ini obatnya ini. Cara menggunakan tensi begini,
cara menaikkan ke kursi roda begitu, dan sebagainya. Aku bukanlah calon
perawat, aku adalah calon guru, tapi dari sakit yang di derita ayah sejak dulu.
Aku belajar menjadi perawat dan ahli gizi, setidaknya untuk keluargaku. Kini
dan nanti.
Mesin pencuci darah itu
menunjukkan angka 1.30. Berarti waktu cuci darah masih satu setengah jam lagi.
Biasanya sekali cuci darah membutuhkan waktu 4 jam. Menghabiskan waktu 4 jam
dengan berbaring. Tangan kanan berteman selang-selang, tak boleh banyak gerak
atau jarum itu akan tergerak. Sebuah tivi plasma berada di atas sana.
Menghadirkan Caesar yang bergoyang-goyang. Cukup menghibur bagi 4 pasien dan 4
penunggu di ruang Hemodialisa Rumah Sakit Bhayangkara Kediri ini. Sesekali para
pasien tertawa melihat lelucon di tv. Ayahku hanya memainkan jarinya. Percuma
saja tivi di atas sana bagi ayah, karena ia tak bisa melihatnya. Diabetes telah
menyerang syaraf matanya. Beberapa bulan ke depan jika kadar gulanya terus
stabil ayah akan operasi mata di Surabaya.
Semua fungsi tubuh ayah
melemah, semua yang dia punyai, kini tak bersahabat padanya Mata yang rabun,
jantung yang bengkak, gula darah yang naik turun, tangan dan kaki yang tak bisa
digerakkan sempurna karena stroke dan ginjal yang gagal. Ayah, kenapa semuanya
jadi seperti ini? Ayah adalah orang yang sangat baik dan disegani. Kenapa dunia
terus saja menyakiti?
“Nanti juga sembuh, ini
cobaan kok. Ya harus dijalani, Aku ra
popo Nduk, wes to” kata ayah padaku saat aku tanya “Apa yang Ayah rasakan?”
Ayah, aku tahu ayah
akan terus begitu. Terus mencoba kuat menghadapi apapun. Semangat hidupmu
memang tinggi Ayah, itu pula yang kau tularkan padaku. Jika kau saja terus
mendoa dan berusaha, bagaimana bisa aku, putrimu berputus asa? Semua semangat
dan keyakinan yang kau miliki kau titiskan padaku. Aku merasakan itu.
Suara sirine tanda cuci
darah selesai telah berbunyi. Ayahku tersadar dari tidurnya. Perawat mulai
melepas jarum berselang itu dari pergelangan tangannya, membersihkan dan
menutupnya dengan kasa dan perban. Kurapikan baju ayah dan perawat
memindahkannya ke kursi roda. Saatnya pulang ayah, ibu sudah menunggu diluar,
batinku. Ibuku tak pernah berani melihat ayah saat menjalani cuci darah. Darah
dan jarum suntik selalu membuatnya tak tega dan bergidik.
Dalam perjalanan menuju
mobil aku berbicara pada ayah “Yah, besok Mbak Rizza ke Malang ya, harus
menyelesaikan skripsi dan berangkat PKLI”
“Masih berangkat juga
kamu Nduk! Katanya mau berhenti kuliah, kok nggak jadi? haha” ayahku tertawa.
Ayah tahu tentang itu? Ah... bercerita pada ibu, sama saja bercerita pada ayah.
Aku lupa. Aku lupa, kalau ibuku selalu bercerita tentang anak-anaknya pada ayah.
“Jangan sampai semua
ini menyurutkan semangatmu untuk belajar Nduk, ayah dan ibumu selalu mendukung
kalian. Jadilah anak-anak yang sholeh sholihah, dan paham pada kehidupan ini.
Senakal-nakalnya kalian. Kalian tetap anak yang baik” Kuanggukkan kepalaku
dengan senyuman. Ayah selalu penuh dengan pesan-pesan. Aku akan terus memegang
pesan-pesan itu.
Ini adalah kisahku.
Salam untuk ayah kalian dariku ya. Selagi ada waktu untuk pulang. Pulanglah!
Ayah selalu merindukan kalian. Jaga dengan baik ayah kalian, dari mulai makan,
tidur bahkan jika harus mengkonsumsi obat-obatan. Perhatikan dosis dan
waktunya, jangan sampai ketergantungan, karena itu bisa berdampak buruk pada
ginjal. Karena kalian, belum pernah merasakan berada di malam mencekam dengan
matanya terpejam dan mulut terus merapal pesan-pesan. Aku pernah hampir kehilangan
lelaki itu. Satu-satunya lelaki yang kucintai. Lelaki yang kuharapkan dapat
hadir di wisudaku, pesta pernikahanku,
menikahkan aku dengan lelaki pilihan Allah untukku. Lelaki yang namanya ada
dibelakang namamku. Ayahku
Rizza
Nasir
Februari
2014
Tidak ada komentar:
Posting Komentar