Sabtu, 29 Maret 2014

Apakah Ini Pesan Terakhir?



Andai aku punya waktu lebih lama berada disini, tentu aku akan senang sekali. Ya, akan kujaga kau setiap hari, selalu ada setiap kau memanggilku dan membutuhkanku. Sayangnya aku tak punya waktu itu Yah, aku harus berkutat dengan urusan kuliahku. Aku hanya ingin membahagiakanmu dengan kelulusanku. “Aku berangkat dulu ya Yah” bisikku di telingamu. Kau hanya mengangguk dengan mata tetap terpejam.

Malam hari itu, pukul tiga pagi. Lorong rumah sakit masih sangat sepi. Kutarik koperku berlahan, agar tak mengganggu pasien di kamar lainnya. Ibuku menguntit di belakangku. Pamit pada ibu adalah ritual sakral setiap keberangkatanku, apalagi harus berangkat dari tempat pesakitan seperti ini. Menyesakkan.

“Kalau mau menikah, menikah saja.... Kalau sudah ada calon bilang saja, haha”, “nanti kamu tak belikan rumah, kamu bisa buat kos-kosan. Jadi ibu kos saja, kamu tinggal duduk di rumah, ngurusi anak dan suamimu, tiap bulan uang datang. Kamu nggak usah susah cari uang Nduk” terngiang kata-kata ayah malam itu. Malam mencekam, panasnya tinggi, matanya, terpejam dengan mulut yang tak pernah berhenti bicara. Kata-kata yang belum pernah terucap sebelumnya.

Kata-kata ayah barusan, mungkin ia ucapkan tanpa sadar. Keluar begitu saja. Mungkin merupakan isis hatinya yang sudah ia pendam sejak lama. Aku menikah? Sebenarnya aku tak takut menikah. Pertanyaannya sederhana saja. Menikah dengan siapa? Apakah ayah sudah punya calon untukku? Oh tidak, bukankah ia bilang kalau sudah punya calon bilang saja? Ah... aku masih skripsi ayah. Kalau boleh jujur, aku sempat kacau gara-gara ceracau itu. Ayah, belum ada siapa-siapa, lalu aku harus bagaimana?

Aku pernah berjanji, bahwa aku tak akan menangis lagi padanya, tapi malam itu, bagaimana bisa aku tak menangis? Ayah terus merapal, menceracau, Merapal pesan-pesan. Sebentar-sebentar menyebut namaku dan mengucap pesan untukku, lalu mencari adikku, Faisal. Faisal datang, dan ia mulai lagi merapal pesan. 


Ayah mencari Farid, aku harus mencarinya di luar kamar pasien, karena Farid masih suka main dan keliling jalan-jalan. Padahal aku sudah berpesan “Jangan kemana-mana, ayah sering mencari kamu” tapi tetap saja, adik kecilku itu bebal. Ah... aku lupa, ia masih terlalu kecil untuk mengerti tentang kesedihan dan ketakutan. Kutarik Farid mendekat pada ayah “Yah, ini Farid disini, ayah mau bilang apa sama Farid?” tanyaku.

“Farid ya, oh dia kan suka jualan mainan, nanti biar dimodalin. Dia jadi pedagang saja” kata ayah sambil tertawa kecil. Farid adikku hanya tersenyum dan bingung melihatku. Lebih tepatnya melihat bulir air mataku. Kenapa semua orang menangis? Kenapa?
“Mbak Rizza, kenapa sih? Ah, gembeng, week”
“Nggak apa-apa, ya sudah sana main diluar tapi jangan jauh-jauh”

Inikah namanya wasiat itu Allah? Apakah ini namanya pesan terakhir? Apakah ayahku akan mati? Apakah ini malam terakhirnya? Oh jangan Allah, jangan! Aku masih ingin punya ayah di hidupku, aku ingin ayah hadir di prosesi wisudaku, aku ingin ayah sendiri yang menikahkan aku, aku ingin... Adik-adikku masih kecil Allah. Please..

Bagaimana bisa aku terpejam, sementara ayah masih terus merapal pesan? Bagaimana bisa aku makan, jika ayah sudah dua hari ini tak mau makan? Bagaimana aku tidak menangis, melihat ibuku yang tertidur dengan bulir di sudut matanya? Dua adikku, tertidur kemulan sarung di luar sana. Aku hanya duduk di sampingnya, memegang erat tangannya dan mengucap “inggih Yah” atas semua pesannya.

“Tak ada lagi jalan lain Bu, Bapak harus HD segera, saya jadwalkan segera kalau ibu mau menandatangani surat persetujuan itu. Racun tubuhnya sudah naik ke otak, kalau tidak segera, bapak bisa gila. Beberapa hari ini menceracau terus kan tiap malam?”

“Iya Dok, setiap hari selalu ngomong banyak hal, sampai kadang-kadang diulang-ulang. Mirip kaset ruwet begitu” kata ibuku

“Nah, itu sudah buktinya. Kalau bapak tidak segera dicuci darahnya, tubuhnya akan terus bengkak dan menceracau. Mau ya?”

“Eh.. Dok, apa tidak ada cara lain? Saya takut kalau...”

“Sudah Dok, mana surat yang harus kami tanda tangani Dok?” aku tak tahan terus berada di balik tembok dan menguping pembicaraan mereka. Lebih tepatnya aku tak mau mendengar kemungkinan-kemungkinan buruk tentang ayah. Aku tahu dokter tetaplah manusia, bukan peramal yang bisa meramal hidup seseorang, tapi setidaknya dia adalah orang yang telah belajar ilmu kesehatan bertahun-tahun dan telah menangani banyak pasien yang mungkin sama dengan ayah.

“Kamu dengar Nduk?” mata ibuku berkaca-kaca

“Iya Bu, saya mendengar semuanya. Suratnya, apakah bisa saya tanda tangani segera?” todongku pada dokter berkumis itu.
“Nduk, nanti kalau ayah kesakitan bagaimana? Kalau ayah nggak sembuh bagaimana? Kalau ayah, Ah darah kok dicuci. Ibu nggak bisa bayangin” Ibuku menutup memukanya. Tubuhnya menggigil.

Kubawa ibuku masuk ke kamar, kukedipkan mata pada dokter itu. Dia mengerti dan kembali ke kantornya. Kubiarkan ibuku terduduk lemas di kursi samping tempat tidur ayah. Kuambil laptop dan kutancapkan modem. Kucari website Pipiet Senja, yang berkisah tentang hidupnya. Siapapun tahu, kalau Pipiet Senja adalah wanita inspiratif yang berhasil berjuang melawan penyakitnya, meski harus cuci darah seumur hidupnya.

“Bu, ibu tahu kan kalau Mbak Rizza suka menulis dan ikut organisasi kepenulisan? Nah, salah satu senior penulis itu ada yang cuci darah juga Bu, namanya Pipiet Senja. Dia sudah cuci darah sejak ia perawan sampai sekarang. Cucunya sudah tiga lho Bu dan dia tetap sehat dan beraktivitas keluar kota. Dua tahun lalu, beliau ke Malang, bertemu dengan beliau. Sehat, segar. Seperti tidak sakit”

“Masak begitu?” Orang mana dia?” Sini ibu mau baca?” ibuku penasaran. Kusodorkan laptopku padanya, kubiarkan ibuku membaca isi tulisan yang kupilih. Melihat foto-foto dan semua tentang Pipiet Senja.

Aku tahu sebenarnya tidak hanya tentang kekhawatiran masa depan ayah yang menjadi pikiran ibu, tetapi juga biaya cuci darah yang tak bisa dibilang murah untuk keluarga kami yang hanya mendapatkan penghasilan dari pertanian. Kudengar dari penjelasan dokter tadi. Biaya cuci darah delapan ratus lima puluh ribu. Jika ayah harus cuci darah dua kali seminggu berarti dalam seminggu kami harus membayar satu juta tujuh ratus ribu. Wow!

“Bagaimana Bu?” tanyaku setelah ibuku selesai membaca

“Apakah kamu setuju kalau ayahmu cuci darah?” tanya ibuku meminta kepastian.

“Jika itu yang terbaik untuk ayah, aku setuju Bu, tak tega melihat ayah begitu”

“Biayanya, delapan ratus lima puluh ribu Nduk” ibuku mulai bimbang.

“Bu, uang bisa dicari, yang penting ayah sehat dulu. Aku dan Faisal sekarang juga sudah mulai belajar cari uang kan? Jadi ibu nggak usah terlalu khawatirkan kami. Bu, Mbak Rizza nggak keberatan kok, kalau harus berhenti kuliah, Mboten nopo-nopo, kerja saja”

“Husst, kamu ini ngomong apa? Sing kuliah ya kuliah, sing sekolah ya sekolah. Pendidikan iku nomer siji” ibuku melenggang ke kamar mandi meninggalkan aku yang mematung sendiri.
***

Hari ini hari Jum’at, jadwal ayah cuci darah. Entah sudah kali keberapa sejak pertengahan Februari kemarin. Aku berada di samping ayahku. Melihat dokter mengusapkan cairan ke siku ayah lalu memasukkan jarum besar ke kedua pembuluh darah. Pembuluh vena untuk mengeluarkan darah dan pembuluh arteri untuk memasukkan darah kembali ke dalam tubuh. Jarum itu dibuntuti dengan dua selang berdiameter 2 cm. Setelah jarum tertancap sempurna dan angka-angka di alat pencuci darah itu bergerak, selang-selang itu mulai memerah. Darah berwarna merah kehitaman keluar dan terus mengalir. Dikeluarkan dari dalam tubuh untuk diproses di mesin pencuci darah dan dimasukkannya kembali ke tubuhnya.

Sejak bulan Januari 2014, pemerintah mengeluarkan kebijakan BPJS Kesehatan. Untuk seorang petani yang bukan pekerja dan bukan PNS program ini cukup membantu kami. Seperti Askes, hanya saja setiap jiwa yang mengajukan BPJS Kesehatan harus mengalokasikan untuk dirinya secara mandiri.  Ibu tak perlu lagi takut masalah biaya dan aku tentu saja bisa sedikit tersenyum. Alhamdulillah.

“Yah, seperti ini nih apa tidak sakit?” tanyaku memecah keheningan di antara kami. Kulihat lebam di tangan kirinya bekas jarum cuci darah Selasa lalu.

“Ah, enggak sakit kok. Biasa saja” kata ayah. Senyum kecil tersungging, mendengar jawaban itu, aku tersenyum getir. Ayah, kenapa ayah selalu bilang tidak sakit? Apakah ekspresi meringis yang kulihat saat dokter menancapkan jarum-jarum itu adalah bagian dari akting? Apakah ayah sedang bermain akting seperti yang dulu sering kita lakukan? Apakah ayah sedang bermain? Aku bukan gadis kecilmu yang sering kau bohongi seperti dulu ayah.

Ayahku adalah lelaki yang kuat yang pernah kukenal. Sebagai anak lelaki tertua dari delapan bersaudara, ia memutuskan putus kuliah dari IKIP Malang jurusan pendidikan dan memilih merawat sawah milik mbah kung dan berjualan ikan hias untuk menghidupi adik-adiknya. Mbah kung, yang menderita stroke tak bisa lagi bekerja. Sejak itulah ayah menjadi lelaki yang gila bekerja. Pagi ke sawah, siang ke kolam ikan dan sore berkeliling menjual ikannya. Berbagai pekerjaan tambahan pernah ia geluti, tujuannya biar adik-adiknya bisa sekolah.

Memikirkan adik-adiknya membuat ayahku lupa pada dirinya sendiri, badan tak terurus. Makan pun begitu. Kalau ada ya makan, kalau tidak ya tak makan. Akibatnya jika ada makanan banyak ayahku sering makan dalam porsi besar. Kemaruk. Ayah lupa, berapa usianya, ayah juga mulai lupa teman-temannya sudah mulai mengantarkan anak-anaknya ke TK.

Pernah suatu hari aku iseng bertanya begini pada ayah “Yah, kenapa sih, ayah kok sudah tua. Padahal ayah temanku tak setua ayah lho” niatku bercanda saja. Kami, aku, ayah dan ibu memang sering berbincang, apa saja.

“Haha, ya mau bagaimana lagi, aku dulu nggak punya apa-apa. Malu mau deketin anak orang. Untung saja ibumu mau, haha” kata ayah melirik ibuku.

“Mau bagaimana lagi Nduk, adanya cuma itu, ya sudah mau saja” kata ibuku menimpali. Kami pun tertawa. Ah... mereka ini. Si suami suka bercanda dan si istri serius sekali. Bisa nyambung ya?

Ayah dan ibuku memang disatukan karena perjodohan. Keduanya sama-sama perjaka dan gadis yang serius pada pekerjaan. Ayahku disibukkan pada sawah Mbah Kung dan ibuku disibukkan dengan mahasiswanya di UNISKA, sampai lupa memikirkan pendamping hidup hingga usia mencapai 33 tahun dan 28 tahun. Ketika akan menikah, hanya mengenal beberapa bulan, ngapel dua kali dan langsung di lamar. Mbah sudah sangat gregetan dengan ayah dan ibuku yang bandel jika berkutat tentang  urusan pernikahan. Menikahlah mereka dan lahirlah aku dan dua adik lelakiku. Faisal dan Farid.

Sejak ayah mulai sakit-sakitan delapan tahun lalu. Aku belajar bagaimana menjaga kesehatanku dan adik-adikku. Bagaimana pun juga kesehatan seseorang itu bermula dari nutrisi yang ia makan. Aku mulai paham makanan apa saja yang boleh ayah makan dan pantangannya. Jika sakitnya ini obatnya ini. Cara menggunakan tensi begini, cara menaikkan ke kursi roda begitu, dan sebagainya. Aku bukanlah calon perawat, aku adalah calon guru, tapi dari sakit yang di derita ayah sejak dulu. Aku belajar menjadi perawat dan ahli gizi, setidaknya untuk keluargaku. Kini dan nanti.

Mesin pencuci darah itu menunjukkan angka 1.30. Berarti waktu cuci darah masih satu setengah jam lagi. Biasanya sekali cuci darah membutuhkan waktu 4 jam. Menghabiskan waktu 4 jam dengan berbaring. Tangan kanan berteman selang-selang, tak boleh banyak gerak atau jarum itu akan tergerak. Sebuah tivi plasma berada di atas sana. Menghadirkan Caesar yang bergoyang-goyang. Cukup menghibur bagi 4 pasien dan 4 penunggu di ruang Hemodialisa Rumah Sakit Bhayangkara Kediri ini. Sesekali para pasien tertawa melihat lelucon di tv. Ayahku hanya memainkan jarinya. Percuma saja tivi di atas sana bagi ayah, karena ia tak bisa melihatnya. Diabetes telah menyerang syaraf matanya. Beberapa bulan ke depan jika kadar gulanya terus stabil ayah akan operasi mata di Surabaya.

Semua fungsi tubuh ayah melemah, semua yang dia punyai, kini tak bersahabat padanya Mata yang rabun, jantung yang bengkak, gula darah yang naik turun, tangan dan kaki yang tak bisa digerakkan sempurna karena stroke dan ginjal yang gagal. Ayah, kenapa semuanya jadi seperti ini? Ayah adalah orang yang sangat baik dan disegani. Kenapa dunia terus saja menyakiti?

“Nanti juga sembuh, ini cobaan kok. Ya harus dijalani, Aku ra popo Nduk, wes to” kata ayah padaku saat aku tanya “Apa yang Ayah rasakan?”

Ayah, aku tahu ayah akan terus begitu. Terus mencoba kuat menghadapi apapun. Semangat hidupmu memang tinggi Ayah, itu pula yang kau tularkan padaku. Jika kau saja terus mendoa dan berusaha, bagaimana bisa aku, putrimu berputus asa? Semua semangat dan keyakinan yang kau miliki kau titiskan padaku. Aku merasakan itu.

Suara sirine tanda cuci darah selesai telah berbunyi. Ayahku tersadar dari tidurnya. Perawat mulai melepas jarum berselang itu dari pergelangan tangannya, membersihkan dan menutupnya dengan kasa dan perban. Kurapikan baju ayah dan perawat memindahkannya ke kursi roda. Saatnya pulang ayah, ibu sudah menunggu diluar, batinku. Ibuku tak pernah berani melihat ayah saat menjalani cuci darah. Darah dan jarum suntik selalu membuatnya tak tega dan bergidik.

Dalam perjalanan menuju mobil aku berbicara pada ayah “Yah, besok Mbak Rizza ke Malang ya, harus menyelesaikan skripsi dan berangkat PKLI”

“Masih berangkat juga kamu Nduk! Katanya mau berhenti kuliah, kok nggak jadi? haha” ayahku tertawa. Ayah tahu tentang itu? Ah... bercerita pada ibu, sama saja bercerita pada ayah. Aku lupa. Aku lupa, kalau ibuku selalu bercerita tentang anak-anaknya pada ayah.

“Jangan sampai semua ini menyurutkan semangatmu untuk belajar Nduk, ayah dan ibumu selalu mendukung kalian. Jadilah anak-anak yang sholeh sholihah, dan paham pada kehidupan ini. Senakal-nakalnya kalian. Kalian tetap anak yang baik” Kuanggukkan kepalaku dengan senyuman. Ayah selalu penuh dengan pesan-pesan. Aku akan terus memegang pesan-pesan itu.

Ini adalah kisahku. Salam untuk ayah kalian dariku ya. Selagi ada waktu untuk pulang. Pulanglah! Ayah selalu merindukan kalian. Jaga dengan baik ayah kalian, dari mulai makan, tidur bahkan jika harus mengkonsumsi obat-obatan. Perhatikan dosis dan waktunya, jangan sampai ketergantungan, karena itu bisa berdampak buruk pada ginjal. Karena kalian, belum pernah merasakan berada di malam mencekam dengan matanya terpejam dan mulut terus merapal pesan-pesan. Aku pernah hampir kehilangan lelaki itu. Satu-satunya lelaki yang kucintai. Lelaki yang kuharapkan dapat hadir di  wisudaku, pesta pernikahanku, menikahkan aku dengan lelaki pilihan Allah untukku. Lelaki yang namanya ada dibelakang namamku. Ayahku


Rizza Nasir
Februari 2014


Tidak ada komentar:

Posting Komentar