Jumat, 28 Maret 2014

KEHIDUPAN TKI MALAYSIA, SEBUAH IRONI



Hari Kelima, 2 Maret 2014
Berkunjung ke kongsi TKI itulah agenda besar kita hari ini. Aku sempat berpikir bahwa hari ini aku akan hadir di sebuah camp pembekalan TKI, semacam ruangan yang nantinya kami akan berdiskusi berdiskusi banyak hal. Tapi ternyata aku salah, kongsi TKI yang dimaksud bukanlah seperti yang ada dalam khayalku. Beda sekali.

Dengan menaiki Ben (sebutan untuk mobil isi kurang dari 20) kami berangkat menuju kongsi TKI yang kebetulan memiliki agenda pertemuan rutin sekaligus pengajian. Perjalanan cukup jauh, membuatku semakin penasaran. Pak Trio menyebutkan IKMA (Ikatan Keluarga Madura Malaysia). Oh, madunten?
Sesampainya disana kami cukup ngeri karena harus memasuki sebuah proyek pembangunan, entah mall atau apartement, yang jelas suasananya begitu mencekam, gelap dan tak beraturan. Ditambah lagi mobil ini harus naik ke lantai atas melewati jalan yang berputar seperti di Pasar Turi dengan kondisi gelap dan semrawut begini. Ah... sholawatan mulai terdengar sayup-sayup

            Ternyata beginilah kongsi itu. Sebuah perkumpulan tenaga kerja yang menyelesaikan proyek pembangunan. Dalam satu lantai ada lebih dari tiga ratus orang. Membentuk perkampungan kecil. Ada kamar-kamar dari triplek. Juga ada baju menggantung berjajar. Anggaplah itu jemuran. Aku lebih menganggap ini sebagai perkampungan dadakan yang kumuh.

            Ya inilah perkampungan dadakan itu. Bagaimana tidak, ada mushola, ada tempat menonton bersama, ada kantin, ada kamar-kamar untuk mereka yang sudah menikah dengan masing-masing memiliki dapur dan masih banyak lagi suudt-sudut yang luar biasa.baru kutemui disitu.

            Salah satu TKW menjelaskan, bahwa kongsi ini terdiri dari laki-laki dan perempuan yang jumlahnya ratusan. Mereka tinggal di kampung itu, atau lebih tepatnya lantai itu sampai lantai itu siap dihuni. Dan perkampungan itu harus ‘digusur’ untuk dipindah ke proyek lain. Dalam sehari mereka mendapat gaji 50-100 ringgit, tergantung pekerjaan apa yang dikerjakan. Tak peduli lelaki atau perempuan semuanya sama. Angkat batu bata, plamir, adalah hal biasa.

            Kebetulan Bu Mimin juga datang, setelah memberikan sambutan beliau bercerita banyak hal. Bahwa kongsi-kongsi seperti ini tidak semua dihuni oleh mereka yang memiliki paspor. Ada banyak imigran gelap Indonesia. Untuk itu bos kongsi tidak pernah mengizinkan TKI itu keluar dari lingkungan –hidupnya hanya di proyek bangunan itu saja- jika, tertangkap oleh polis (polisi) maka itu tanggung jawab individu masing-masing. Benar saja, diantara mereka mengaku bahwa dirinya illegal dan pernah dibui beberapa bulan.





Di kongsi seperti ini memungkinkan adanya rasa suka terhadap lawan jenis. Mereka yang setiap hari bekerja bersama dengan lingkungan yang begitu-begitu saja. Cinta adalah bumbunya. Untuk yang masih perjaka dan gadis mungkin tak masalah tapi untuk yang sudah menikah? Ada banyak kasus TKI yang menikah lagi di kongsi, tanpa surat yang jelas. Anak-anak merekalah yang jadi korban. Tidak bisa sekolah karena tak ada data yang jelas. Tak ada pilihan lain kecuali memulangkan anak-anak seperti itu ke Indonesia. Menikah adalah pilihan. Pantas saja, saat masuk tadi kami disambut lelaki dan perempuan yang duduk-dudk santai di depan ‘rumahnya’

Ironis, hidup mereka disini begitu memprihatinkan dan apa adanya, meski gaji 100 ringgit per hari. Tak bisa dibilang sedikit, buktinya gadget yang ada di tangan mereka branded. Coba kita lihat hidup mereka di Indonesia. Kebanyakan para TKI yang pulang dari Malaysia, rumahnya besar, sawahnya banyak, perhiasan berkilat. Kaya. Tapi ternyata, tak ada yang tahu bagaimana keadaan tempat mereka bekerja. Bagai bumi dan langit.

Di acara IKMA hari ini, aku menemukan kembali Indonesia. Budaya salaman dan memberikan berkat pada tamu. Bahasa yang digunakan juga bahasa Madura dan Indonesia. Kekeluargaannya sangat kental terasa. 

Disuguhi kue lengkap dengan buahnya dan sekotak minuman lechi. Aku ragu. Lebih tepatnya tidak tega. Ya Rabb, dalam kondisi mereka yang seperti ini mereka masih memuliakan kami para tamunya. Bukankah mereka banyak uang dan kaya jika di Indonesia sana? Tetap saja. Ada rasa tak tega jika melihatnya dan ada rasa terharu dengan penyambutan mereka.

Mencari nafkah yang halal      untuk anak sekolah. Itu tujuan mereka. Semoga Allah melindungi mereka selalu. Andai orang Indonesia tahu bagaimana hidup menjadi TKI di sebuah kongsi. Pasti tak ada lagi yang meremehkan TKI. Terima kasih kepada IKMA untuk hari ini. Terharu.

Pelajaran hari ini:
ü  Jangan pandang remeh TKI
ü  Bagaimana pun kondisi kita, memuliakan tamu adalah yang utama
ü  Dimanapun kita berada, selalu ada saudara. Saudara seiman dan se-Indonesia

Hari Selanjutnya


Tidak ada komentar:

Posting Komentar