Hari
Kelima, 2 Maret 2014
Berkunjung
ke kongsi TKI itulah agenda besar kita hari ini. Aku sempat berpikir bahwa hari
ini aku akan hadir di sebuah camp pembekalan TKI, semacam ruangan yang nantinya
kami akan berdiskusi berdiskusi banyak hal. Tapi ternyata aku salah, kongsi TKI
yang dimaksud bukanlah seperti yang ada dalam khayalku. Beda sekali.
Dengan
menaiki Ben (sebutan untuk mobil isi kurang dari 20) kami berangkat menuju
kongsi TKI yang kebetulan memiliki agenda pertemuan rutin sekaligus pengajian.
Perjalanan cukup jauh, membuatku semakin penasaran. Pak Trio menyebutkan IKMA
(Ikatan Keluarga Madura Malaysia). Oh, madunten?
Sesampainya
disana kami cukup ngeri karena harus memasuki sebuah proyek pembangunan, entah
mall atau apartement, yang jelas suasananya begitu mencekam, gelap dan tak
beraturan. Ditambah lagi mobil ini harus naik ke lantai atas melewati jalan
yang berputar seperti di Pasar Turi dengan kondisi gelap dan semrawut begini.
Ah... sholawatan mulai terdengar sayup-sayup
Ternyata beginilah kongsi itu.
Sebuah perkumpulan tenaga kerja yang menyelesaikan proyek pembangunan. Dalam
satu lantai ada lebih dari tiga ratus orang. Membentuk perkampungan kecil. Ada
kamar-kamar dari triplek. Juga ada baju menggantung berjajar. Anggaplah itu
jemuran. Aku lebih menganggap ini sebagai perkampungan dadakan yang kumuh.
Ya inilah perkampungan dadakan itu.
Bagaimana tidak, ada mushola, ada tempat menonton bersama, ada kantin, ada
kamar-kamar untuk mereka yang sudah menikah dengan masing-masing memiliki dapur
dan masih banyak lagi suudt-sudut yang luar biasa.baru kutemui disitu.
Salah satu TKW menjelaskan, bahwa
kongsi ini terdiri dari laki-laki dan perempuan yang jumlahnya ratusan. Mereka
tinggal di kampung itu, atau lebih tepatnya lantai itu sampai lantai itu siap
dihuni. Dan perkampungan itu harus ‘digusur’ untuk dipindah ke proyek lain. Dalam
sehari mereka mendapat gaji 50-100 ringgit, tergantung pekerjaan apa yang
dikerjakan. Tak peduli lelaki atau perempuan semuanya sama. Angkat batu bata,
plamir, adalah hal biasa.
Kebetulan Bu Mimin juga datang,
setelah memberikan sambutan beliau bercerita banyak hal. Bahwa kongsi-kongsi
seperti ini tidak semua dihuni oleh mereka yang memiliki paspor. Ada banyak
imigran gelap Indonesia. Untuk itu bos kongsi tidak pernah mengizinkan TKI itu
keluar dari lingkungan –hidupnya hanya di proyek bangunan itu saja- jika,
tertangkap oleh polis (polisi) maka
itu tanggung jawab individu masing-masing. Benar saja, diantara mereka mengaku
bahwa dirinya illegal dan pernah
dibui beberapa bulan.
Di
kongsi seperti ini memungkinkan adanya rasa suka terhadap lawan jenis. Mereka
yang setiap hari bekerja bersama dengan lingkungan yang begitu-begitu saja.
Cinta adalah bumbunya. Untuk yang masih perjaka dan gadis mungkin tak masalah
tapi untuk yang sudah menikah? Ada banyak kasus TKI yang menikah lagi di
kongsi, tanpa surat yang jelas. Anak-anak merekalah yang jadi korban. Tidak
bisa sekolah karena tak ada data yang jelas. Tak ada pilihan lain kecuali
memulangkan anak-anak seperti itu ke Indonesia. Menikah adalah pilihan. Pantas
saja, saat masuk tadi kami disambut lelaki dan perempuan yang duduk-dudk santai
di depan ‘rumahnya’
Ironis,
hidup mereka disini begitu memprihatinkan dan apa adanya, meski gaji 100
ringgit per hari. Tak bisa dibilang sedikit, buktinya gadget yang ada di tangan
mereka branded. Coba kita lihat hidup
mereka di Indonesia. Kebanyakan para TKI yang pulang dari Malaysia, rumahnya
besar, sawahnya banyak, perhiasan berkilat. Kaya. Tapi ternyata, tak ada yang
tahu bagaimana keadaan tempat mereka bekerja. Bagai bumi dan langit.
Di
acara IKMA hari ini, aku menemukan kembali Indonesia. Budaya salaman dan
memberikan berkat pada tamu. Bahasa
yang digunakan juga bahasa Madura dan Indonesia. Kekeluargaannya sangat kental
terasa.
Disuguhi
kue lengkap dengan buahnya dan sekotak minuman lechi. Aku ragu. Lebih tepatnya
tidak tega. Ya Rabb, dalam kondisi mereka yang seperti ini mereka masih
memuliakan kami para tamunya. Bukankah mereka banyak uang dan kaya jika di
Indonesia sana? Tetap saja. Ada rasa tak tega jika melihatnya dan ada rasa
terharu dengan penyambutan mereka.
Mencari
nafkah yang halal untuk anak sekolah.
Itu tujuan mereka. Semoga Allah melindungi mereka selalu. Andai orang Indonesia
tahu bagaimana hidup menjadi TKI di sebuah kongsi. Pasti tak ada lagi yang
meremehkan TKI. Terima kasih kepada IKMA untuk hari ini. Terharu.
Pelajaran
hari ini:
ü Jangan
pandang remeh TKI
ü Bagaimana
pun kondisi kita, memuliakan tamu adalah yang utama
ü Dimanapun
kita berada, selalu ada saudara. Saudara seiman dan se-Indonesia
Hari Selanjutnya
Tidak ada komentar:
Posting Komentar