Jumat, 28 Maret 2014

BEGINI RASANYA NAIK PESAWAT?



Hari Pertama, Rabu, 26 Februari 2014

Alhamdulillah, akhirnya hari malam ini aku telah berada di Malaysia. Sebuah kata atau negara yang menjadi pikiranku sejak empat bulan lalu. Tepatnya sejak aku dinyatakan lolos seleksi PKLI Malaysia. Ada rasa syukur dan senang di hatiku, meski dulu jujur saja aku sempat tidak tahu apa-apa dan bingung harus melakukan apa dengan statusku ini.

Allah sempat mengujiku dengan banyaknya sindiran dan pendapat miring banyak orang terhadap program Fakultas Ilmu Tarbiyah Dan Keguruan ini. Sebagai salah satu pesertanya tentu saja aku merasa tersudutkan, bahkan aku merasa menjadi bahan pembicaraan karena menurut mereka aku dipermainkan. Entahlah, itu karena aku yang terlalu perasaan, atau mereka yang terlalu mengkritik atau jangan-jangan memang begitu adanya. Entahlah. Aku hanya bermodal positive thinking dan bismillah saja.

Malam ini aku menulis tepat di sebuah kamar yang selama 14 hari kedepan akan kutinggali, bersama 2 teman lainnya, yakni Etika dan Farida dari ICP PAI Bahasa Inggris. Aku hanya berharap, semoga kami bisa menjadi teman kamar yang baik sampai program ini selesai nanti.

Kuceritakan tentang keberangkatanku, kami berangkat dari UIN Maulana Malik Ibrahim Malang pukul 11.00 WIB setelah sebelumnya berfoto bersama dekan dan para dosen ICP di depan Micro Teaching. Ada keharuan di dadaku saat semua dosen yang mengajar di lantai 1 keluar dari kelas dan mengikuti prosesi pemberangkatan kami. Raut muka mereka sumringah, senyum-senyum. Seakan mengucapkan selamat pada kami. Berulang kali kulihat dosen laki-laki yang menepuk pundak peserta PKLI laki-laki dan mengucap selamat. Jika tak ada banyak orang, mungkin aku sudah menitikkan air mata. Allah, benarkah ini saatnya? Saatnya aku berangkat? 


Semua berpakaian rapi, berjas dan bersepatu. Ya, rapi. Karena ini upacara pemberangkatan untuk pertama kalinya dalam sejarah. Saking sakralnya, ada salah seorang peserta yang kena semprot dosen karena dengan santainya melenggang memakai sandal. “Lebih baik tak usah berangkat saja” begitu katanya. Setelah berdoa bersama, kusalami dosen-dosen satu persatu, kumasuki mobil yang siap membawa kami ke Juanda. Kulihat sekilas Pak Nur Ali yang melambaikan tangan pada kami. Bismillah.

Diperjalanan, kutelepon ibuku, pamitan, memohon doa dan mengucap salam untuk semua keluarga. Ingin rasanya aku ucapkan keras-keras “Ayah, sebentar lagi Mbak Rizza naik pesawat Yah”, ya, aku memang pernah bilang pada ayahku dulu, bahwa aku ingin sekali naik pesawat. Sebentar lagi terwujud Yah..

Perjalanan tak sepi karena Etika, Farida dan Wawan yang menyanyi nyanyi. Ah, mereka anak yang ramai rupanya. Jujur saja, meski hampir empat tahun belajar dalam satu gedung yang sama dan sering bertemu wajahnya, tapi baru hari ini aku tahu kalau lelaki ceking tinggi itu bernama Wawan, perempuan yang disamping Etika itu namanya Farida dan yang berkaca mata di samping sopir itu bernama Ana. Etika, aku sudah mengenalnya sejak dulu, karena kami satu organisasi. Salam kenal. Aku Rizza.

Sesampainya di bandara, aku benar-benar speechless. Inikah namanya bandara itu? Aku benar-benar seperti orang udik yang baru pergi ke kota. Baru kutahu, seperti inilah bandara. Pemberangkatan pukul 16.45. Sekarang pukul 14.45 Aku masih bisa melakukan sholat jamak takhir untuk Dhuhur dan Asharku hari ini. Setelah sholat, aku sama sekali tak bisa membendung keharuanku. Aku akan berangkat ke Malaysia hari ini, memenuhi janjiku pada kampusku, memenuhi mimpiku. Terima kasih Allah.

Kami sempatkan berfoto. Aku, Najib, Navis dari PGMI. Kuikuti semua persyaratan sebelum pemberangkatan, mulai check in bagasi, airport tax, sampai pengecekan paspor. Semuanya berlangsung kurang lebih satu jam. Semua yang biasanya kulihat di televisi kini kulalui. Aku akan terbang sebentar lagi.


Begini rasanya pemberangkatan pesawat itu? Eksklusif dan sakral sekali. Apalagi ada beberapa teman yang melambaikan tangan pada keluarganya sebelum memasuki pintu pemberangkatan. Aku? Tak ada yang mengantarkanku. Aku yakin ibuku mengantarkan doa untukku dari jauh.

Masih ada setengah jam sebelum berangkat. Nasi Padang yang dibawa Nida masih utuh. Kami lapar. Jadilah kami menggelar makanan itu dipojokan. Makan bareng. Aku sendiri heran, bagaimana bisa nasi padang itu lolos mesin pemeriksaan? Sedangkan terlihat jelas bungkusan dengan isi nasi dibungkus kertas minyak dan sayuran. Bukankah sayur itu mengandung air? Jika aqua saja harus ditinggalkan, kenapa bungkusan nasi padang itu tidak? Alhamdulillah. Orang-orang yang juga akan berangkat bersama kami melintas. Melihat sekilas lalu berlalu. Entahlah apa yang ada di pikiran mereka tentang kami. Yang kutahu nasi padang dan makan bersama ini nikmat sekali.
 
Kunaiki tangga pesawat. Everyone can fly, itu yang tertulis di badan pesawat merah Air Asia ini. Ya, everyone, bahkan orang udik sepertiku. Berada di dalam pesawat untuk pertama kalinya. Take off pertama kali dalam hidupku. Teringat adegan Habibie dan Ainun. “Jika pesawat bergetar, maka mesin pesawat berjalan dengan baik” itu kata Habibie pada istrinya dan kata itu pula yang kuingat saat pesawat mulai bergetar dan aku merasakan ia mulai tak lagi menyentuh daratan. Masyaallah!



Malam ini, setelah kulewati dua setengah jam di udara, aku sampai di sebuah penginapan yang tak kutahu ini di daerah mana. Yang kutahu, kasurnya empuk, AC nya dingin sekali dan rumah ini penuh dengan buku-buku. Ah.. aku pasti betah, batinku.
Semoga pagi pertama di Malaysia esok menyegarkan badan. Jujur, aku capek sekali. Capek yang penuh syukur untuk hari ini.

 


Pelajaran hari ini :

ü  Pertama naik pesawat? jangan terlalu norak ya. Juga jangan takut. Biasa saja. Jangan lupa berdoa.

ü  Meski mau keluar negeri dan menukar rupiah dengan uang negara itu. Jangan lupa tetap bawa rupiah ke bandara. Setidaknya untuk Airport Tax dan tambahan biaya bagasi

ü  Datang tiga jam lebih awal dari jadwal keberangkatan. Karena proses check in untuk pemberangkatan internasional itu lama sekali dan tentu saja antri.

ü  Makan dulu sebelum berangkat, atau bawalah bekal untuk dimakan di bandara. Karena harga makanan di bandara sepuluh kali lipat lebih mahal.
Hari selanjutnya






4 komentar:

  1. Akupun punya mimpi ingin ke luar negeri mb. Tepatnya menimba ilmu disana. Mustahil memang untuk anak tukang bakso sepertiku. TApi inilah mimpiku. Aku ingin bisa menimba ilmu dikota suci itu. Kota mekkah. Ya,,, yang kata Oki Setiana Dewi dibukunya Cahaya diatas Cahaya adalah Kotanya Para Hafidz/ Hafidzah :D

    BalasHapus
    Balasan
    1. Wah... anak tukang bakso? Bakso itu makanan yang butuh keahlian tersendiri lho Dila. Saya saja kalau buat bakso masih sering gagal, hehe
      Salam untuk orang tua di rumah ya...
      Jangan takut untuk bermimpi, insyaallah Allah Meridhoi. Semangat!

      Hapus
  2. Nice story, kagum atas kejujuran mbak Rizza yang ga malu cerita naik pesawat utk pertamakalinya

    Utk De Dila: Amin, semoga diijabah. Just fyi, teman saya yg keluarganya sangat berkekurangan pun sudah menyelesaikan S2-S3nya diluar negeri dengan beasiswa, dan skrg sudah jadi pembicara di forum2 internasional.

    Jgn putus asa, yg penting usaha dan doa. Pasti diberi jln oleh Allah :)

    BalasHapus
    Balasan
    1. Terima kasih Eoshi sudah membaca...
      Ya, saya ndak malu, memang baru pertama...semoga segera ada kesempatan untuk yang kedua dst..
      Salam kenal Eoshi. Semangat mewujudkan mimpi =D

      Hapus