Hari
Pertama, Rabu, 26 Februari 2014
Alhamdulillah,
akhirnya hari malam ini aku telah berada di Malaysia. Sebuah kata atau negara
yang menjadi pikiranku sejak empat bulan lalu. Tepatnya sejak aku dinyatakan
lolos seleksi PKLI Malaysia. Ada rasa syukur dan senang di hatiku, meski dulu
jujur saja aku sempat tidak tahu apa-apa dan bingung harus melakukan apa dengan
statusku ini.
Allah
sempat mengujiku dengan banyaknya sindiran dan pendapat miring banyak orang
terhadap program Fakultas Ilmu Tarbiyah Dan Keguruan ini. Sebagai salah satu
pesertanya tentu saja aku merasa tersudutkan, bahkan aku merasa menjadi bahan
pembicaraan karena menurut mereka aku dipermainkan. Entahlah, itu karena aku
yang terlalu perasaan, atau mereka yang terlalu mengkritik atau jangan-jangan
memang begitu adanya. Entahlah. Aku hanya bermodal positive thinking dan
bismillah saja.
Malam
ini aku menulis tepat di sebuah kamar yang selama 14 hari kedepan akan
kutinggali, bersama 2 teman lainnya, yakni Etika dan Farida dari ICP PAI Bahasa
Inggris. Aku hanya berharap, semoga kami bisa menjadi teman kamar yang baik
sampai program ini selesai nanti.
Kuceritakan
tentang keberangkatanku, kami berangkat dari UIN Maulana Malik Ibrahim Malang
pukul 11.00 WIB setelah sebelumnya berfoto bersama dekan dan para dosen ICP di
depan Micro Teaching. Ada keharuan di dadaku saat semua dosen yang mengajar di
lantai 1 keluar dari kelas dan mengikuti prosesi pemberangkatan kami. Raut muka
mereka sumringah, senyum-senyum. Seakan mengucapkan
selamat pada kami. Berulang kali kulihat dosen laki-laki yang menepuk pundak
peserta PKLI laki-laki dan mengucap selamat. Jika tak ada banyak orang, mungkin
aku sudah menitikkan air mata. Allah, benarkah ini saatnya? Saatnya aku
berangkat?
Semua
berpakaian rapi, berjas dan bersepatu. Ya, rapi. Karena ini upacara
pemberangkatan untuk pertama kalinya dalam sejarah. Saking sakralnya, ada salah
seorang peserta yang kena semprot dosen karena dengan santainya melenggang
memakai sandal. “Lebih baik tak usah berangkat saja” begitu katanya. Setelah
berdoa bersama, kusalami dosen-dosen satu persatu, kumasuki mobil yang siap
membawa kami ke Juanda. Kulihat sekilas Pak Nur Ali yang melambaikan tangan
pada kami. Bismillah.
Diperjalanan,
kutelepon ibuku, pamitan, memohon doa dan mengucap salam untuk semua keluarga.
Ingin rasanya aku ucapkan keras-keras “Ayah, sebentar lagi Mbak Rizza naik
pesawat Yah”, ya, aku memang pernah bilang pada ayahku dulu, bahwa aku ingin
sekali naik pesawat. Sebentar lagi terwujud Yah..
Perjalanan
tak sepi karena Etika, Farida dan Wawan yang menyanyi nyanyi. Ah, mereka anak
yang ramai rupanya. Jujur saja, meski hampir empat tahun belajar dalam satu
gedung yang sama dan sering bertemu wajahnya, tapi baru hari ini aku tahu kalau
lelaki ceking tinggi itu bernama Wawan, perempuan yang disamping Etika itu
namanya Farida dan yang berkaca mata di samping sopir itu bernama Ana. Etika,
aku sudah mengenalnya sejak dulu, karena kami satu organisasi. Salam kenal. Aku
Rizza.
Sesampainya
di bandara, aku benar-benar speechless. Inikah namanya bandara itu? Aku
benar-benar seperti orang udik yang baru pergi ke kota. Baru kutahu, seperti
inilah bandara. Pemberangkatan pukul 16.45. Sekarang pukul 14.45 Aku masih bisa
melakukan sholat jamak takhir untuk Dhuhur dan Asharku hari ini. Setelah
sholat, aku sama sekali tak bisa membendung keharuanku. Aku akan berangkat ke
Malaysia hari ini, memenuhi janjiku pada kampusku, memenuhi mimpiku. Terima
kasih Allah.
Kami
sempatkan berfoto. Aku, Najib, Navis dari PGMI. Kuikuti semua persyaratan
sebelum pemberangkatan, mulai check in bagasi, airport tax, sampai pengecekan
paspor. Semuanya berlangsung kurang lebih satu jam. Semua yang biasanya kulihat
di televisi kini kulalui. Aku akan terbang sebentar lagi.
Begini
rasanya pemberangkatan pesawat itu? Eksklusif dan sakral sekali. Apalagi ada
beberapa teman yang melambaikan tangan pada keluarganya sebelum memasuki pintu
pemberangkatan. Aku? Tak ada yang mengantarkanku. Aku yakin ibuku mengantarkan
doa untukku dari jauh.
Masih ada setengah
jam sebelum berangkat. Nasi Padang yang dibawa Nida masih utuh. Kami lapar.
Jadilah kami menggelar makanan itu dipojokan. Makan bareng. Aku sendiri heran,
bagaimana bisa nasi padang itu lolos mesin pemeriksaan? Sedangkan terlihat
jelas bungkusan dengan isi nasi dibungkus kertas minyak dan sayuran. Bukankah
sayur itu mengandung air? Jika aqua saja harus ditinggalkan, kenapa bungkusan
nasi padang itu tidak? Alhamdulillah. Orang-orang yang juga akan berangkat
bersama kami melintas. Melihat sekilas lalu berlalu. Entahlah apa yang ada di
pikiran mereka tentang kami. Yang kutahu nasi padang dan makan bersama ini
nikmat sekali.
Kunaiki
tangga pesawat. Everyone can fly, itu yang tertulis di badan pesawat merah Air
Asia ini. Ya, everyone, bahkan orang udik sepertiku. Berada di dalam pesawat
untuk pertama kalinya. Take off pertama kali dalam hidupku. Teringat adegan Habibie
dan Ainun. “Jika pesawat bergetar, maka mesin pesawat berjalan dengan baik” itu
kata Habibie pada istrinya dan kata itu pula yang kuingat saat pesawat mulai
bergetar dan aku merasakan ia mulai tak lagi menyentuh daratan. Masyaallah!
Malam
ini, setelah kulewati dua setengah jam di udara, aku sampai di sebuah
penginapan yang tak kutahu ini di daerah mana. Yang kutahu, kasurnya empuk, AC
nya dingin sekali dan rumah ini penuh dengan buku-buku. Ah.. aku pasti betah,
batinku.
Semoga
pagi pertama di Malaysia esok menyegarkan badan. Jujur, aku capek sekali. Capek
yang penuh syukur untuk hari ini.
Pelajaran
hari ini :
ü Pertama
naik pesawat? jangan terlalu norak ya. Juga jangan takut. Biasa saja. Jangan
lupa berdoa.
ü Meski
mau keluar negeri dan menukar rupiah dengan uang negara itu. Jangan lupa tetap
bawa rupiah ke bandara. Setidaknya untuk Airport
Tax dan tambahan biaya bagasi
ü Datang
tiga jam lebih awal dari jadwal keberangkatan. Karena proses check in untuk
pemberangkatan internasional itu lama sekali dan tentu saja antri.
ü Makan
dulu sebelum berangkat, atau bawalah bekal untuk dimakan di bandara. Karena
harga makanan di bandara sepuluh kali lipat lebih mahal.
Hari selanjutnya
Hari selanjutnya
Akupun punya mimpi ingin ke luar negeri mb. Tepatnya menimba ilmu disana. Mustahil memang untuk anak tukang bakso sepertiku. TApi inilah mimpiku. Aku ingin bisa menimba ilmu dikota suci itu. Kota mekkah. Ya,,, yang kata Oki Setiana Dewi dibukunya Cahaya diatas Cahaya adalah Kotanya Para Hafidz/ Hafidzah :D
BalasHapusWah... anak tukang bakso? Bakso itu makanan yang butuh keahlian tersendiri lho Dila. Saya saja kalau buat bakso masih sering gagal, hehe
HapusSalam untuk orang tua di rumah ya...
Jangan takut untuk bermimpi, insyaallah Allah Meridhoi. Semangat!
Nice story, kagum atas kejujuran mbak Rizza yang ga malu cerita naik pesawat utk pertamakalinya
BalasHapusUtk De Dila: Amin, semoga diijabah. Just fyi, teman saya yg keluarganya sangat berkekurangan pun sudah menyelesaikan S2-S3nya diluar negeri dengan beasiswa, dan skrg sudah jadi pembicara di forum2 internasional.
Jgn putus asa, yg penting usaha dan doa. Pasti diberi jln oleh Allah :)
Terima kasih Eoshi sudah membaca...
HapusYa, saya ndak malu, memang baru pertama...semoga segera ada kesempatan untuk yang kedua dst..
Salam kenal Eoshi. Semangat mewujudkan mimpi =D