Senin, 30 Juni 2014

HANA DAN BLOGNYA


Saya bertemu Hana sejak dua hari sebelum Ramdhan, waktu itu adik sepupu saya yang mengajak saya bertemu dengan dia. Awalnya saya merasa dia adalah perempuan dewasa yang biasa-biasa saja. Saya akui dia begitu anggun dengan jilbabnya dan ketika saya menatap wajahnya dan melihat sikapnya saya menemukan hal lain. Hana adalah sosok perempuan yang sabar, cerdas dan peduli

Saya semakin tertarik dengan dia, apa lagi yang bisa saya pelajari dari sosok wanita satu ini? Saya begitu kaget ketika melihat dia membuka blog pribadinya. Mengetik kalimat-kalimat yang mempesona, saya baru tahu, ternyata Hana seorang penulis juga. Sepertinya laptop sudah menjadi sahabatnya.

Hana adalah pribadi terbuka, pribadi peduli pada apa saja. Ia menerima siappaun yang menginginkan nasehatnya, atau sekedar meminjam kupingnya untuk mendengarkan saja. Siapapun itu, mulai dari anak-anak, remaja, dewasa, dari orang lain hingga sahabat terdekatnya. Apapun yang ia alami, apapun yang dikisahkan orang padanya, maka ia akan menuliskan di blog pribadinya itu. Blog itu sudah seperti sahabatnya. Tempat ia menceritakan kembali apapun yang ia hadapi dalam hidupnya. Tulisan-tulisan yang ringan, berisi intisari hikmah dari kisah-kisah yang pernah dialami atau didengarnya. Siapapun yang membacanya pasti mendapatkan suntikan semangat dan solusi atau paling tidak nutrisi hati.

Ia pun terbuka bagi siapa saja yang ingin berbagi cerita dengannya secara pribadi, meski jauh, tidak saling kenal dan tak pernah bertemu, Hana membuka emailnya untuk menerima cerita-cerita itu. Ia pun dengan telaten membalasnya satu persatu. 

Tak ayal blognya begitu banyak dikunjungi, banyak yang membaca tulisan-tulisan inspiratifnya, apresiasi dari tulisan itu, puluhan komentar diterimanya di bawah posting tulisannya. Diskusi pun terbangun dari banyaknya apresiasi itu. Luar biasa!

Puasa Pertamaku



Aku pernah membaca 'Semua yang pertama itu selalu terkenang, tak bisa dilupakan' begitu pula dengan puasa pertamaku. Puasa pertamaku kelas 1 SD, kala itu usiaku 6 tahun. Entah ini namanya puasa atau tidak, jika sahurku pukul enam pagi dan buka puasa adzan dhuhur. Sebelum berangkat sekolah aku di dulang ibu, katanya ini sahur. Kalau anak kecil sahurnya jam segini, namun sahur jam enam pagi ini hanya berlangsung beberapa hari, selebihnya sahur seperti seharusnya yakni pukul tiga pagi, tapi tetap saja berbuka setelah adzan Dhuhur. Poso mbedug


Tahun selanjutnya, kelas 2 SD aku mulai puasa sampai bedug Maghrib. Sebagai pemula, tentu godaan yang kurasakan besar sekali. Harus sekolah pula, pulang sekolah sudah pasti perut krucuk-krucuk. Belum lagi kalau diajak dolan. Duh bawaannnya pengen batalin puasa deh. Nggak sekali dua kali kalau ada biskuit di rumah aku sering minta pada ibu begini "Buk, aku mokel ya... pisan iki ae"

"Kok mokel? Yo batal posone! Eman" kata ibu

Semalam Sebelum Ramadhan



Semalam sebelum ramadhan, adalah malam yang paling saya  tunggu-tunggu. Apakah saya masih hidup saat adzan Maghrib terakhir di bulan Sya’ban? Siang tadi aku mendengar ceramah dari ustadz Maulana di tivi. Jika mendengar seruan adzan Maghrib di akhir bulan Sya’ban, maka disunahkan berdoa, “Marhaban Ya Ramadhan” lalu sujud syukur dan mulai berniat puasa untuk satu bulan ke depan, disusul doa agar kita dikuatkan untuk menjalani semua amalan di bulan Ramadhan.


Semalam sebelum ramadhan pula, masjid selalu ramai. Setelah sholat Maghrib pasti ada para ibu membawa buceng. Buceng itu adalah makanan berupa nasi dan lauk pauknya yang ditempatkan di nampan. Setelah berdoa bersama, maka buceng ini akan kami makan bersama pula. Dalam tradisi, makanan yang dibawa ke masjid untuk dimakan bersama ini dinamakan mengengan. Setahu saya mengengan berasal dari kata Megeng yang artinya mempersiapkan, atau menahan. Mempersiapkan diri menyambut bulan ramadhan dan mempersiapkan diri pula melaksanakan puasa selama satu bulan penuh dengan menahan lapar dan terus berlomba dalam kebaikan.

Sriatun



Aku masih menekuri paragraf demi paragraf naskah buku yang sejak sebulan ini menyita waktuku. Sebenarnya sudah selesai kuedit, hanya aku ingin memastikan saja, tidak ada kesalahan lagi sebelum lusa kuserahkan pada penulisnya. Seorang guru yang dulu menjadi pembimbing lapangan penelitian skripsiku. Membaca kembali naskah itu mengingatkan aku tentang murid-murid di SDN Sumbersari 1. Murid-murid ABK yang selalu memberi kejutan setiap harinya, juga murid-murid reguler yang ramah. Senyum mereka, candaan mereka padaku. Anak-anak yang menyambut kedatanganku dengan berlari, anak-anak yang bercerita tentang masakan ibunya tiap pagi. Apa kabar sayang, Bu Rizza kangen.


Bayangan-bayangan anak-anak itu terus menggelayuti pikiranku, sampai akhirnya ada hal lain yang lebih penting dari sekedar bayangin masa lalu itu yang ingin kuceritakan pada kalian. Cerita tentang Sriatun. Namanya cukup satu kata Sriatun, nama khas wanita jawa ndeso. Aku mengenalnya, sesaat setelah pintu rumahku kubuka. Dia datang ke rumahku


"Assalamualaikum Mbak, wonten nopo?"  Dia tak menyahut, hanya menatapku lekat dan tersenyum. Lalu dia menyodorkan sebuah kertas padaku. Kuterima kertas itu, dia kemudian memegang tanganku. Ada apa dengan perempuan ini? Kenapa dia aneh sekali. Dia menggerakkan tangannya ke dada lalu menunjuk ke dalam rumah. Oh... rupanya aku terlalu kaget menerima kedatangannya hingga lupa mempersilahkan dia masuk.

Perempuan Politik



Tumbuh menjadi perempuan membuat saya merasakan bahwa perempuan sangat dicintai oleh dunia ini. Menjadi perempuan, adalah menjadi pendamping bagi laki-laki, begitu pula sebaliknya. Dalam banyak kesempatan, perempuan selalu dihormati, didahulukan, dienakkan. "Masak yang suruh bawa begitu perempuan, kasihan", "silahkan duluan, Ladies first!"  itu kata-kata yang sering diungkap. Akibatnya perempuan merasa lemah, perempuan merasa membutuhkan bantuan lelaki untuk hal-hal yang sebenarnya bisa ia lakukan sendiri, tentu saja kalau dia mau. Akan tetapi, budaya yang telah membentuk lelaki kuat dan perempuan lemah. Perempuan harus selalu dilindungi, bahkan ada sebuah lagu yang berjuadul "Karena wanita ingin dimengerti" Ya, pada akhirnya semua itu menjadikan perempuan selalu ingin dilindungi, selalu ingin dimengerti.


Sebagai perempuan, saya pun merasakan hal yang sama. Kadang saya lebih suka menyuruh adik-adik saya untuk angkat-angkat kursi, dengan alibi dia adalah lelaki, lebih kuat dari saya, sebenarnya tanpa saya menyuruh pun, saya mampu melakukannya, kalau saya mau mencoba. Saya rasa adik saya yang lelaki itu juga tidak pernah keberatan, karena mungkin dia mmemahami, saya lelaki, saya lebih kuat dari dia. Pada akhirnya antara perempuan dan l4aki-laki tertanam sebuah pemahaman. Pemahaman kultural yang mengakar.

Ian



Ian, mungkin adalah lelaki teraneh yang pernah ada. Bagaimana tidak, dia mengoleksi puluhan DVD bokep, di kamarnya, memontonnya setip waktu senggang dan kalau bosen ia akan memesan pada kios DVD langganannya. Sebuah kecanduan yang parah kurasa. Ah, Ian
Jika yang lain mulai merubah pola hidupnya menjadi pola hidup sehat, maka Ian masi setia dengan Indomie. Mie instan! Makanan beracun itu, yang racunnya baru bisa keluar dari tubuh lebih dari tiga hari. Nah, kalau dia makan mie tiap hari, racun itu... racun itu! Gembulmu, jangan-jangan gembul beracun! Oh...

Saat sahabatnya menyelesaikan seluruh sks kuliahnya, Ian masih santai di pantai main game, saat semua orang sudah mulai bekerja, Ian masih berkutat dengan skripsinya yang entah sudah dikerjakan atau baru tahap proposal. Ian, Ian. Untung saja sahabatmu pengertian, selalu memberimu semangat untuk menyelesaikannya, meski Ian tak pernah menyentuhnya. "Kamu SD berapa tahun Ian?" bentak dospemnya yang killer. Sukonto Legowo namanya.
"Enam tahun Pak" jawab Ian takut-takut
"Kalau kamu kuliah enam tahun juga, berarti otak kamu sama kayak otak anak SD!" Oh Man... itu hujatan, peringatan, atau sindiran? Menusuk!

Untuk Zy



Zy, belum tidur?
Malam menjelang pagi disini Zy, bagaimana dengan kotamu? Apakah pejantan berkokok hebat seperti disini? ini malam kelima sejak aku tak lagi bisa tidur tepat waktu, ada apa? Mengapa aku insomnia? Apakah kau baik-baik saja? Ah tidak-tidak.. aku tak boleh berpikiran macam-macam tentangmu, kau pasti baik-baik saja. Insomniaku bukan karenamu, atau karena siappaun. Mungkin saja aku yang malas berangkat tidur.


Kau tahu, aku sekarang sudah punya kamar baru. Sebuah kamar yang tak lagi pengap dan sesak seperti dulu. Pun rumah, rumahku sendiri, bukan rumah yang kutinggali berjejal milik  seorang perempuan paruh baya. Bu Ani namanya. Bagaimana ya kabar dia sekarang? Masihkah secerewet dahulu atau menjadi pendiam? Ah, mana mungkin, setahuku, semakin tua usia seseorang, semakin cerewetlah dia. Haha, untung saja aku sudah pergi.

Zy, bagaimana proyekmu? sudah selesai? atau menggantung, atau malah telah kau buang. Ah, kau selalu begitu Zy, tak pernah mau berubah. Kau bukan lelaki bodoh, kau juga bukan lelaki pengecut, hanya saja aku tak tahu, kenapa kau tak pernah serius menggarap proyekmu. Bukankah itu impianmu dan ayah ibumu? Sayangnya, kau masih saja asyik dengan dunia malammu. Cari angin segar begitu katamu. Segar kau bilang? Angin malam itu sumber penyakit, harus berapa kali aku katakan, jangan begadang! jangan keluyuran, jangan nongkrong! Pulang!

Salam Untuk LDK At-Tarbiyah



“Mbak” sebuah sms masuk di hape saya. Ya, hanya itu. Kata "Mbak," yang tentu saja ditujukan untuk saya, memanggil saya. Mendapatkan sms itu tak hanya membuat saya terpanggil tapi juga tersentak. Segera saya lihat tanggal, sekarang 14 Juni. Hari ini dan besok adalah jadwal Musyawarah besar LDK At-Tarbiyah dan saya tidak ada disana.

Sms itu dari Dek Zahra, satu rekan dalam devisi media dan jaringan.  Setelah sms itu saya balas, muncul sms lainnya darinya “LPJ sendirian” *dengan emoticon cemberut*
Lalu saya balas “Yang lainnya mana Dek? Akh Yusuf, Akh Dwi,” saya mulai mengabsen satu-satu. Dalam hati saya mengututuki diri saya sendiri, Seharusnya kamu juga ada disana Rizza!

Ada rasa bersalah, ketika saya tak hadir hari ini dan besok, ada rasa bersalah ketika yang ada hari ini hanya Zahra. Ada rasa bersalah, kenapa saya tak bersama mereka di saat-saat seperti ini. Saat kami harus mempertanggungjawabkan semua yang telah diamanahkan, saat kami melihat kembali jejak-jejak kinerja setahun yang silam.



Saat pemberitahuan Mubes sampai beberapa hari lalu, saya bilang pada ibu, tentang ini. Lalu ibu saya mengatakan kalau hari ini, malam ini, akan ada acara sebuah rutinan yang diselenggarakan di masjid sebelah rumah, sebaiknya saya ada di rumah begitu kata ibu saya. Banyak yang saya inginkan, termasuk menghadiri mubes dua hari ini, namun melawan ibu tentu tidak dibenarkan.

Ada banyak hal yang kemudian berkelebat dalam pikiran saya. Tentang Cendekia Rabbani yang belum memasuki edisi perdana, tentang blog yang tulisan terakhirnya berbulan lalu terakhir kali saya update, tentang page yang tak bisa saya isi setiap hari dan tentang silaturahim antar LDK yang belum terjalankan. Rasanya, tidak ada program yang bisa dikatakan 100% dalam devisi kami. Hampir semuanya setengah setengah, bahkan ada yang belum terjalankan sama sekali.

Pada awalnya, kami memang tak membuat banyak program, namun yang tak banyak itu pun tetap saja keteteran. Devisi media dan jaringan memang tak hanya saya saja. Ada Dwi, Yusuf, Zahra, juga adik-adik yang lain. Saya memang bukan ketuanya, namun dari segi usia dan semester, sayalah yang tertua, yang lainnya masih semester 6, bahkan adik yang baru matra tentu saja baru menapaki semester 2. Saya sangat paham, dibuat demikian, agar dalam satu devisi kita bisa bekerja sama dari berbagai jenjang semester, harapannya, ada berbagi pengalaman dan penyampaian harapan. Sebagai yang tertua, seharusnya saya memberi contoh dan mengarahkan adik-adik saya, tapi rupanyanya saya belum bisa maksimal dalam hal itu. Maaf

Terakhir saya mengikuti syuro, sekitar satu bulan lalu, dua minggu sebelum saya wisuda. Kala itu hanya ada Yusuf dan Zahra, kami sempat berbincang tentang penerbitan perdana Cendekia Rabbani, saya diamanahi meminta tulisan pada teman-teman untuk kemudian di lay out dan naik cetak. Saya pribadi meminta maaf pada Zahra dan Yusuf, karena amanah itu belum saya lakukan, karena dua minggu menjelang wisuda, ternyata saya masih disibukkan dengan revisi akhir, mengurus bebas tanggungan, penjilidan dan lainnya. Ya, harusnya ini bukanlah alasan untuk jalannya program itu, harusnya saya bisa. Ternyata apa yang saya pikirkan mudah itu cukup menyita perhatian dan waktu saya. Sekali lagi maaf ya.

Dua minggu lalu atau sebelumnya, saya di sms Akh Eko Priadi untuk menghadiri Syuro Mubes dan pengunduran diri  Akh Solihan. Saya sampaikan pula sebagai balasan dari sms itu bahwa saya juga mengundurkan diri dari LDK At-Tarbiyah, karena saya harus kembali ke kampung saya di Kediri.  Saya pun paham jika sebentar lagi akan sampai pada masa akhir jabatan, sehingga tanpa saya mengundurkan diri pun saya sudah akan pasti mundur dalam hitungan hari.

Jika itu sebuah pernyataan, maka kata mengundurkan diri itu saya maksudkan begini: Saya tidak bisa mengikuti kegiatan LDK At-Tarbiyah lagi karena saya tidak ada di Malang. Jika itu sebuah pengunduran diri sesungguhnya, maka seharusnya saya membuat surat resmi atau menyampaikannya dalam forum resmi seperti yang dilakukan Solihan. Akhirnya, saya adalah anggota tua yang telah diwisuda. Itu saja. Lalu apakah tanggung jawab saya selesai seiring selesainya masa studi saya? Tentu tidak! Tanggung jawab itu baru selesai hari ini, saat LPJ digelar. Saya selesaikan tanpa kehadiran. Maaf.

Dalam sebuah buku saya temukan ungkapan “Bukalah dengan maaf dan tutuplah dengan terima kasih”. Terima kasih untuk LDK At-Tarbiyah yang telah menaungi saya selama 4 tahun berada di UIN Maliki Malang. Masih teringat, kala itu saya melihat pamflet Matra yang tanggal pendaftarannya tinggal hari itu saja, saya tidak tahu LDK At-Tarbiyah itu apa dan bagaimana, tapi entah kenapa saya mengirim sms pada contact person dan langsung dibalas dengan panggilan, dimana yang berada diujung telepon adalah Ukhti Dewi.

Saya awali perjalanan saya dengan mengenal Ukhti Dewi dan Ukhti Rina, Ukhti Ambar dan Ukhti Nirma sebagai senior. Sementara yang seangkatan saya hanya ada tiga orang saja, yaitu saya, Etika dan Miftah. Hanya tiga orang saja dari perempuan. Ya, tiga ini pun akhirnya hanya sisa saya dan Etika, sementara Miftah, saya tidak pernah bertemu dia lagi di acara LDK beberapa bulan setelah itu.

Di tahun kedua, alhamdulillah saya bisa mengenal Dek Husna, Dek Lila, Dek Ita, Dek Navis, Dek A’yun, Dek Jeany, kalau tak salah kala itu ada 12 peserta.  Dari tahun ke tahun terus bertambah anggotanya. Makin senanglah saya.  Mereka yang selalu nampak cantik dan anggun di mata saya, mereka  yang selalu menghadiahi kehangatan pelukan di setiap pertemuan, juga jabat tangan dan senyum salam. Terima kasih atas kehangatan itu.

Saya masih ingat betul teman-teman selalu ada di saat saya membutuhkan bantuan, selalu ada di saat saya membutuhkan kekuatan.  Ukhti Rina dan Ukhti Dewi dengan mengizinkan saya tinggal di Riefahnya dulu kala, saat saya baru keluar dari ma’had, masih ingatkah?  Etika, yang menjemput saya untuk mengikuti  matra adik-adik, menjenguk saat saya sakit, atau yang paling terakhir dan paling membuat saya terharu adalah malam itu, malam penjilidan skripsi! Bersama Ukhti Dewi, Husna, Syifa dan Yuni. Oh... malam itu, terima kasih saudariku. Kalian rombongan datang ke Kediri demi menjenguk ayah, saya sudah membayangkan, bagaimana susahnya kalian mengumpulkan kekuatan itu? Apa saya selalu ada saat LDK At-Tarbiyah membutuhkan saya? Saya rasa belum tentu. Inilah ketimpangan itu. Terima kasih atas bantuan-bantuan itu.

Terima kasih pula telah mengajarkan saya arti kesederhanaan, arti kerjasama dan keikhlasan. Kita memang tak punya base camp, kita memang tak punya tempat untuk menyimpan semua yang kita punya meski itu juga apa adanya, kita tak punya uang berlebih untuk memberikan nafas panjang untuk organisasi ini. Kita tak punya semua itu, namun mensyukurinya tentu bukan hal yang salah.

Dengan mensukurinya kita punya daya juang lebih tinggi, dengan mensyukurinya kita punya keyakinan bahwa hari esok masih ada. Selalu kagum dengan kesederhanaan dan keikhlasan yang telah kita jalankan selama 4 tahun kita berjalan bersama-sama dalam payung LDK, meski kita tak punya apa-apa, kita masih bisa menghidupinya hingga hari ini, hingga esok, sampai nanti.

Saat saya menuliskan ini, mungkin kalian sudah pulang ke kontrakan masing-masing. Ke Ar-Riefah, ke Darus Sahl, ke Kautsar, ke Griya Muslimah. Hey ternyata kita punya banyak rumah ya? Bukan kita LDK At-Tarbiyah saja tapi juga teman-teman dari KAMMI dan yang lainnya. Bukankah empat rumah ini investasi dakwah? Teman-teman yang tinggal disana tentu sudah memikirkan ini sejak lama. Tentu saja, keempat rumah itu lebih pasti, daripada tempat bertuliskan LDK At-Tarbiyah terpampang dipintu masuknya, tiap tahun kita niati tapi tak pernah tergenapi. Sekali lagi, mensyukuri yang ada sekarang lebih baik.

Salam untuk fisik-fisik letih kalian, untuk jiwa-jiwa kecewa, mungkin juga untuk hati lega yang telah menyelesaikan amanahnya. Semoga malam ini menjadi istirahat yang menyejukkan untuk hari esok. Hari dimana rumah ini akan memiliki kepala rumah yang baru? Setelah Eko Priadi, siapa lagi?

Masih teringat, tahun lalu, saat nama Eko disebutkan serentak, padahal semua yang ada di forum itu sama-sama tak tahu siapa yang terpilih. Rasanya baru kemarin saya menuliskan tentang hari esok setahun yang lalu, *buka saja di blog, insyaallah masih ada* Rasanya baru kemarin, dan waktu cepat sekali, pada akhirnya kita menyadari bahwa yang pernah ada akan pergi dan yang hilang akan berganti.

Saya ucapkan selamat, kepada pengurus yang telah menyelesaikan masa jabatannya setahun ini dan selamat pula pada pengurus baru yang akan terpilih esok hari. Saya memang tak lagi ada di Malang, Etika juga telah pulang ke Lampung, Ukhti Rina pulang ke Magetan dan lainnya yang tak mungkin saya sebutkan satu persatu.

Akhirnya, saya ucapkan salam pada LDK At-Tarbiyah. Semua mungkin tak lagi sama, dan memang harus tak sama, karena pembaharuan dan regenerasi dalam organisasi harus terus ada. LDK At-Tarbiyah masa depan tentu lebih baik dari yang sekarang, namun saya berharap LDK At-Tarbiyah yang saya kenal tetap pada tempatnya, tak ke kiri tak ke kanan, tetap memegang teguh islam dengan penuh kesederhanaan dan kearifan. Terima kasih LDK At-Tarbiyah, terima kasih atas ukhuwah yang indah ini. Meski kita tak lagi bersama, semoga ukhuwah ini tetap terjaga, sampai nanti, sampai tua, bahkan sampai tutup usia pun kita masih bisa merajutnya lewat doa.

Tetaplah, santun dalam dakwah kuat berukuwah LDK At-Tarbiyah!

Salam
Rizza Nasir

My Letters: UNTUK CALON SUAMIKU (2)




Assalamualaikum Mas, semoga kau selalu sehat dan bahagia. Soalnya aku juga lagi bahagia hari ini. Kamu tahu apa itu? Hari ini aku wisuda Mas. Ya, alhamdulillah aku berhasil Mas, seperti janjiku lima bulan saat kutulis surat pertamaku untukmu, Aku akan berusaha sekuat tenaga dan semaksimal mungkin yang kubisa agar bisa lulus dan wisuda bulan Mei, agar ibu bisa datang, karena Oktober nanti beliau ada di Makkah, kalau aku wisuda bulan Oktober, apa jadinya?

Alhamdulillah Mas, hari ini aku berhasil berjalan dengan mulus di depan rektor. Kalau kamu tahu, sehari sebelumnya saat gladi bersih, aku sempat takut berjalan di atas panggung terhormat itu, aku akan menaiki tangga, berjalan dan menundukkan kepalaku di depan Pak Mudji lalu berjalan menerima bumbung dari Pak Nur Ali. Sempat sangsi dengan semua itu, bagi perempuan yang lain, mungkin tak merasakan rasaku, tapi aku tak boleh jadi pengecut dan penakut kan? Malam harinya aku berdoa agar aku bisa melakukannya.

Mas, kau tahu apa rasanya saat namaku dipanggil dan aku harus berjalan ke depan? Sepertinya ada dag dig dug yang begitu keras. Aku tak akan melupakan senyum Pak Mudjia hari ini sesaat setelah membalikkan tali togaku, juga senyum Pak Nur Ali saat memberi bumbung padaku. Di depan beliau, aku seperti mengucap beribu terima kasih, Pak Nur Ali yang menguji skripsiku, memberikan revisi yang sempat membuatku jengkel dan memberiku nasehat agar aku tetap semangat. Terima kasih Pak Nur Ali.

Kau tahu, semua mata menatapku, tak masalah, aku tak malu. Aku justru bangga, dengan kondisiku seperti ini aku bisa menyelesaikan studi S1-ku, sebuah mimpi yang dulu aku merasa terlalu tinggi, terlalu berat untuk orang sepertiku. Aku sudah buktikan pada semua orang bahwa apapun yang kita alami, menuntut ilmu tetap menjadi mimpi yang harus ditepati.