Semalam
sebelum ramadhan, adalah malam yang paling saya tunggu-tunggu. Apakah
saya masih hidup saat adzan Maghrib terakhir di bulan Sya’ban? Siang tadi aku
mendengar ceramah dari ustadz Maulana di tivi. Jika mendengar seruan adzan
Maghrib di akhir bulan Sya’ban, maka disunahkan berdoa, “Marhaban Ya Ramadhan”
lalu sujud syukur dan mulai berniat puasa untuk satu bulan ke depan, disusul
doa agar kita dikuatkan untuk menjalani semua amalan di bulan Ramadhan.
Semalam
sebelum ramadhan pula, masjid selalu ramai. Setelah sholat Maghrib pasti ada
para ibu membawa buceng. Buceng itu adalah makanan berupa nasi dan lauk
pauknya yang ditempatkan di nampan. Setelah berdoa bersama, maka buceng ini
akan kami makan bersama pula. Dalam tradisi, makanan yang dibawa ke masjid
untuk dimakan bersama ini dinamakan mengengan. Setahu saya mengengan
berasal dari kata Megeng yang artinya mempersiapkan, atau menahan.
Mempersiapkan diri menyambut bulan ramadhan dan mempersiapkan diri pula
melaksanakan puasa selama satu bulan penuh dengan menahan lapar dan terus
berlomba dalam kebaikan.
Saya
melihat, dari agenda megengan ini, masyarakat begitu rukun. Meski
lauk-lauk ditiap buceng berbeda, ada yang ayam, ada yang telur, bahkan ada yang
hanya tahu tempe, tapi tetap dibagi dan dimakan bersama-sama. Meski hanya
beralaskan daun pisang saja, meski sederhana, namun jika di makan bersama-sama,
apalagi dengan rasa bahagia menyambut semalam sebelum ramadhan. Nikmat sekali
rasanya! Alhamdulillahh
Di desa
saya, mayoritas memulai puasa pada hari Minggu, tanggal 29 Juni 2014. Sangat
sedikit yang berpuasa hari Sabtu mengikuti Muhammadiyah. Bisa dibilang desa
saya mayoritas warga NU. Saya pribadi dan keluarga, sama sekali tidak
mempermasalahkan kultur ini. Ayah dan ibu saya bukanlah penggiat Anshor maupun
Muslimat, bukan pula Aisiyah. Jika ditanya keluarga kamu NU atau Muhammadiyah?
Maka sudah pasti saya akan menjawab "Saya Muslim" itu saja cukup.
Kalau ada yang ngundang yasinan ya datang, kalau di undang pengajian
Muhammadiyah ya datang. Kami terbuka dengan itu. Mungkin hal semacam inilah
yang membentuk pola pikir saya bahwa NU dan Muhammadiyah itu tak lebih dari
organisasi keagamaan. Bukan aliran atau golongan islam seperti kebanyakan orang
katakan, karena kita sejatinya adalah muslim.
Saya sangat menyesalkan,
ketika ada pihak yang berkata, "Kalau kamu ikut nyekar, megengan, yasinan,
tahlilan berarti kamu NU" Kenapa semua itu harus identik dengan NU? Kenapa
ketika saya dan keluarga saya mengikuti kultur tempat saya tinggal lalu saya di
cap NU? Padahal baik ayah, ibu, saya, maupun adik-adik tak ada yang terdaftar
sebagai anggota NU. Sebenarnya tak masalah dengan NU atau Muhammadiyah. Toh
bagi saya terutama, keduanya sama, sebuah organisasi.
Nyekar, adalah salah satu tradisi pula
sebelum ramadhan. Ziarah ke pusara orang-orang terdahulu. Banyak sekali penjual
bunga dipinggir jalan, pemakaman pun mulai ramai, tak lagi hening dan mencekam.
Dari tradisi ini kita belajar tentang sebuah kecerdasan yang paling agung,
yaitu mengingat kematian. Siapapun yang bernyawa pasti akan merasakan mati.
Jika tak nyekar pun tak masalah, toh nyekar bukan syariah. Nyekar pun
juga tak apa-apa, karena ziarah kubur juga memberikan tamparan dan kesadaran
akan kematian. Kewajiban kita sebagai generasi dari yang telah mati adalah
mendoakannya, bukan meratapi kepergiannya. Medoakan itu setiap saat, tak harus
datang ke makam pun tak jadi soal. Sekali lagi ini hanya soal budaya.
Bagi saya,
baik megengan, yasinan, tahlilan, itu adalah produk budaya. Budaya yang
diciptakan para wali untuk menyebarkan Islam di pulau Jawa. Para Wali sangat
cerdas, dengan kultur tersebut masyarakat tak merasa digurui, masyarakat tak
merasa terpaksa menerima islam, mereka menerima Islam karena mereka nyaman
dengannya. Ketika budaya-budaya jaman dahulu itu ada sampai malam ini, tentu
tak bisa dipungkiri karena masyarakat masih menjaganya dan melaksanakannya.
Jika masyarakat masih melaksanakannya, maka masyarakat nyaman, tidak merasa
risih apalagi terancam.
Saya
melihat, megengan malam ini, meski sederhana, tapi berhasil menyatukan
kami dalam makan bersama, dalam doa dan kesyukuran yang sama, dalam
cerita-cerita dan impian tentang ramadhan dan idul Fitri nanti. Indah bukan?
Yang indah ini, meski tak ada dalam Al-Qur'an kata megengan, tak ada salahnya
jika masyarakat masih menjaga. Karena di dalamnya ada implementasi perintah
Allah untuk saling berbagi, memberi dan rukun tetangga dan bersyukur atas
nikmat umur dan rezeki. Implementasi nilai itu dengan berbagai cara, salah
satunya dengan megengan.
Jika masyarakat
merasa tidak nyaman dengan budaya yang pernah ada, pasti lambat laun itu akan
ditinggalkan dan dilupakan, seperti tradisi Karbala yang meyakitkan dan
berdarah itu. atau tradisi Khifadh (khitan wanita) yang kini mulai tak ada.
Selama itu baik dan memberi kenyamanan dan memelihara kerukunan, saya rasa tak
ada salahnya untuk dipertahankan. Saya menuliskan ini, bukan karena saya NU
atau Muhammadiyah. Saya seorang muslimah yang sangat kagum dengan budaya
Indonesia dan saya sangat menyukai kebersamaan ini, kerukunan ini dan
budaya-budaya yang agung di tanah Jawa tentang Islam
Diluar sana,
di masjid yang tadi menggelar megengan, sudah mulai terdengar adik-adik
mempersiapkan musiknya untuk ronda membangunkan sahur tiga jam lagi, sepertinya
saya harus segera terlelap, karena tentu nanti mempersiapkan sahur pertama
kami. Selama Malam, Terima kasih sudah membaca catatan saya malam ini. Semalam
sebelum ramadhan. Selamat menjalankan ibadah puasa. Semoga Allah sellau
membimbing kita di jalannya. Amin.
Salam
Rizza Nasir
Akhir
Sya'ban 2014
Tidak ada komentar:
Posting Komentar