Tumbuh menjadi perempuan membuat saya merasakan bahwa perempuan sangat dicintai oleh dunia ini. Menjadi perempuan, adalah menjadi pendamping bagi laki-laki, begitu pula sebaliknya. Dalam banyak kesempatan, perempuan selalu dihormati, didahulukan, dienakkan. "Masak yang suruh bawa begitu perempuan, kasihan", "silahkan duluan, Ladies first!" itu kata-kata yang sering diungkap. Akibatnya perempuan merasa lemah, perempuan merasa membutuhkan bantuan lelaki untuk hal-hal yang sebenarnya bisa ia lakukan sendiri, tentu saja kalau dia mau. Akan tetapi, budaya yang telah membentuk lelaki kuat dan perempuan lemah. Perempuan harus selalu dilindungi, bahkan ada sebuah lagu yang berjuadul "Karena wanita ingin dimengerti" Ya, pada akhirnya semua itu menjadikan perempuan selalu ingin dilindungi, selalu ingin dimengerti.
Sebagai perempuan, saya pun merasakan hal yang sama. Kadang saya lebih suka menyuruh adik-adik saya untuk angkat-angkat kursi, dengan alibi dia adalah lelaki, lebih kuat dari saya, sebenarnya tanpa saya menyuruh pun, saya mampu melakukannya, kalau saya mau mencoba. Saya rasa adik saya yang lelaki itu juga tidak pernah keberatan, karena mungkin dia mmemahami, saya lelaki, saya lebih kuat dari dia. Pada akhirnya antara perempuan dan l4aki-laki tertanam sebuah pemahaman. Pemahaman kultural yang mengakar.
Secara fisik, lelaki memang diberi kelebihan kekuatan daripada perempuan. Lelaki diberikan kekuatan logika lebih besar dan lebih kuat dari perempuan. Perempuan juga diberi kelebihan dalam hal merasakan, perasaan. Perebedaan secara fisik ini tentu memberikan efek yang sangat signifikan terhadap peran laki-laki dan perempuan terhadap kehidupan. Meski kuantitas perempuan 4:1 dari lelaki, tapi peran perempuan dalam kehidupan sosial sangat minim sekali. Laki-laki mendominasi di setiap sektor pekerjaan, laki-laki juga mendominasi dalam pendudukan jabatan pemerintahan. Dominasi diartikan sebagai jumlah yang lebih banyak dari yang lain, artinya perempuan masih ada kontribusi meski kini perbandingannya berbalik 4:1 untuk dominasi laki-laki.
Meski jumlah mayoritas, perempuan terlalu malu
untuk bersikap, berbuat dan berkontribusi untuk umat. Ada Fiqh Wanita, ada
kajian keputrian, ada dasawisma, ada Putri Indonesia dan yang lainnya, adalah
wadah bagi perempuan untuk menunjukkan kompetensinya. Dalam kajian
keputrian, dibahas segala macam tentang perempuan, mulai dari hal pribadi
perkembangan reproduksi, sampai pengembangan diri, pun dengan dasawisma dan
Putri Indonesia, semuanya demi memberikan ruang bagi perempuan untuk berkarya. Ini
tempat untukmu, silahkan unjuk gigi, jangan malu. Perempuan berpotensi
untuk memberikan kontribusi nyata bagi masyarakatnya, sayangnya, banyak
perempuan yang masih pasrah pada rasa malu yang begitu besar, sehingga ia
merasa nyaman dengan dirinya, yang tak berbuat apa-apa.
Dalam dunia pemerintahan, kita pernah mengenal Megawati Soekarno Putri,
presiden kelima sekaligus presiden perempuan pertama di Indonesia. Mungkin saja
dalam satu dasawarsa pemerintahan, belum tentu akan ada lagi presiden perempuan
seperti beliau. Hal ini dapat dilihat dari keikutsertaan aktif perempuan dalam
dunia pemerintahan. Dari sekian ratus anggota DPR, silahkan htung kepala-kepala
yang memakai hijab, atau kuping-kuping yang bergiwang duduk disana. Tak banyak,
hanya 2 orang dari 10 anggota. Dunia pemerintahan tak terlalu menarik bagi perempuan memang, termasuk saya. Musim pergantian kursi pemerintahan 2014 ini bisa dibilang, tahun pertama saya jatuh cinta pada dunia politik Indonesia, padahal sudah 4 kali saya pergi ke TPS ikut mencoblos. Hak pilih pertama, saya dapatkan tahun 2009. Kala itu pemilihan presiden RI seperti sekarang ini. Tak menarik sama sekali bagi saya dulu, mungkin juga remaja putri yang lain. Tak hanya remaja putri, ibu-ibu pun tak terlalu paham tentang politik dan pemerintahan. Siapa yang lebih asyik nonton berita setiap hari? Siapa yang antusias mendengarkan perkembangan setiap peristiwa? Laki-lakilah orangnya, sementara perempuan, lebih senang melihat yang enteng-enteng, seperti acara memasak, hiburan keluarga bahkan infotainment. Acara-acara ini lebih mengasyikkam dan memberikan banyak pencerahan daripada politik yang memuakkan.
Meliat kultur tersebut, wajar saya rasa, jika jumlah perempuan dalam dunia pemerintahan negeri ini maupun dunia sangat rendah. Perempuan memanglah memiliki peren utama sebagai istri dan ibu. Sebagai pendamping dan pengasuh keluarganya, sementara kontribusi dalam kemasyarakatan termasuk pemerintahan akhirnya banyak didominasi kaum laki-laki. Apalagi ada sebuah hadist yang mengatakan "Jangan serahkan kepemimpinan suatu kaum pada wanita, atau mereka akan binasa" Jika menilik pada hadist ini, maka perempuan sebaiknya jangan menjadi pemimpin. Sebaiknya bukan berarti tidak boleh. Jika memang perempuan tersebut dieasa mampu memimpin daripada lelaki, maka tak ada salahnya perempuan tersebut menjadi pemimpin. Terlebih negara kita Indonesia adalah negara demokrasi. Siapapun, perempuan dan laki-laki, berhak mencalonkan diri. Siapa yang mendapatkan suara terbanyak maka ia yang akan menjabat. Hal ini tak bisa lagi diganggu gugat.
Perempuan dengan perasaannya yang lebih
dominan, perempuan dengan stigma lemahnya yang mengakar pada akhirnya mulai
menunjukkan eksistensinya di dunia perpolitikan, di dunia pemerintahan. Selain
Megawati, kita tentu mengenal Tri Rismaharini, Ratu Atut Chosiyah, Angelina
Sondakh, Khofifah Indar Parawansa, Sri Mulyani, Siti Fadilla Supari dsb.
Perempuan-perempuan yang pernah menduduki kursi pemerintahan, dan mencicipi
gurihnya dunia politik. Meski diantara para wanita yang saya sebutkan, ada yang
memberikan catatan hitam. Tak masalah, justru inilah kenyataan perpolitikan
Indonesia dan peran perempuan. Tak selamanya perempuan-perempuan itu lembut,
sabar dan pengertian. Ada pula perempuan yang keras, tegas dan beringas. Tak
selamanya perempuan bertahan hidup dalam kebaikan dan kesederhanaan, tak
sedikit pula mereka yang begitu mencintai uang dan kekuasaan.
Perempuan memang untuk dimengerti, perempuan juga untuk dilindungi. Tapi menjadi perempuan yang tak hanya menjadi ibu dan istri bagi keluarganya, tapi juga ibu bagi masyarakatnya, tentu lebih memberi arti, daripada perempuan yang merutuki harga-harga yang terus melambung tinggi. Berbuatlah!
Rizza Nasir
Homy, 21 Juni 2014
Tidak ada komentar:
Posting Komentar