Senin, 30 Juni 2014

Sriatun



Aku masih menekuri paragraf demi paragraf naskah buku yang sejak sebulan ini menyita waktuku. Sebenarnya sudah selesai kuedit, hanya aku ingin memastikan saja, tidak ada kesalahan lagi sebelum lusa kuserahkan pada penulisnya. Seorang guru yang dulu menjadi pembimbing lapangan penelitian skripsiku. Membaca kembali naskah itu mengingatkan aku tentang murid-murid di SDN Sumbersari 1. Murid-murid ABK yang selalu memberi kejutan setiap harinya, juga murid-murid reguler yang ramah. Senyum mereka, candaan mereka padaku. Anak-anak yang menyambut kedatanganku dengan berlari, anak-anak yang bercerita tentang masakan ibunya tiap pagi. Apa kabar sayang, Bu Rizza kangen.


Bayangan-bayangan anak-anak itu terus menggelayuti pikiranku, sampai akhirnya ada hal lain yang lebih penting dari sekedar bayangin masa lalu itu yang ingin kuceritakan pada kalian. Cerita tentang Sriatun. Namanya cukup satu kata Sriatun, nama khas wanita jawa ndeso. Aku mengenalnya, sesaat setelah pintu rumahku kubuka. Dia datang ke rumahku


"Assalamualaikum Mbak, wonten nopo?"  Dia tak menyahut, hanya menatapku lekat dan tersenyum. Lalu dia menyodorkan sebuah kertas padaku. Kuterima kertas itu, dia kemudian memegang tanganku. Ada apa dengan perempuan ini? Kenapa dia aneh sekali. Dia menggerakkan tangannya ke dada lalu menunjuk ke dalam rumah. Oh... rupanya aku terlalu kaget menerima kedatangannya hingga lupa mempersilahkan dia masuk.



Dia duduk, sejurus kemudian menggerakkan tangannya, pertemuan antara telapak dan telapak, lalu jempol ia arahkan pada kertas itu. Tahulah aku kalau dia sedang membutuhkan tanda tanda tangan. "Ibu taksih medal Mbak, dipun rantos nopo ditilar? tapi insyaallah sekedap malih wangsul" Lalu dengan isyarat tangannya dia memberitahukan kalau dia memutuskan untuk menunggu saja. Apa yang harus kulakukan denganya sambil menunggu ibu? Tak mungkin aku meninggalkannya sendirian di ruang tamu untuk melanjutkan pekerjaanku, tapi jika menemaninya, aku tak tahu harus bicara apa? harus bertanya apa? Sementara aku sama sekali tak bisa bahasa isyarat selain 'saya' 'kamu' dan 'tidur'


Hening. Dia diam, aku pun diam. Kuamati perempuan ini, dia begitu ayu, meski tanpa make up. Meski gurat-gurat keriput sudah mulai terlihat. Usianya mungkin empat puluhan. Aku percaya, perempuan ini, mudanya adalah perempuan ayu, kalem dan sopan. Sayangnya, tuna wicara, bisu. Tuhan, kau ciptakan dia begitu ayu, tapi Kau jadikan dia bisu. Kenapa kau gemar mengurangi yang seharusnya terjadi pada manusia? Seharusnya dia bisa bicara, seharusnya dia bisa mengajakku bercerita sambil menunggu ibu datang, tapi Kau memang yang memiliki kecantikan dan kebisuannya Tuhan, sebagai Tuhan Kau lebih tahu yang terbaik untuknya, untukku dan gadis lainnya.


Aku ingin bertanya "rumahmu dimana?", "sedang mengurus surat kelakuan baik ya, untuk apa?, "bisakah kamu mengajariku bahasa isyarat?, sejak dulu aku ingin bisa menguasainya, agar aku bisa berkomunikasi dengan baik dengan orang sepertimu" Banyak yang ingin aku tanyakan dan ungkapkan, tapi aku tak tahu, bagaimana gerakan tangan yang pas untuk mengutarakannya. Akhirnya aku hanya bisa berlalu ke meja makan, mengambil potongan kue dan meletakkan di meja ruang tamu, kusodorkan jempolku, sebagai ucapan "Silahkan dinikmati!" seperti yang sering ibuku lakukan jika ada tamu. Selebihnya, aku hanya berdoa, semoga ibu cepat datang, dan keheningan ini segera hilang. Dia tentu bosan diam denganku dan ingin segera bertemu ibu lalu pulang.


Tak lama kemudian ibuku datang, melihat tamu ada bersamaku, ibu langsung menyalaminya dan aku mengambilkan surat yang perempuan itu berikan padaku tadi. Ibu membaca sekilas lalu membubuhkan tanda tangan di atas namanya. "Dewean Mbak Sri?" Perempuan itu mengangguk dan tersenyum lagi, "Ati-ati lek sepedahan" ibuku mengangsur surat itu padanya dan perempuan yang bernama Sri itu pamit pulang, aku kembali menyalaminya. Mbak Sri, aku ingin tahu banyak tentang dirimu.

"Namanya sama ya Bu, nama ibu pasaran ternyata, itu warung sebelah sana namanya Sri, perempuan tadi namanya Sri, yang nganterin sayur kemarin juga Sri, banyak banget ya di dunia ini nama Sri, weekk" aku menggoda ibuku, nama ibuku Sri Utami, panggilannya Sri, sama kan?

"Kasihan Sri itu Nduk!"

"Kenapa?'

"Dia itu punya anak, 4 anaknya, tapi bapaknya beda-beda"

"Maksud ibu, dia suka kawin cerai begitu?' Wanita sepolos dia kawin cerai? Oh... ini desaku, bukan kota, dia wanita biasa bukan artis yang banyak gaya di media. Ternyata kawin cerai tak hanya milik artis saja ya.

"Bukan, jangankan kawin cerai, dia tak pernah dinikahi siapapun"

"Apa? Jadi dia diperkosa?, "Siapa yang memperkosa Bu?"

"Mana ibu tahu, keluarganya juga tak pernah tahu siapa yang menghamili anaknya. Sri itu diperkosa di sawah, di bawah pohon dan nggak tahulah dimana lagi, yang ibu tahu, dia tak pernah menikah, tapi anaknya sudah 4"

"Diperkosa, laki-laki yang berbeda"

"Sepertinya sih begitu. Ibunya Sri yang menceritakannya, tetangga dekatnya juga mengatakan hal yang sama. Sriatun diperkosa lelaki yang tak sama, sampai 4 kali"

"Ya Rabb, kenapa tidak ada yang berusaha mencari tahu siapa lelaki itu Bu, 4 kali lho Bu, 4 lelaki! Duh"

"Sudah, sejak dulu, begitu tahu Sri hamil keluarganya selalu mencari tahu. Sri kan bisu, jadi tak bisa ditanyai siapa lelaki itu"

"Kenapa tidak ditulis saja, dia pasti tahu nama lelaki itu, atau paling tidak dia pasti pernah bertemu, tahu rumahnya dimana dan bagaimana ciri-ciri fisiknya. Kalau memperkosanya di sawah, di bawah pohon, pasti pelakunya tak jauh-jauh. Kalau tidak pendduk desa ini ya desa sebelah" aku terus memburu

"Sri tidak bisa menulis! Dia tidak pernah sekolah, kata orang-orang dia pernah sekolah tapi diejek teman-temannya,guru juga merasa tak mampu  mengajar dia yang tuna wicara, akhirnya Sri berhenti sekolah, sebelum dia sempat mengeja ABC"

"Lengkap sudah, Kasihan sekali Mbak Sri ya Bu, kenapa lelaki-lelaki itu tega memperkosa dia. Apa karena dia yang tak bisa bicara, hingga tak ada kemungkinan untuk melapor pada siapa-siapa?"

"Sudahlah, mungkin sudah jalan hidup Sriatun seperti itu, sekarang anaknya sudah besar-besar, yang pertama sudah kelas 6 SD. Lelaki-lelaki yang memperkosanya memang biadab! Tapi Gusti Allah ora sare! Wes ayo segera tidur! "


Ibuku menarik selimutnya dan aku pergi ke ke kamarku. Sepertinya, Mbak Sri juga menguntit di alam pikiranku. Inilah kenyataan hidup seorang wanita polos bernama Sriatun, memiliki 4 anak dari hasil 4 kali diperkosa oleh lelaki yang berbeda. Aku tidak bisa membayangkan bagaimana remuk hatinya, perasaannya, saat kesuciannya dijajah lelaki-lelaki itu. Dipaksa memenuhi nafsu birahi yang memuncak oleh lelaki yang boleh jadi asing atau bahkan dikenalnya. Lelaki yang sama sekali tak terikat pernikahan dengannya. Di tempat-tempat yang seadanya, sekenanya. Sawah, bawah pohon. Oh...


Saat ia hamil, sudah pasti masyarakat sekitarnya menggunjingnya, teman-teman sebayanya mengacuhkannya. Menangis setiap malam sambil mengelus-ngelus perutnya yang kian menua bulannya. Belum lagi ia harus berjuang melahirkan janin itu sendirian, tanpa lelaki bernama suami, tanpa lelaki yang menanam sperma di rahim sucinya. Bisakah kalian membayangkan jika kejadian menyakitkan ini berulang, hingga 4 kali? Empat, sebuah hitungan yang lebih banyak dari calon presiden sekarang ini, tapi lebih sedikit dari butiran Pancasila. Empat kali dinodai, empat kali melahirkan dan seumur hidup menghidupi anak-anak itu sendirian. Ini lebih berat dari pertarungan memenangkan tahta kepresidenan.


Aku memang gregetan dengan lelaki model begitu. Biadab, terlaknat! Aku juga sangat kasihan pada Mbak Sri, sebagai perempuan, aku tak bisa membayangkan bagaimana hancur kepercayaan dirinya, berkeping-keping hatinya menerima kenyataan hidup tak lagi perawan karena perkosaan, aku hanya berandai satu hal : Andai Mbak Sriatun sekolah, andai Mbak Sriatun bisa membaca!


Ya, andai Mbak Sriatun sekolah, minimal SMP atau SMA, dia pasti mendapatkan kepercayaan diri berlebih, dia banyak teman dan banyak pengalaman. Andai Mbak Sriatun sekolah, dia tak akan mudah dibujuk, dirayu atau diajak ke tempat yang mencurigakan oleh orang yang tak dikenal. Andai Mbak Sriatun sekolah, dia akan belajar bagaimana mengungkapkan kata dengan bahasa isyarat yang benar. Dia bisa menolak, dia bisa meronta dan dia bisa mengajarkan isyarat itu pada keluarga dan orang-orang di sekitarnya, sehingga mereka bisa mengerti. Andai Mbak Sriatun sekolah, dia pasti bisa membaca dan menulis, hingga ia bisa menuliskan siapa lelaki yang memperkosanya, dimana rumahnya, bagaimana ciri-cirinya dan andai Mbak Sriatun sekolah, dia tidak akan direndahkan, dia akan dihormati, meski ia mempunyai kekurangan

Aku mengerti, agaknya perempuan tidak sekolah, bodoh, polos apalagi yang memiliki kekurangan baik fisik maupun mental akan tidak begitu dianggap di lingkungannya. Orang sekitar cenderung menganggapnya tidak bisa apa-apa, tidak berguna. Orang seperti ini bisa dimanfaatkan untuk hal-hal remeh temeh, karena ia pasti nurut, manut dan jadi pengikut. Seperti Mbak Sriatun dengan takdirnya kini.


Memang,  tak semua orang punya hati kuat yang siap menerima cemohoaan teman-teman di sekolah. Tak sedikit yang akhirnya putus sekolah, hanya karena tak tahan dengan perlakuan teman-temannya atau guru yang merasa tak mampu mendidiknya dengan hambatan yang dialaminya, tapi disadari atau tidak lembaga pendidikan itu pulalah yang bisa memutar balikkan rasa minder menjadi percaya diri. Stigma tak bisa apa-apa menjadi memiliki kemampuan atau keahlian. Seiring berkembangnya kesadaran akan dunia pendidikan dan kebutuhan anak, selain ada sekolah formal, juga ada homeschooling, Sekolah Luar Biasa dan Sekolah Inklusi. Semua ini demi pendidikan yang bisa dinikmati semua orang tanpa terkecuali.


Mbalk Sriatun memang bukan gadis tunawicara yang pede masuk sekolah pada masanya, ia telah menikmati getir hidup dengan pemerkosaan yang dialaminya. Dia juga lahir dari keluarga miskin, yang barangkali untuk makan saja masih harus berhutang, apalagi untuk pendidikan. Lebih baik matun, tandur di sawah dari pada sekolah, tapi itu terjadi empat puluh tahun lalu saat dia kecil. Paradigma orang sekarang sudah jauh berubah, pendidikan adalah segalanya. Mengusahakan apa saja demi bisa melihat anaknya berseragam dan mengenyam pendidikan. Sekolah hari ini, bukan lagi milik orang kaya, seloroh "Orang miskin dilarang sekolah" yang pernah ada kini tak berlaku. Sekoalah hari ini bukan perkara miskin atau kaya, tapi mau atau tidak mau. Karena banyak juga yang kaya, mampu secara fisik dan mental untuk melanjutkan dan menyelsaikan sekolahnya tapi tidak mau.


Akhirnya, sebelum kumatikan lampu kamarku dan kuucapkan doa sebelum tidur malam ini. aku ingin menuliskan harapanku pada seluruh orang tua, terutama orang tua dari anak-anak berkebutuhan khusus, bahwa anak-anak mereka adalah anak istimewa. Mereka berhak sekolah, berhak punya teman dan impian. Mereka tentu tak pernah ingin diciptakan memiliki kekurangan, namun ketika kekurangan itu adalah bagian dari keistimewaan dan pemberian Tuhan, sebagai manusia kita hanya harus mengupayakan agar ia bisa mandiri dan menjalani hidupnya sendiri. Karena sejatinya, setiap orang tua akan mati, dan anak akan tumbuh menjadi orang tua baru suatu hari nanti. Jika mereka berilmu, tak akan ada yang meremehkannya, jika dia berilmu, dunia akan bangga padanya.

Mbak Sriatun, yang sedang tidur disamping putra-putrinya. Semoga mimpi indah ya, Barakallah


Homy, 23 Juni 2014

Rizza Nasir









Tidak ada komentar:

Posting Komentar