Selasa, 14 Januari 2014

Muludan, Berkatan dan Jenang Abang

Saya melihat di kalender, ternyata hari ini tanggal merah. Sejak tidak ada lagi jadwal kuliah, saya sering lupa tentang hari, tanggal dan moment apa yang terjadi. Saya hanya ingat hari ini Maulid nabi. Saya teringat dulu saat saya masih SD, hari maulid nabi seperti ini adalah hari yang sangat menyenangkan. Kenapa? Karena di hari ini saya tak memakai baju seragam sekolah.

Ya, jujur saya bosan dengan seragam merah putih juga seragam lainnya, yang harus saya pakai, makanya setiap moment seperti ini saya senang karena saya bisa memakai baju bebas. Busana muslim, begitu ibu saya memberitahu, setelan baju atasan dan bawahan panjang plus jilbabnya yang satu setel. Ya, seperti anak-anak jaman sekarang.

Di hari maulid seperti ini, kami akan mengadakan sholawat bersama di lapangan sekolah, lalu mendengarkan tauziah guru agama tentang maulid nabi. Shiroh nabawiyah, karena tauziah beliaulah saya tahu sejarah nabi, bahkan hapal di luar kepala karena setiap tahun yang dibicarakan selalu sama.

Setelah selesai bertauziah, kami bersalam-salaman kemudian berlari masuk ke kelas dan membuka berkat. Berkat itu adalah sebutan untuk makanan yang kami bawa dari rumah. Biasanya ibu tidak hanya membawakan satu berkat untuk saya tapi dua. Satu untuk saya, satu untuk wali kelas. Ada beberapa murid yang ibunya berlaku seperti ibu saya. Bisa dibayangkan betapa pebuhnya meja guru dengan berkat dari kami.




Lauk yang kami bawa tentu macam-macam, ada yang hanya nasi dengan krupuk, ada yang lauk indomie, telur dadar sampai paha ayam. Biasanya teman-teman selalu mider. Melihat lauk apa yang kami bawa. “Lawuhmu opo Mbak Rizza?” Biasanya teman-teman bertanya begitu. Saya sodorkan saja kardus makan saya. Biarkan dia melihat sendiri, kadang-kadang mereka ngincipi. Biasanya yang seperti ini anak laki-laki. Saya tak peduli dengan lauk yang dimasak ibu hari itu untuk saya, saya juga tak pernah iri dengan lauk teman-teman saya. Saya hanya senang bisa makan bersama-sama seperti itu.

Malam harinya, sehabis maghrib ada ritual sama di madrasah diniyah. Kami menyebutnya sekolah madrasah. Entahlah, semua orang menyebutnya begitu, saya ngikut saja. Belakangan saya tahu kalau madrasah adalah bahasa arab dari sekolah. Di sekolah madrasah ini saya juga membawa berkat. Sistemnya berbeda dengan SD tadi pagi. Jika di SD berkat itu dimakan sendiri, tapi di sekolah madrasah, berkat itu dikumpulkan di satu meja besar. Setelah itu kami anak-anak desa membaca shalawat bersama. Sebelum acara diakhiri kami dipanggil satu persatu untuk menerima berkat yang dibagikan secara acak. Kami menyebutnya ijol-ijolan berkat.

Setelah semuanya menerima berkat kami berdoa bersama Allahumma bariklana fimaa rozatana wa kinaa adzban naar. Tentu saja saya berdebar-debar, kira-kira lauk apa ya yang akan saya makan malam ini? Karena sistemnya ijol-ijolan maka tidak ada yang mendapatkan berkatnya sendiri. Kami akan saling melihat berkat satu sama lain. “Hei Cah, aku entuk iwak pitik haha” Ya, bagi kami anak desa yang sebagian besar anak wong tani, makan dengan lauk ayam adalah kebahagian luar biasa. Jika sudah begini kami akan makan berkelompok, menyatukan semua lauk dan kembulan (makan bersama-sama). Semua makan iwak pitik meski secuil-cuil. Alhamdulillah.

Hari ini saya teringat semua itu, entah kenapa saya merasa sangat merindukan masa kecil yang ceria itu. Kebersamaan maulid nabi yang masih membekas hingga kini. Semalam pun saat masjid-masjid di sekitar bershalawat saya juga kangen malam maulid di rumah. Pasti akan ada berkatan di masjid. Ibu saya akan membuat jenang sengkala. Apa itu jenang sengkala? Jenang yang dibuat dari beras ketan, dua warna putih dan satu lagi berwarna coklat karena diberi gula aren. Biasanya juga disebut jenang abang.

Saya suka sekali jenang abang, tapi karena maulid tahun ini saya masih di Malang tentu saya tak bisa merasakan jenang abang buatan ibu, memakannya bersama-sama di masjid. Mau buat sendiri di kontrakan, tapi hanya ada sedikit orang, takut tidak habis. Besok saja, jika semuanya sudah kembali saya ingin mencoba buat jenang abang sendiri. Tak apalah meski saya kangen maulidan di kampung. Saya bisa mengobatinya dengan bershalawat dan menulis tulisan ini.

Maulid nabi di Indonesia, sampai hari ini masih mengundang kontroversi, mubah atau bid’ah? Menurut saya, jika kita terus mendebat masalah ini tentu kita akan lupa bershalawat pada Nabi. Esensinya adalah shalawat dan berdzikir pada Allah, tentang kebudayaan yang menyertai, saya tak terlalu mempermasalahkannya. Setidaknya budaya berkatan untuk anak sekolah, telah mengajarkan anak mengenal dan mencintai Rasulullah sejak dini. Mengajarkan anak tentang kebersamaan dan berbagi. Semua itu masih membekas di benak saya hingga kini.

Rizza Nasir


1 komentar:

  1. Makin sukses untuk websitenya, kami akan selalu mengikuti dan hadir sebagai sahabat yang baik. Terimakasih banyak, pak/bu

    BalasHapus