Minggu, 26 Januari 2014

A Little Thing Called Love




Selesai sholat Shubuh hari ini, entah kenapa aku ingin kembali membuka buku diaryku. Diary yang kuletakkan rapi di rak buku, mungkin sudah seminggu dia teronggok disitu. Tumpukan buku diktat dan rekaman penelitian menyita hariku akhir-akhir ini. Seperti biasanya. Aku menulis untuknya. Hubby. Kamu bisa cari di blog ini tentang Hubby kalo kamu penasaran dengan dia.

Tapi bukan itu yang ingin aku tulis pagi ini. Aku hanya teringat tentang sebuah pertanyaan, “Rizza, pernahkah jatuh cinta?”, entahlah dia itu penanya nomer berapa. Jari tanganku sudah tak cukup menghitungnya. Mungkin mereka penasaran. Pernahkah gadis seperti aku ini jatuh cinta?

Seperti sebelumnya, seperti yang sudah-sudah. Aku menjawab begini “Belum” . Dan seperti yang sudah-sudah juga pasti yang menanyaiku itu bilang begini. “Ha? Belum? Masak? Atau begini “Alah jangan bohong kamu, sebenarnya kamu sudah jatuh cinta, kamu nggak nyadar aja”  ada juga yang begini “kalau cinta bilang aja, nggak usah malu”  parahnya ada yang menohok bilang “kamu lesbi ya Za?” dan penanya terakhir bilang begini “kamu memang gadis yang kuat, tapi itu beda tipis sama beku” . Entahlah, besok jika ada penanya lagi, mereka akan jawab apa setelah aku katakan “Belum”



Aku juga nggak tahu, kenapa aku begini. Kenapa aku belum jatuh cinta. Apa karena aku sibuk dengan urusanku, atau karena aku tak pernah peduli dengan lelaki? Ah, kurasa tidak! Teman lelaki banyak. Di kelas, di organisasi-organisasi yang kuikuti. Semuanya ada makhluk bernama lelaki. Tapi sejauh ini, aku hanya menganggap mereka partnerku, mereka teman diskusi, mereka teman berbagi. Bahkan aku pernah menulis begini di diaryku. Hari ini usiaku 21 tahun. Mimpi terdekatku sederhana. Aku ingin jatuh cinta.  Mimpi yang cukup aneh bukan?

Aku ini terlahir sebagai perempuan. Aku perempuan seutuhnya. Aku punya ketertarikan juga pada lelaki. Aku juga ingin menikah, menjadi seorang istri dari suami sholeh dan sabar. Bahkan aku sangat ingin menjadi ibu. Bagiku, dunia anak-anak itu menakjubkan. Dan menjadi ibu itu sebuah kehormatan. Hanya saja, kenapa hingga usia ini aku tak pernah jatuh cinta? Kenapa?

Jujur, kadang aku iri dengan teman-temanku. Mereka yang punya pacar. Kalau kuliah mereka dijemput, kalau mau kemana-mana tinggal sms terus dianterin. Kalau malem Minggu, semua teman kontrakanku pergi, entah kemana. Sementara aku berteman laptop dan buku-buku. Kalau sudah capek membaca, ya menulis, kalau sudah capek menulis, ya tidur. Bagi pemuda-pemudi seusiaku mungkin malam Mingguku model begitu mengenaskan ya?

Dengan aku yang terlahir berbeda, kadang aku  juga iri dengan teman-temanku yang berbeda juga, tapi mereka punya sosok yang menguatkan. Yang selalu ada disaat dia butuh bantuan atau tumpahan keluahan. Ya semacam, Asou Kun dan Iekuchi Aya di Film One Litre of Tears dan film-film lain yang tokohnya perempuan yang punya kekurangan fisik, pasti tokoh lainnya ada sosok lelaki yang menguatkan dia. Aku?

Aku sudah mendidik hatiku untuk tidak iri, tapi aku manusia biasa, kadang rasa iri itu muncul lagi. Kemudia aku berpikir, Untuk apa itu semua? Untuk apa? Apakah harus pacaran? Nggak harus kan? Lagipula, aku sangat paham, bahwa terlalu dekat dengan lelaki yang bukan siapa-siapa kita itu tak diperbolehkan Al-Qur’an. Iya kan? Kemudian hatiku berkata Mereka kan hanya pacaran, belum menikah. Kalau mereka sudah menikah, kamu baru boleh iri Za

Tentang motivator, diriku juga berkata pada begini Kalau kamu bisa memotivasi diri kamu sendiri, lalu buat apa kamu pengen punya sosok motivator seperti dia? Pengen kayak film korea? Iya?
Bahkan kamu bisa memotivasi orang lain. Bukankah kamu punya banyak teman perempuan? Curhat saja sama dia, lebih nyaman, lebih terbuka. Nggak harus lelaki kan?Lagipula, mengeluh pada manusia itu juga tidak baik kan? Aku tahu kamu gadis yang kuat. Mengeluhlah pada Allah.

Itu kata hatiku, entahlah kenapa hati ini sering sekali ‘berbincang’ denganku. Setidaknya dengan itu, aku tenang, aku tak lagi galau dan aku kembali fokus dengan diriku, kemampuan berjalanku yang harus terus kuperbaiki, kuliahku, skripsiku, adik-adikku di organisasi. Teman-temanku. Mereka butuh aku, mereka butuh aku yang selalu ada untuk membantu, atau kupingku untuk mendengar cerita mereka. Aku bersyukur, semua orang menganggapku ada dengan memmanfaatkan kemampuanku. Ya, meski aku hanya bisa membantu sebisaku.

Aku yakin di dunia ini, masih banyak hal yang harus diselesaikan, yamg harus dihadapi dengan pemikiran yang bijak dan matang. Tak melulu soal cinta dan perasaan. Aku pernah nonton film judulnya Little Thing Called Love. Bukankah Love itu hanya little thing? Jadi tak perlu dibesar-besarkan. Tak perlu dipermasalahkan atau diperdebatkan. Masih banyak isu-isu sosial, pendidikan dan politik yang menarik untuk jadi bahan diskusi atau perdebatan. Aku rasa itu lebih menarik dan substansial dari pada a little thing called love kan?


Bukankannya aku tak ingin jatuh cinta, aku sangat ingin. Hanya saja, aku tahu bagaimana dan siapa diriku. Bukan rendah diri, aku hanya tahu diri. Biarkan nanti seseorang yang memilihku, yang mencintaiku dan menikahiku. Memilihku bukan karena kasihan. Memilihku karena dia benar-benar merasa mantap kalau akulah gadis yang tepat untuk jadi istrinya dan ibu dari anak-anaknya. Aku hanya ingin menjaga hatiku ini untuknya. Aku tak pernah menutupnya. Hanya saja, sampai aku menuliskan ini, belum ada yang mengucap salam untuk memasukinya.


Ya, selama ini aku memaknai cinta dengan menikah atau pernikahn. Bukan pacaran, TTM, kakak-adik, atau semacamnya. Jadi aku rasa wajar kalau aku tak pernah jatuh cinta. Bukankah menikah itu cuma sekali? Jadi wajar kan kalau jatuh cintaku hanya sekali? Nanti. Semoga tulisan ini bisa menjawab semua tanya itu. Kalaupun aku harus jatuh cinta sekarang, aku jatuh pada Hubby

RIZZA NASIR

Ini tentang Hubby






Tidak ada komentar:

Posting Komentar