Sabtu, 02 Mei 2015

IRONI KONGSI TKI MALAYSIA

Bulan Februari tahun lalu, saya mendapatkan kesempatan praktek mengajar di Malaysia, di salah satu SD Internasional di daerah Kuala Lumpur, saya bersyukur sekali atas kesempatan dari kampus saya ini dan saya menikmatinya. Disela-sela kegiatan mengajar, saya pernah diajak oleh salah satu warga Indonesia yang telah lama tinggal disana untuk mengunjungi Kongsi TKI. Kongsi adalah bahasa melayu untuk perkumpulan atau organisasi. Disinilah perjalanan pertama saya mengenal buruh migran lebih dekat untuk pertama kalinya.

Pukul delapan malam, saya dalam perjalanan menuju kongsi TKI. Dalam hati saya penasaran sekali, seperti apa kongsi TKI itu? Bagaimana keadaan mereka? Saudara jauh saya, kabarnya juga ada yang jadi TKI di Malaysia, apakah dia juga ada disana? Ada banyak pertanyaan yang ingin saya temukan jawabannya malam itu.

Tiba di sebuah daerah yang sepi, tiba-tiba mobil kami dihentikan seseorang sebelum berbelok ke tempat tujuan. Ada seorang berseragam, seperti satpam jika di Indonesia, setelah bernegosiasi dengan bahasa melayu, mobil kami diizinkan masuk. Sebelumnya saya membayangkan bahwa kongsi TKI semacam asrama, yang di dalamnya ada banyak tempat tidur bertingkat lalu ada sebuah ruang pertemuan tempat berlangsungnya acara malam ini, tetapi bayangan saya jauh dari kenyataan.

Mobil berjalan pelan, memasuki sebuah tempat yang mencekam, gelap. Ada banyak drum gamping, kayu-kayu, semen, batako dan bangunan menjulang tinggi yang belum jadi. Mobil terus masuk ke dalam bangunan, berbelok-belok, sopir rupanya sudah hapal seluk beluk bangunan ini. Jalanan menanjak naik dan berputar, sampai akhirnya kami turun, tepat di sebuah titik cahaya, yang makin lama makin berpendar, yang sebelumnya mencekam seperti tak ada kehidupan makin lama makin ramai.


Saya berjalan lurus ke dalam, inikah kongsi TKI itu? Ada bilik-bilik kecil, dari triplek, masing-masing bilik ada dapurnya, beberapa perempuan tampak bercengkrama dengan pasangannya. Begitu melihat saya dan teman-teman mereka menyalami dan menyuruh kami terus berjalan ke dalam. Dalam? Dalam yang mana? Batin saya. Sungguh ini serupa perkampungan, ada banyak kamar-kamar buatan dari triplek, dari kardus, dari apa sajalah yang bisa dijadikan sekat dan bisa disebut “kamar”

Di sudut-sudutnya ada semacam jemuran panjang. Ada baju-baju tersampir disana, celana jins, daster, sarung dan banyak lagi. Kami terus berjalan mengikuti petunjuk dan mata saya, tak berhenti menelisik setiap jengkal “kampung” ini.

Ternyata malam itu adalah pengajian dan reunian dari Ikatan TKI Madura Malaysia. Kami dipersilahkan duduk, di sebuah lincak yang lebar. Sementara di depan kami ada tiga ratusan laki-laki. Ada yang sudah bapak-bapak lima puluh tahunan, ada pula remaja tanggung. Perempuan-perempuannya dengan ramah memberikan kami hidangan. Sepaket kue lengkap dengan buah dan minuman kemasan. Sebagai mahasiswa kost saya senang, apalagi saya sangat lapar, tapi rasanya saya tak tega memakan makanan itu.

Bukan, bukan saya pilih-pilih. Tapi saya teringat kalau mereka ini TKI, mereka ini sedang bekerja untuk keluarganya di Indonesia. Rasanya tak tega makan dari keringat mereka. Sungguh!

“Ayo, nak dicuba kuenya cik” saya hanya tersenyum dan mengangguk. Ya, bahkan mereka sudah terbiasa dengan bahasa dan logat negara tetangga. Saya belum ingin makan apapun sekarang,  akhirnya saya memilih untuk kepo, bertanya apa saja pada mereka.

Ternyata, memang seperti itulah kehidupan sebagian besar TKI di Malaysia. Hidup di kongsi sebuah proyek pembangunan. Jika sedang menyempurnakan lantai satu, maka mereka tinggal di lantai dua, begitu seterusnya, sampai akhirnya bangunan itu benar-benar siap pakai. Untuk itulah mereka membuat kamar-kamar sederhana, karena mereka tinggal di lantai ini hanya sementara. Jika proyek bangunan itu sudah rampung, mereka akan diangkut ke proyek lainnya.

Tak ada bedanya laki- laki dan perempuan, semua sama dalam hal pekerjaan. Perempuan juga bisa angkat semen, batu dan genteng. Disini, gaji ditentukan berdasarkan hari kerja. Dalam sehari mereka di ganjar 100 RM atau setara dengan 350.000. Sebuah bayaran yang cukup tinggi jika dibanding menjadi buruh di Indonesia, begitu kata mereka.

Tapi apakah mereka bahagia dengan uang itu? Ternyata tidak juga! Meski saat berbicara dengan saya ada yang memegang kamera DSLR, handphone canggih keluaran terbaru tetapi perasaan mereka tak se-charming barang-barang itu. Ada seorang perempuan, saya lupa namanya, sampai berkaca-kaca bercerita pada saya bahwa ia merindukan anak-anaknya. Dua anaknya ia titipkan orang tuanya. Sementara dia hanya pulang dua tahun sekali. Ada pula yang ditinggal suaminya kawin lagi. Menyedihkan! Ternyata, uang tak dapat menggantikan kebersamaan.

Di kongsi seperti ini, banyak sekali TKI illegal. Tidak punya paspor dan data diri. Mereka hanya ikut saudara saat ada saudaranya yang pulang kampung. Karena jenis TKI semacam ini tak terhitung jumlahnya, maka bos mereka membuat peraturan, tak boleh ada TKI yang keluar dari proyek itu, untuk menghindari polisi, karena jika sampai TKI illegal tertangkap, maka bos proyek itulah yang bertanggung jawab, karena tak mau mengambil resiko itulah mereka tak boleh keluar. Mereka hanya harus bekerja! Mereka kehilangan kebebasan sebagai manusia!

Di desa saya di Kabupaten Kediri Jawa Timur, hampir setiap rumah TKI bagus-bagus, keluarganya dibelikan hape, perhiasan, beli tanah dan masih banyak lagi. Di mata tetangga yang lain, enak sekali jadi TKI itu, pulang bisa kaya dan mensejahterakan keluarga. Tapi rupanya kami tak tahu jika jauh di negara tempat mereka bekerja, mungkin saja mereka hidup sangat sederhana seperti para TKI di kongsi yang saya kunjungi itu. Mereka memendam kerinduan, mereka kehilangan kebebasan, mereka pekerja kasar. Ironis!

Meski begitu, di dalam bangunan kumuh belum jadi itu, mereka sudah memiliki kampung buatan mereka sendiri. Ada mushola tempat mereka sholat setiap hari. Ada kamar-kamar yang selayaknya tetangga sendiri dan ada makanan tiap pagi dan petang. Tivi lawas dan kipas angin juga ada. Lengkap! Mereka tak kurang apapun, mereka hanya kurang satu hal : cinta keluarga!

Saya lalu teringat teman SD saya yang ditinggal ibunya kerja di Arab selama 5 tahun. Ia tak pernah ganti seragam tiap tahun, seragamnya hanya ganti dua kali selama sekolah. Ia tak pernah ditemani ibunya saat mengambil raport, nilainya selalu jelek dan ia kurus sekali. Bapaknya memang menyayanginya, tapi bisakah kasih bapak menyempurnakan kasih ibu?

Saya juga teringat, kakak sepupu  saya yang menangis sesenggukan di ujung telepon, setelah dikabari bapaknya meninggal. Saat itu dia baru setahun menjadi TKI di Hongkong, dan karenanya ia tak bisa pulang melihat bapaknya untuk terakhir kalinya. Ia pernah mengatakan pada saya, seandainya ia tak memaksa jadi TKI mungkin ia bisa memiliki lebih banyak waktu bersama bapaknya, tetapi siapa yang bisa mengulang waktu?

Saya menuliskan kisah ini agar Mbak Melanie Subono dan teman-teman tahu cerita ini, sejujurnya saya berharap, meski TKI adalah pahlawan devisa, kelak Indonesia bisa mendapatkan devisa lebih banyak bukan dari TKI tapi dari sumber yang lain, kelak tak ada lagi ibu yang harus terpisah dari putrinya karena bekerja di negara tetangga, tak ada lagi anak yang di tinggal luar negeri tak bisa pulang menengok orang tuanya karena kepulangan mereka ditentukan kontrak kerja.

Semoga ini bukan harapan konyol, menurut saya, akan sangat membahagiakan jika semua ibu bisa menghabiskan waktunya bersama anak tercinta dan semua ayah bisa bekerja dengan tenang dan bisa menemui keluarganya kapan saja. Sangat membahagiakan bagi negara ini jika rakyatnya keluar negeri bukan sebagai buruh migran, tapi sebagai tenaga ahli. Bukan sebagai pekerja kasar tapi sebagai seseorang yang bersenang-senang menghabiskan waktu liburan.

Memang, bayaran sebagai TKI lebih besar dibandingkan dengan menjadi buruh di sebuah pabrik pinggiran kota. Tapi mindset inilah yang harus kita rubah untuk Indonesia ke depan yang lebih baik dan bahagia. Bahwa hidup tak melulu mencari uang dalam jumlah besar di negara lain, melainkan mendayagunakan kemampuan diri agar bisa bekerja, membuka lapangan pekerjaan yang dapat memberikan kita penghidupan, sekaligus tak kehilangan waktu dengan keluarganya. Dalam era pasar bebas ini rasanya pola pikir mencari uang harus di rubah ke dalam menciptakan lapangan kerja untuk hidup dan menghidupi. Ya, saya tahu gagasan ini terkesan muluk dan  sulit, tapi semua mungkin, bukan?

Jika Tuhan merestui saya ingin membantu Indonesia melalui pendidikan. Perempuan-perempuan Indonesia harus terdidik, lelaki Indonesia harus terdidik. Melalui pendidikan tinggi, kita tak akan dianggap rendah oleh negara lain. Kita juga bisa membuka usaha-usaha baru yang memungkinkan banyak orang terserap di dalamnya. Sehingga tak akan ada lagi ibu yang harus terpisah dari anaknya. Hopefully!
Saya dan teman-teman berfoto dengan Mbak-Mbak TKI sebelum pulang

Saya pulang dari kongsi itu lewat dini hari, saya ikut nelongso mendengar cerita-cerita mereka. Setelah berfoto bersama, saya pamit pulang. Sebelum saya naik mobil ada seseorang TKI yang berteriak “Mbak, Salam untuk Indonesia ya!” Semakin lama, lambaian mereka semakin terlihat kecil. Ada tekad besar dalam diri saya.

(Tulisan Ini Diikutsertakan Lomba Blog Buruh Migrant Indonesia Bersama Melanie Subono)

2 komentar:

  1. website ini selalu mnenghangatkan saya dalam membuat artikel, terimakasih atas wawasan yang anda berikan cukup mudah di pahami. Terimakasih banyak,..

    BalasHapus
  2. Hai.. Sobat semua yg lg demen main judi togel, nih ada solusi yg tepat and akurat..
    Krna sy udah buktikan, kalau sobat mau tau info lebih lanjut Call aja Mbah Suro atau Eyang Suro di nmr 082354640471 di jamin deh brankas bandot pasti jebooll... Thanks sobaattt

    BalasHapus