Aku tidak mengerti
kenapa ayahku masih melarang aku untuk pergi, bukankah ayah bilang aku harus
menjadi gadis yang kuat? Ayah selalu bilang kalau aku harus bisa belajar dari
teman-temanku. Bagaimana aku bisa belajar kalau kesempatan saja tak ada? Bagaimana
aku bisa menjadi gadis yang kuat?
“Sudah, kamu di rumah
saja, jangan kemana-mana” aku mengangguk. Ingin rasanya aku berontak dari semua
peraturan ayah, kenapa aku tak boleh ini itu, kenapa aku hanya boleh di rumah
saja? Ibuku, ibuku tak jauh beda dengan ayah. Ibu tak pernah membolehkan aku
membantu di dapur. Takut aku terkena api, takut aku terluka atau takut aku
memecahkan piringnya. Kalau sudah begini, bagaimana aku belajar menjadi seorang
wanita?
Aku tahu mereka
menyayangiku, tapi bukan begini caranya. Aku bosan dengan ini semua. Aku ingin
duniaku yang dulu. Yang penuh dengan tawa teman-temanku. Sejak kecelakaan itu
menimpaku, aku kehilangan semua yang pernah kumiliki. Mataku, mataku tak bisa
melihat secara sempurna, pecahan kaca yang membutakan mata kiriku. Kakiku,
kakiku tak sekuat dulu, aku harus berjalan tertatih-tatih jika aku ingin
sesuatu. Aku ingin diriku yang dulu. Aku juga ingin kepercayaan dari kedua
orang tuaku.
***
Kawan, kisah itu adalah
kisah seseorang yang saya kenal melalui jejaring sosial. Karena kecelakaan yang
menimpanya ia kehilangan semuanya. Kehilangan teman, kehilangan keceriaan dan
kehilangan kepercayaan orang tua. Orang terdekatnya.
Memiliki fisik yang ‘berbeda’
dengan orang kebanyakan memang mengundang kasihan banyak orang. Karena kasihan
itulah, orang-orang selalu mengenakkan, memanjakan, membantu. Mereka tak ingin
ia semakin ‘susah’ dengan apa yang dilakukannya tapi tak bisa. Bantuan yang
diberikan memang melegakan tapi kadang melemahkan.
Siapa yang tidak
kasihan dengan orang-orang yang seperti itu? Saya atau kamu juga akan begitu,
itu tandanya kita masih punya simpati yang besar pada sesama. Jika kalian tahu,
rasa kasihan itulah yang menghancurkan mereka. Akhirnya, mereka nyaman dengan
dunianya, akhirnya mereka merasa ‘baik-baik saja’
Disadari atau tidak,
kasihan yang di berikan, akan menghilangkan kemandiriannya. Ia akan selalu
minta bantuan kepada orang lain karena ia merasa tak mampu. Padahal ia mampu,
tapi orang-orang sekitar terlanjur menjustis seperti itu. Saya hanya takut
ketika semua orang yang membantunya itu tiada, bagaimana ia bisa melanjutkan
hidupnya?
Ia juga akan kehilangan
kepercayaan. Kepercayaan diri dan kepercayaan sosial. Ia merasa mampu, tapi
orang lain tak mempercayainya. Orang lain menganggap ia terlalu mengada-ada.
Sebenarnya dia punya segaris kepercayaan diri, tapi jika lingkungan tidak
memberi kesempatan untuk membuktikannya, bagaimana ia bisa melakukan jika
kesempatan pun tak ada?
Dilema memang, jika
kita melihat yang seperti itu. Coba kita renungkan. Berapa lama kita akan
hidup? Berapa lama kita bisa membantunya dalam hidupnya? Jika tiba-tiba Tuhan
memanggil kita sedangkan ia tak pernah punya kesempatan untuk hidup tanpa
bantuan kita, itu sangat menyakitkan bukan?
Coba kita pahami, bahwa
ia manusia, kita juga manusia. Ia juga ingin tahu dunia luar, ia juga ingin
tahu dunia selain rumahnya. Bagaimana dia tahu, jika kita tak pernah memberi
kesempatan untuknya mencari tahu? Dia merasa nyaman dengan hidupnya, karena
kita yang selalu membantunya. Akibatnya dia tak mau berusaha, karena merasa
‘baik-baik saja’.
Kuatkan hati, kuatkan
diri. Munculkanlah rasa tega di hati kalian. Lepas ia dari rumahmu. Lepas ia
seperti kamu melepas burung dari sangkar. Biarkan dia mandiri seutuhnya.
Tanpamu. Biarkan dia merasakan hawa
dunia luar, biarkan dia merasakan dunia kebebasan. Bebas dari bantuanmu, bebas
dari tatapan kasihanmu dan bebas dari rasa tak percayamu.
Biarkan dia merasakan
kejamnya dunia. Sinisnya tatapan mata, tajamnya mulut dan kerasnya persaingan.
Karena dunia dengan segala yang ada adalah haknya. Dia berhak merasakan
perjuangan, dia berhak merasakan ejekan, dia berhak merasakan kerasnya
kehidupan. Biarkan ia tumbuh dalam dunia dimana kamu tumbuh. Dunia yang
mengajarkan dua hal, kebaikan dan kejahatan. Biarkan dia merasakannya. Agar
kelak dia tidak protes pada Tuhannya.
Dia akan belajar,
bagaimana rasanya jatuh, bagaimana rasanya sendiri, bagaimana rasanya ketika
dunia meremehkannya. Ketika ia jatuh, bangun lagi, ketika ia sendiri ia mencari
teman berbagi, dan ketika dunia meremehkan kemampuannya ia akan buktikan bahwa
ia bisa melakukan segalanya, melebihi apa yang mereka kira.
Lihatlah beberapa waktu
lagi, ia yang dulu selalu merasa tak mampu tanpa dirimu. Kini menjadi seseorang
yang mampu melakukan apa saja. Ia yang dulu selalu kau bantu, sekarang bisa
menjelma manusia yang kuat bak baja. Dunia telah berbicara padanya. Tentang
perjuangan, tentang kepercayaan dan tentang kemandirian. Ia tak butuh apa-apa
darimu. Ia hanya butuh kepercayaan dan kesempatan. Percayakan! Tegakan!
Saya memang belum
pernah menjadi orang tua, saya juga belum pernah menjadi ibu. Saya memahami,
bahwa setiap orang tua pasti tak tega, melepas anaknya ke dunia mandirinya. Tak
tega, karena takut anak kita terluka, tak tega karena takut ia sengsara. Sampai
kapan kita bisa mendampinginya? Sampai kapan kita bisa memenuhi kebutuhannya?
Suatu hari nanti kita akan pergi. Membiarkan dia sendiri.
Ia akan sangat
kehilangan, jika kita terlalu memilikinya. Ia akan sangat terluka jika kita
terlalu memanja. Saya belajar dari hidup ini, bahwa rasa kehilangan dan luka
akan hilang karena sebuah kepercayaan. Kepercayaan untuk hidup mandiri,
kepercayaan untuk bisa menyelesaikan masalah hidup sendiri. Setidaknya, ia akan
terbiasa tanpa kita jika sudah terlatih sejak dini.
Seperti halnya cahaya,
yang menghilang sedikit demi sedikit, seperti itu pula kita melepasnya
perlahan. Pelan tapi pasti. Lepas ia seperti kamu melepas merpati, setelah ia
puas dengan dunia. Ia pasti kembali, dengan sayap yang lebih kuat dari yang
sebelumnya ia miliki
Dedicated
to : Teman-teman istimewaku dan anak-anak luar biasa di SDN Inklusi Sumbersari
1 dan untuk orang tua di seluruh dunia. Anak-anak butuh rasa percaya.
Trust me...
Trust me...
RIZZA NASIR
Tidak ada komentar:
Posting Komentar