Selasa, 18 November 2014

KANGEN AREK MALANG




Yokpo kabare rek? Duh kangen banget aku...
Malang dan seisinya. Aku kangen. Rindu. Entah bahasa apalagi yang bisa  diwakilkan untuk perasaan ini. Tapi serius, aku harus mengakui, sejujur-jujurnya kalau aku memang kangen arek Malang. Baiklah, malam ini aku akan menelisik jejakku di Malang sana. Masih adakah?

Tiga tahun sembilan bulan bukanlah waktu yang sebenatar untuk menjalani kehidupan, tapi juga bukan waktu yang lama untuk merangkai kenangan. Dalam waktu itu, aku tumbuh dari remaja SMA labil menjadi gadis dewasa. Malang telah mengajariku banyak hal. Tentang perjuangan, tentang pembelajaran, tentang mimpi dan lika-liku menuju kedewasaan. Semua kudapatkan sepaket selama di Malang. Jadi sangat wajar jika akhirnya aku merasakan kerinduan yang sangat pada Malang.

Awalnya aku adalah gadis desa biasa. Baru lulus SMA dan untuk pertama kalinya pergi dan hidup jauh dari orang tua di kota yang berbeda. Ada adapatasi, ada teman baru, kultur pembelajaran yang baru dan suasana yang baru. Seiring waktu berjalan dan semesterku yang semakin menua, semua yang baru itu menjadi lama, dan yang lama itu menjadi melekat. Erat

Sampai suatu hari, tepatnya Sabtu, 10 Mei 2014. Aku harus pulang! Pulang ke kotaku di Kediri dengan membawa gelar sarjanaku. Sehari setelahnya, aku benar-benar merasa kehilangan semuanya. Saat itu aku bukanlah siapa-siapa. Bukan mahasiswa dari sebuah kampus, bukan anggota organisasi, bukan guru privat, bukan anak kontrakan. Aku kembali menjadi diriku seutuhnya. Rizza Nasir. Putri Pak Nasir. Tidur di kamarku sendiri dan melakukan aktivitas selayaknya anak perempuan di dalam rumahnya.

Lalu, aku seperti orang kelimpungan. Aku harus di rumah saja, karena harus menjaga ayah yang sakit. Tak ada lagi sore dengan kegiatan organisasi, pagi dengan kesibukan kuliah dan malam dengan anak-anak privat. Semua itu tak ada! Tak ada! Yang ada hanyalah laptop, televisi, dapur dan keponakan-keponakan kecil. Sebagai orang yang biasa aktif, berada di rumah terus-terusan seperti ini nyaris membuatku gila. Sejenak aku berpikir, beginikah rasanya jika seorang aktivis menjadi ibu rumah tangga? Apakah Allah hendak melatihku agar aku tak kaget nantinya? Mungkin saja!



Sekarang, Allah membawaku ke Kota Jogja, kota yang dulu sempat terlintas untuk menyelesaikan studi S1-ku, tapi kala itu ayah belum merestui. Aku sendiri tak tahu, kenapa Allah menuntunku kesini. Memilih melanjutkan kuliah dan bekerja disini. Padahal, ini bukan mimpiku! Bukan! Bukan! Mimpiku tentang jogja harusnya terwujud di tahun 2010. Kenapa baru sekarang?

Ah sudahlah, aku akhirnya tetap mensyukuri keberadaanku di Jogja ini. Dengan aktivitas kuliahku empat hari dalam seminggu. Bekerja menulis setiap hari. Dan pergi ke kantor tiga hari di luar waktu kuliah. Kunikmati! Kunikmati! Alhamdulillah..

Tapi, ada yang hilang dari semua kesibukan ini. Aku kering diskusi, kering berbincang topik terkini, aku malas baca buku. Aku malas menulis cerpen. Aku tak pernah jalan-jalan, Aku tak pernah tertawa ngakak seperti dulu. Tak ada lagi kumpul melingkar sesek-sesekan di ukm, tak ada lagi baca puisi di bawah pohon trembesi, tak ada lagi kajian di rerumputan, tak ada lagi bedah karya di beranda, tak ada lagi sms-sms tentang organisasi. Rizza, nanti ada kumpul ini, jam segini. Datang ya...

Sekarang yang kutulis adalah artikel-artikel ilmiah, yang kubaca buku-buku tebal-tebal, hampir tiap sore kencan dengan rak buku perpus, baru pulang jam 7 malam. Lalu tidur,  tengah malamnya baca referensi lagi, ngetik lagi, nulis lagi. Ah... rasa-rasanya aku dan laptop seperti sejoli sekarang ini. Kenapa semua ini serius sekali?

Kalau dulu yang kukenal banyak orang dari berbagai semester, lintas jurusan. Kenal teman beda organisasi,  Kenal sopir len, kenal orang-orang pasar, kenal beda usia, beda kampus. Sekarang? Yang kukenal hanya 16 orang di kelasku. 3 orang di kosku, 16 dosen (itu pun kadang lupa namanya) dan beberapa teman kantor. Sedikit sekali!

Untuk itulah aku semakin merasa kangen masa-masa itu. Masa-masa di Malang, masa-masa perjuangan. Harusnya aku mulai menemukan kembali organisasi yang bisa menampungku. FLP Jogja misalnya, tapi, siapa? Kapan aku bisa berkumpul bersama mereka? Waktuku habis untuk kuliah dan bekerja. Aku sadar, aku terperangkap dalam fisik pasca operasi, jadi kalau capek sedikit, cenat-cenut bekas luka ini. Jadi, aku harus mengerem aktifitasku. Tapi, kerinduan untuk berbincang dan berdiskusi bahkan berdebat ini tak bisa menunggu.

Ah, disini kering diskusi, dengan siapa? Semuanya serius dengan diktatnya. Komunitas tak ada. Manusia yang gemar membaca dan berbincang isu terkini juga tak ada. Satu lagi, tak ada satu orang pun yang bisa membuatku tergelak, tertawa-tawa seperti sebelumnya. Sosok-sosok seperti itu tertinggal di Malang sana. Mereka sedang sibuk dengan kuliah dan pekerjaannya masing-masing. Inikah yang dinamakan kehilangan?

Tapi aku harus realistis, aku tak mungkin terus-terusan di Malang, bukankah aku dulu berdoa agar segera ujian skripsi? Sekarang sudah dikabulkan. Lalu? Bukankah aku berdoa agar kuliah di Jogja? Sekarang sudah dikabulkan meski telat empat tahun. Lalu? Bukankah aku berdoa agar berganti teman, berganti lingkungan dan bisa pascasarjana? Sekarang sudah dikabulkan. Lalu? Bukankah aku berdoa agar terlepas dari gelar pengangguran? Sekarang sudah dikabulakan. Lalu?

Terima kasih Allah, telah mengabulkan doa dan impianku. Lalu, hilangkanlah pula rasa kerinduan ini. Izinkanlah aku dan arek Malang tetap bersama dalam ukhuwah. Dalam komunikasi yang terjaga, selalu ada sapa, selalu ada kabar. Meski mereka disana dan aku disini. Meski jarak memisahkan kita. Izinkanlah aku tetap bisa memberi meski aku tak ada di kota ituTapi mereka tetaplah bagian dari perjalanan hidup ini. Untuk itu jagalah mereka disana, jagalah mereka agar tetap dijalanmu. Jagalah mereka agar kelak kami bisa kembali bersua. Terima kasih atas perkenalan dan ukhuwah yang indah ini. Aku menyayangi mereka karena-Mu Allah.

Jadikanlah iklim Jogja yang panas ini seperti Malang yang sejuk dan dingin, jadikanlah teman-temanku mengasyikkan seperti temanku yang dulu. Hadirkanlah lagi diskusi, bincang dan perdebatan diantara kami. Sungguh Allah, aku tak mau kering seperti ini. Jadikanlah aku teman baru yang baik untuk mereka dan jadikanlah mereka teman yang baik untukku. Aku sedang belajar menyayangi mereka seperti aku menyayngi arek Malang. Alllah hanya engkau yang mampu membolak-balikkan hati. Hilangkanlah rasa menyesakkan ini. Kumohon! Aminn

Raditya Dika benar, bahwa hidup adalah tentang perpindahan.Perpindahanku adalah dari Kediri ke Malang, dari Malang ke Jogja. Apapun bentuknya perpindahan itu mutlak ada, karena tak mungkin kita selalu ada di tangga yang sama. Pada akhirnya, arek Malang, adalah masa lalu. Medio empat tahun telah menjadikan aku dan Malang erat, dekat, melekat. Aku hanya ingin masa lalu itu tetap terjaga dan membersamai masa sekarang hingga masa depanku. Masa depan kami. Semoga ukhuwah ini tetap terjaga. Sampai nanti, sampai tua, sampai mati.

Aku memang merasa kehilangan dan ditikam kerinduan. Tapi aku sadar Malang dan aku tak akan terpisahkan, meski kenyataannya jarak kita jauh sekali. Tapi aku masih mengingatnya, mengenangnya sebagai hari-hari yang penuh inspirasi. Yang berubah diantara kami adalah masa sekarang dan masa depan. Sementara masa lalu akan tetap pada tempatnya. Disini. Ya, disini. Di hati ini. Hati kita.

Di tengah kerinduan ini, aku berhasil menemukan satu lagu lawas yang liriknya pas sekali dengan rasaku. Tapi Bali diganti Malang ya... Coba deh dengarkan lagunya. Luar biasa!

Menatap lembayung di langit Bali
Dan kusadari betapa berharga kenanganmu
Di kala jiwaku tak terbatas
Bebas berandai memulang waktu

Hingga masih bisa kuraih dirimu
Sosok yang mengisi kehampaan kalbuku
Bilakah diriku berucap maaf
Masa yang tlah kuingkari dan meninggalkanmu
Oh cinta

Teman yang terhanyut arus waktu
Mekar mendewasa
Masih kusimpan suara tawa kita
Kembalilah sahabat lawasku
Semarakkan keheningan lubuk

Hingga masih bisa kurangkul kalian
Sosok yang mengaliri cawan hidupku
Bilakah kita menangis bersama
Tegar melawan tempaan semangatmu itu
Oh jingga

Hingga masih bisa kujangkau cahaya
Senyum yang menyalakan hasrat diriku
Bilakah kuhentikan pasir waktu
Tak terbangun dari khayal keajaiban ini
Oh mimpi


Hey Malang seisinya. Kutitipkan kerinduan ini pada angin malam ini yang dingin sekali. Beberapa hari ini tiap malam Jogja selalu hujan deras. Bagaimana denganmu? Salam rindu dariku Malang. Terima kasih pernah menerimaku dengan sangat baik. Aku hanya harus semangat menjalani hariku dengan Jogja sebagai persinggahanku. Merangkai kembali ceritaku dari awal lagi. Semoga berakhir indah. Malang. Jogja. Rizza



Yogyakarta, 18 November 2014

Salam

Rizza Nasir

3 komentar:

  1. aku kebetulan juga anak asli Kediri yang kuliah di Malang mbak, serasa kangen kalo lagi liburan gini. Kangen suasana rame para mahasiswa disana.

    BalasHapus
  2. aku kebetulan juga anak asli Kediri yang kuliah di Malang mbak, serasa kangen kalo lagi liburan gini. Kangen suasana rame para mahasiswa disana.

    BalasHapus
  3. aku s2 di jogja, yang mana sama S1 ku dulu juga di malang.. ku kira hanya aku saja yang merasa lebih kangen Malang ketimbang jogja. ternyata setelah membaca tulisanmu aku sadar bahwa tidak hanya aku seorang .

    BalasHapus