Yokpo
kabare rek? Duh kangen banget aku...
Malang dan seisinya. Aku kangen. Rindu. Entah bahasa
apalagi yang bisa diwakilkan untuk
perasaan ini. Tapi serius, aku harus mengakui, sejujur-jujurnya kalau aku
memang kangen arek Malang. Baiklah, malam ini aku akan menelisik jejakku di
Malang sana. Masih adakah?
Tiga tahun sembilan bulan bukanlah waktu yang
sebenatar untuk menjalani kehidupan, tapi juga bukan waktu yang lama untuk
merangkai kenangan. Dalam waktu itu, aku tumbuh dari remaja SMA labil menjadi
gadis dewasa. Malang telah mengajariku banyak hal. Tentang perjuangan, tentang
pembelajaran, tentang mimpi dan lika-liku menuju kedewasaan. Semua kudapatkan
sepaket selama di Malang. Jadi sangat wajar jika akhirnya aku merasakan
kerinduan yang sangat pada Malang.
Awalnya aku adalah gadis desa biasa. Baru lulus SMA
dan untuk pertama kalinya pergi dan hidup jauh dari orang tua di kota yang berbeda.
Ada adapatasi, ada teman baru, kultur pembelajaran yang baru dan suasana yang
baru. Seiring waktu berjalan dan semesterku yang semakin menua, semua yang baru
itu menjadi lama, dan yang lama itu menjadi melekat. Erat
Sampai suatu hari, tepatnya Sabtu, 10 Mei 2014. Aku
harus pulang! Pulang ke kotaku di Kediri dengan membawa gelar sarjanaku. Sehari
setelahnya, aku benar-benar merasa kehilangan semuanya. Saat itu aku bukanlah
siapa-siapa. Bukan mahasiswa dari sebuah kampus, bukan anggota organisasi, bukan
guru privat, bukan anak kontrakan. Aku kembali menjadi diriku seutuhnya. Rizza
Nasir. Putri Pak Nasir. Tidur di kamarku sendiri dan melakukan aktivitas
selayaknya anak perempuan di dalam rumahnya.
Lalu, aku seperti orang kelimpungan. Aku harus di
rumah saja, karena harus menjaga ayah yang sakit. Tak ada lagi sore dengan
kegiatan organisasi, pagi dengan kesibukan kuliah dan malam dengan anak-anak
privat. Semua itu tak ada! Tak ada! Yang ada hanyalah laptop, televisi, dapur
dan keponakan-keponakan kecil. Sebagai orang yang biasa aktif, berada di rumah
terus-terusan seperti ini nyaris membuatku gila. Sejenak aku berpikir,
beginikah rasanya jika seorang aktivis menjadi ibu rumah tangga? Apakah Allah
hendak melatihku agar aku tak kaget nantinya? Mungkin saja!
Sekarang, Allah membawaku ke Kota Jogja, kota yang
dulu sempat terlintas untuk menyelesaikan studi S1-ku, tapi kala itu ayah belum
merestui. Aku sendiri tak tahu, kenapa Allah menuntunku kesini. Memilih
melanjutkan kuliah dan bekerja disini. Padahal, ini bukan mimpiku! Bukan!
Bukan! Mimpiku tentang jogja harusnya terwujud di tahun 2010. Kenapa baru
sekarang?
Ah sudahlah, aku akhirnya tetap mensyukuri
keberadaanku di Jogja ini. Dengan aktivitas kuliahku empat hari dalam seminggu.
Bekerja menulis setiap hari. Dan pergi ke kantor tiga hari di luar waktu
kuliah. Kunikmati! Kunikmati! Alhamdulillah..
Tapi, ada yang hilang dari semua kesibukan ini. Aku
kering diskusi, kering berbincang topik terkini, aku malas baca buku. Aku malas
menulis cerpen. Aku tak pernah jalan-jalan, Aku tak pernah tertawa ngakak
seperti dulu. Tak ada lagi kumpul melingkar sesek-sesekan
di ukm, tak ada lagi baca puisi di bawah pohon trembesi, tak ada lagi
kajian di rerumputan, tak ada lagi bedah karya di beranda, tak ada lagi sms-sms
tentang organisasi. Rizza, nanti ada
kumpul ini, jam segini. Datang ya...
Sekarang yang kutulis adalah artikel-artikel ilmiah,
yang kubaca buku-buku tebal-tebal, hampir tiap sore kencan dengan rak buku
perpus, baru pulang jam 7 malam. Lalu tidur, tengah malamnya baca referensi lagi, ngetik
lagi, nulis lagi. Ah... rasa-rasanya aku dan laptop seperti sejoli sekarang
ini. Kenapa semua ini serius sekali?
Kalau dulu yang kukenal banyak orang dari berbagai
semester, lintas jurusan. Kenal teman beda organisasi, Kenal sopir len, kenal orang-orang pasar, kenal
beda usia, beda kampus. Sekarang? Yang kukenal hanya 16 orang di kelasku. 3
orang di kosku, 16 dosen (itu pun kadang lupa namanya) dan beberapa teman
kantor. Sedikit sekali!
Untuk itulah aku semakin merasa kangen masa-masa
itu. Masa-masa di Malang, masa-masa perjuangan. Harusnya aku mulai menemukan
kembali organisasi yang bisa menampungku. FLP Jogja misalnya, tapi, siapa?
Kapan aku bisa berkumpul bersama mereka? Waktuku habis untuk kuliah dan
bekerja. Aku sadar, aku terperangkap dalam fisik pasca operasi, jadi kalau
capek sedikit, cenat-cenut bekas luka ini. Jadi, aku harus mengerem
aktifitasku. Tapi, kerinduan untuk berbincang dan berdiskusi bahkan berdebat
ini tak bisa menunggu.
Ah, disini kering diskusi, dengan siapa? Semuanya
serius dengan diktatnya. Komunitas tak ada. Manusia yang gemar membaca dan
berbincang isu terkini juga tak ada. Satu lagi, tak ada satu orang pun yang
bisa membuatku tergelak, tertawa-tawa seperti sebelumnya. Sosok-sosok seperti
itu tertinggal di Malang sana. Mereka sedang sibuk dengan kuliah dan
pekerjaannya masing-masing. Inikah yang dinamakan kehilangan?
Tapi aku harus realistis, aku tak mungkin
terus-terusan di Malang, bukankah aku dulu berdoa agar segera ujian skripsi?
Sekarang sudah dikabulkan. Lalu? Bukankah aku berdoa agar kuliah di Jogja? Sekarang
sudah dikabulkan meski telat empat tahun. Lalu? Bukankah aku berdoa agar
berganti teman, berganti lingkungan dan bisa pascasarjana? Sekarang sudah
dikabulkan. Lalu? Bukankah aku berdoa agar terlepas dari gelar pengangguran?
Sekarang sudah dikabulakan. Lalu?
Terima
kasih Allah, telah mengabulkan doa dan impianku. Lalu, hilangkanlah pula rasa
kerinduan ini. Izinkanlah aku dan arek Malang tetap bersama dalam ukhuwah.
Dalam komunikasi yang terjaga, selalu ada sapa, selalu ada kabar. Meski mereka
disana dan aku disini. Meski jarak memisahkan kita. Izinkanlah aku tetap bisa
memberi meski aku tak ada di kota ituTapi mereka tetaplah bagian dari perjalanan
hidup ini. Untuk itu jagalah mereka disana, jagalah mereka agar tetap
dijalanmu. Jagalah mereka agar kelak kami bisa kembali bersua. Terima kasih
atas perkenalan dan ukhuwah yang indah ini. Aku menyayangi mereka karena-Mu
Allah.
Jadikanlah
iklim Jogja yang panas ini seperti Malang yang sejuk dan dingin, jadikanlah
teman-temanku mengasyikkan seperti temanku yang dulu. Hadirkanlah lagi diskusi,
bincang dan perdebatan diantara kami. Sungguh Allah, aku tak mau kering seperti
ini. Jadikanlah aku teman baru yang baik untuk mereka dan jadikanlah mereka
teman yang baik untukku. Aku sedang belajar menyayangi mereka seperti aku
menyayngi arek Malang. Alllah hanya engkau yang mampu membolak-balikkan hati.
Hilangkanlah rasa menyesakkan ini. Kumohon! Aminn
Raditya Dika benar, bahwa hidup adalah tentang perpindahan.Perpindahanku adalah dari Kediri ke Malang, dari Malang ke Jogja. Apapun bentuknya perpindahan itu mutlak ada, karena tak mungkin kita selalu ada di tangga yang sama. Pada akhirnya, arek Malang, adalah masa lalu. Medio
empat tahun telah menjadikan aku dan Malang erat, dekat, melekat. Aku hanya
ingin masa lalu itu tetap terjaga dan membersamai masa sekarang hingga masa
depanku. Masa depan kami. Semoga ukhuwah ini tetap terjaga. Sampai nanti,
sampai tua, sampai mati.
Aku memang merasa kehilangan dan ditikam kerinduan.
Tapi aku sadar Malang dan aku tak akan terpisahkan, meski kenyataannya jarak
kita jauh sekali. Tapi aku masih mengingatnya, mengenangnya sebagai hari-hari
yang penuh inspirasi. Yang berubah diantara kami adalah masa sekarang dan masa
depan. Sementara masa lalu akan tetap pada tempatnya. Disini. Ya, disini. Di
hati ini. Hati kita.
Di tengah kerinduan ini, aku berhasil menemukan satu
lagu lawas yang liriknya pas sekali dengan rasaku. Tapi Bali diganti Malang
ya... Coba deh dengarkan lagunya. Luar biasa!
Menatap
lembayung di langit Bali
Dan kusadari betapa berharga kenanganmu
Di kala jiwaku tak terbatas
Bebas berandai memulang waktu
Hingga masih bisa kuraih dirimu
Sosok yang mengisi kehampaan kalbuku
Bilakah diriku berucap maaf
Masa yang tlah kuingkari dan meninggalkanmu
Oh cinta
Teman yang terhanyut arus waktu
Mekar mendewasa
Masih kusimpan suara tawa kita
Kembalilah sahabat lawasku
Semarakkan keheningan lubuk
Hingga masih bisa kurangkul kalian
Sosok yang mengaliri cawan hidupku
Bilakah kita menangis bersama
Tegar melawan tempaan semangatmu itu
Oh jingga
Hingga masih bisa kujangkau cahaya
Senyum yang menyalakan hasrat diriku
Bilakah kuhentikan pasir waktu
Tak terbangun dari khayal keajaiban ini
Oh mimpi
Dan kusadari betapa berharga kenanganmu
Di kala jiwaku tak terbatas
Bebas berandai memulang waktu
Hingga masih bisa kuraih dirimu
Sosok yang mengisi kehampaan kalbuku
Bilakah diriku berucap maaf
Masa yang tlah kuingkari dan meninggalkanmu
Oh cinta
Teman yang terhanyut arus waktu
Mekar mendewasa
Masih kusimpan suara tawa kita
Kembalilah sahabat lawasku
Semarakkan keheningan lubuk
Hingga masih bisa kurangkul kalian
Sosok yang mengaliri cawan hidupku
Bilakah kita menangis bersama
Tegar melawan tempaan semangatmu itu
Oh jingga
Hingga masih bisa kujangkau cahaya
Senyum yang menyalakan hasrat diriku
Bilakah kuhentikan pasir waktu
Tak terbangun dari khayal keajaiban ini
Oh mimpi
Hey Malang
seisinya. Kutitipkan kerinduan ini pada angin malam ini yang dingin sekali.
Beberapa hari ini tiap malam Jogja selalu hujan deras. Bagaimana denganmu?
Salam rindu dariku Malang. Terima kasih pernah menerimaku dengan sangat baik. Aku hanya harus semangat menjalani hariku dengan Jogja sebagai persinggahanku. Merangkai kembali ceritaku dari awal lagi. Semoga berakhir indah. Malang. Jogja. Rizza
Yogyakarta, 18 November 2014
Rizza Nasir
aku kebetulan juga anak asli Kediri yang kuliah di Malang mbak, serasa kangen kalo lagi liburan gini. Kangen suasana rame para mahasiswa disana.
BalasHapusaku kebetulan juga anak asli Kediri yang kuliah di Malang mbak, serasa kangen kalo lagi liburan gini. Kangen suasana rame para mahasiswa disana.
BalasHapusaku s2 di jogja, yang mana sama S1 ku dulu juga di malang.. ku kira hanya aku saja yang merasa lebih kangen Malang ketimbang jogja. ternyata setelah membaca tulisanmu aku sadar bahwa tidak hanya aku seorang .
BalasHapus