Kamis, 04 Desember 2014

APAKAH KAMU PERNAH MENANGIS?


Ada sebuah pertanyaan yang dilontarkan pada saya, “Rizza, apakah kamu pernah menangis?” Sebuah pertanyaan sederhana namun sarat makna. Sebagai manusia biasa saya tentu pernah menangis. Dulu awal kelahiran saya juga diawali tangisan. Saya menangis sesaat setelah saya dikeluarkan secara caesar dari perut ibu. Entah apa alasannya saya menangis saat itu, Mungkin saya bertanya pada Tuhan, “Kenapa saya harus lahir sekarang? saya masih ingin di rahim ibu lebih lama lagi” 

Kelahiran saya juga diwarnai tangisan ayah saya, lelaki perkasa itu hampir tak pernah menagis sebelumnya, tapi setelah saya lahir, ia menangis untuk saya. Entah, itu tangis bermakna apa, bahagia karena kelahiran saya atau sedih karena kondisi saya. Kata nenek ayah bergumam begini dalam tangisnya, “Kenapa putriku kecil begini? Hitam lagi? Apa dosaku? Tolong biarkan dia hidup Tuhan!”

Saat saya kecil saya cengeng dan manja. Wajar, saya adalah cucu terkecil saat itu. Semua kakak sepupu saya sudah besar-besar. Jarak saya dan adik sekitar empat tahun jadi saya punya waktu empat tahun untuk dimanja sepenuhnya oleh kedua orang tua saya, paklik dan bulik saya, juga nenek saya. Ah, senang sekali saat itu.

Seperti anak kecil kebanyakan saya menangis kalau jatuh. Jika tak ada yang menolong, saya menangis agar ibu dan ayah tahu kalau saya jatuh. Kadang saya tak langsung menangis, sesaat setelah jatuh saya diam karena kaget, lalu ketika ibu datang menolong, saya menangis sekeras-kerasnya. Entah, kenapa saya seperti itu. Tapi kebanyakan anak kecil memang begitu.

Dulu saya memang sering sekali jatuh, di sekolah, di jalan, dimana saja. Apalagi saya termasuk anak yang tak bisa dinasehati. Dilarang kesana, saya malah kesana, dilarang melakukan hal bahaya, saya malah mencobanya. Saya ingin tahu bagaimana rasanya, saya ingin tahu disana ada apa, kenapa saya tak boleh kesana? Kenapa saya tak boleh begini, tak boleh begitu? Ah, kekhawatiran mereka terlalu berlebihan.

Ketika saya mulai mengenal kata malu dan menyadari kalau saya tak seperti teman yang lain saya mulai menjalani rutinitas menangis. Rutinitas! Saya berbeda, saya harus berbesar hati ketika mendengar orang lain mengatakan kalau saya adalah anak cacat. Meski saya sendiri tak merasa seperti itu. Saya merasa sama seperti yang lain. Saya merasa baik-baik saja! Memang, saya merasa kesulitan berjalan, tak punya keseimbangan yang bagus. Tapi saya tidak cacat kan? Tidak kan?

Tapi, teman-teman saya bilang saya cacat, dingklang dan banyak istilah lainnya yang saya lupa. Saya melupakannya karena telinga saya tak ingin mendengarnya. Meski begitu mereka tetap teman-teman baik saya. Mereka ada untuk saya. Mereka menganggap saya adik. Adik yang harus disayang, dibantu dan dilindungi, itulah yang guru SD saya tanamkan pada teman-teman saya.

Meski begitu, masih ada saja beberapa anak yang mengejek saya, menirukan cara berjalan saya dan mengatakan kalau saya ini anak cacat. Diusia sekolah dasar itu, saya sudah paham kalau mereka itu belum mengerti apa arti cacat sebenarnya. Saya belajar arti pemakluman. Pemakluman atas sebutan, ejekan dan tiruan mereka atas cara berjalan saya. Saya hanya bisa diam, melihat dan mendengarkan, sesekali teman-teman saya yang lain memarahi mereka yang mengejek saya dan meminta saya bersabar. Diusia sekecil itu, teman saya sudah menasehati pentingnya kesabaran. Tapi, jika memang kenyataannya seperti ini, saya bisa apa? Memang beginilah adanya.

Siapa bilang saya tidak pernah menangis? Setelah pulang sekolah saya sering menangis di kamar. Itu mungkin karena saya belum bisa memaknai kesabaran yang telah dinasehatkan teman-teman saya. Saya sering bertanya dalam isakan itu.”Kenapa harus saya Tuhan? Kenapa saya seperti ini? Saya juga pengen bisa main lompat tali, saya pengen bisa bermain loncat satu kaki, saya pengen berlari. Kenapa harus saya?”

Ah, saya saat masih sekolah memang cengeng. Sangat cengeng. Ketika melakukan praktek olahraga. Setelah mengitari lapangan dua kali dengan berlari. Saya biasa istirahat duduk-duduk dipinggir lapangan, sementara teman-teman saya melakukan olahraga bersama guru. Saya hanya melihat saja. Ini dispensasi dari semua sekolah yang pernah saya singgahi : Saya boleh tidak ikut olahraga!

Tapi, saya tidak mau hanya menunggu teman-teman di kelas. Saya harus ikut mereka ke lapangan. Saya ganti seragam sekolah dengan kaos olahraga. Buat apa saya diberi seragam olahraga kalau tidak pernah dipakai? Saya juga memaksa guru olahraga saya untuk membolehkan saya berlari. Minimal sebelum pelajaran olahraga dimulai. Saat teman-teman mengitari lapangan, saya juga ikut lapangan. Minimal dua kali putaran, saya baru mau duduk-duduk santai dipinggir lapangan,

Dalam duduk di rerumputan itu, saya sering menangis, tak ada yang tahu, kecuali Tuhan! Saya pengen bisa main kasti, saya pengen bisa main volly, saya pengen bisa main basket, saya pengen bisa lempar galah sejauh-jauhnya. Saya pengen, saya pengen! Tapi apa saya bisa? Mungkin saja saya bisa, tapi saya tak pernah diberi kesempatan untuk mencoba. Saya hanya harus enak-enakan duduk di pinggir lapangan sementara yang lain berpeluh kelelahan. Sejujurnya, inilah yang membuat saya memangis, kenapa saya tak bisa? Saya juga ingin seperti mereka.

Saat kuliah, kebetulan juga ada mata kuliah penjaskes, saya harus mengulang keedihan saya yang sudah saya kubur selama dua tahun. Ya, karena saya mendapatkan mata kuliah penjaskes di semester 5. Sebelum itu, setiap melewati lapangan dan melihat senior saya menjalani mata kuliah olahraga. Saya hanya melihat saja, “Tuhan, haruskah saya mengulang tangisan saya di masa lalu?”

Tapi, saya sudah berjanji di akhir SMA, kalau saya tak akan menagis lagi jika berkaitan dengan kondisi fisik saya. Saya sudah mengikhlaskan, saya sudah menerima, saya sudah mencintai diri saya sepenuhnya. Inilah saya, apa adanya. Untuk apa menangis? Toh, setelah sesenggukan dan mata bengkak, saya juga masih seperti ini. Saya sadar, tangisan tak akan membawa dampak apa-apa, kecuali keterpurukan. Saya harus bangkit, saya tak boleh kalah, saya tak boleh menyerah. Tuhan pasti punya rahasia, kenapa saya diciptakan dengan kondisi seperti ini. Jika saya ingin tahu rahasia itu, saya harus terus berjalan, tak boleh berhenti. Jika dulu saya berulang kali bertanya, “Tuhan, kenapa harus saya?” Saat itu saya tahu, saya dipilih karena saya mampu melewatinya, orang lain belum tentu mampu. Saya orang pilihan, jadi kenapa harus bersedih? Kenapa harus menangis?

Meski saya sudah tak menangis lagi karena kondisi fisik ini, tapi saya masih sering menangis untuk hal lain. Mungkin karena saya pernah merasakan berada dalam kondisi yang lebih buruk dari saat ini, saya jadi mudah terharu, trenyuh pada cerita atau curhatan teman. Saya mudah sekali merasa kasihan, saya tak tegaan.

Saya juga bisa menagis saat nonton film. Mungkin ini konyol, tapi saya memang sering menangisi film. Film koleksi laptop saya adalah film-film inspiratif yang kebanyakan bisa membuat saya menangis. Film apa saja, mulai dari film dalam negeri, bollywood, hollywood, arab, jepang hingga drama korea. Saya tonton semuanya, asal ceritanya bagus dan banyak pelajaran yang bisa saya ambil. Dari film-film itu saya belajar arti hidup, perjuangan dan semangat menggapai mimpi. Saya belaja bagaimana menjalani hidup ini lebih baik lagi, lebih semangat lagi, lebih keras lagi.  

Mungkin karena ini, banyak orang yang bilang saya orangnya melankolis, tapi saya tak peduli, toh, apa salahnya jadi mellow? Tak semua tangisan itu buruk kan? Lagipula menangisi film tentu lebih baik daripada tangisan masa lalu saya itu, tangisan nasib! Nasib saya tak perlu lagi ditangisi. Saya hanya harus mensyukurinya. Masih banyak orang yang kondisinya lebih buruk dari saya. Jika mereka saja terus bertahan hidup, maka saya juga harus bertahan dan terus berjuang!

Saya berjanji pada diri saya sendiri, saya akan terus berbuat kebaikan pada orang-orang, semampu saya, sebisa saya. Saya berjanji akan memotivasi teman-teman yang lain, yang memiliki kondisi fisik yang sama atau bahkan lebih buruk dari saya. Jika saya bisa bangkit, optimis, percaya diri dan terus berjuang, maka saya tak akan membiarkan mereka dalam keterpurukan, karena saya tahu, berada pada posisi itu sangat menyesakkan.

Untuk lelaki, jangan malu menangis. Tangisan bukan hanya milik perempuan. Jangan merasa bahwa dalam tangisan kamu adalah pecundang. Jangan egois, air matamu juga berhak keluar, kesedihanmu juga berhak diluapkan. Bukan hanya untuk dipendam dan berpura-pura kuat, saat hatimu rapuh, butuh kekuatan dan jalan keluar. Perempuan yang baik akan tetap menghormatimu dalam tangismu. Ia akan memahamimu seutuhnya, baik dalam tangis, tawa atau usaha kerasmu mewujudkan cita-cita. Menangislah! karena kamu manusia biasa punya air mata!

Saya pernah menangis, saya punya air mata. Bukan saya cengeng karena terjebak dalam fisik perempuan, tetapi karena saya tahu air mata tak selalu membawa kesedihan, kekalahan dan keputusasaan. Air mata juga berarti kebahagiaan, kesyukuran, harapan dan perjuangan.

Rizza Nasir

Tidak ada komentar:

Posting Komentar