Senin, 19 Mei 2014

Diary 10 Mei



Aku biasa menghafal kata-kata sejak kecil. Jika ada kata atau percakapan yang kurasa bagus, aku mengingatnya. Salah satunya, percakapan yang terjadi saat usiaku 4 tahun. Saat itu aku baru bangun tidur, aku selalu menangis saat bangun, selalu marah kalau disuruh mandi

Aku masih sangat ingat, saat aku masih menangis dan ginjal-ginjal. Ibuku bilang pada ayahku begini “Mas, Rizza wis wayahe sekolah, bocah etan wes akeh sing daftar ning Bulek Dayah”
“Ora usah sekolah dhisik, wong urung iso mlaku ngono, malah ngrepotne gurune”
“Tapi...”
“Wes to, ben iso mlaku dhisik!”
Tegang.

Mbah Putri (ibu dari ayah) keluar dari kamar dan mencoba menenangkanku yang masih menangis.
“Yo gak popo Sir (Nasir) daftarne ae, engko lek weruh koncone mlaku, Rizza mesti pengen mlaku”, “wes gak usah nangis Nduk, sesuk sekolah, lek sekolah gak oleh nangisan”

Percakapan itu, masih terekam, yang terjadi pagi itu juga masih terbayang. Hari ini, entah kenapa aku teringat Mbahku, perempuan yang meninggal 14 tahun lalu.

Benar saja, satu bulan setelah masuk TK aku bisa berjalan! Dengan teman-teman yang berjajar disamping kiri kanan, dan aku berjalan bolak balik dari ujung ke ujung. Disana sudah ada guru yang memantiku menghampirinya. Teman-teman bertepuk tangan, dan aku semakin semangat berjalan.

Di rumah tak jauh beda, yang bertepuk tangan adalah mbahku dan paklik bulikku, yang berada di ujung kanan dan kiri adalah ayah dan ibuku. Aku dan adikku Faisal berlomba berjalan. Ya, aku berumur empat tahun dan adikku kurang dari setahun, Allah menakdirkan kami bisa berjalan dalam waktu bersamaan. Siapa yang sangka? Orang tua mana yang tak bahagia?

Aku tak tahu ada apa dengan kakiku, yang kutahu, jalanku tak seperti kalian. Bukan, aku bukan terkena polio, aku juga bukan mengidap penyakit tulang. Besar kakiku sama, panjangnya pun sama. Lalu kenapa? Wallahu’alam.

Jika kalian bisa sekolah dengan bahagia dan tenang, aku pun begitu. Tapi, aku hanya harus berusaha sekuat tenaga membangun kepercayaan diriku. Tentu saja dengan cara berjalan seperti ini banyak mata melihatku. Sejak kecil aku terbiasa dengan itu. Jika mereka menatapku keheranan aku membalasnya dengan senyuman. Tak ada yang mengajariku begitu, itu caraku menutupi malu.

Jujur, tak banyak yang tahu, bahkan keluargaku, bahwa aku pernah merasa malu. Bahwa aku pernah diejek teman-temanku.
“Helah bocah dingklang”
“Ssttt, ada Mbak Rizza, ngesakne yo”
“He, ojo disawang, marai ketularan!”


Haha, itulah yang kudengar dari teman-teman SD dulu. Aku diam saja, aku bisa apa? Toh memang begitu kenyataannya kan? Sedih? Iya. Menangis? Nggak. Nggak di depan mereka, tapi iya, di depan boneka boneka, di malam hari, di kamarku sendiri. “Kenapa aku begini?, kenapa harus aku? Apakah aku akan selamanya seperti ini?”

Saat SD dulu, aku selalu berdoa sebelum tidur, semoga saat aku bangun nanti, terjadi keajaiban ditubuhku. Ya, seperti film Sailor Moon dan Barbie yang sering kutonton, bisa berubah menjadi apa saja. Nyatanya aku masih sama seperti saat aku berangkat tidur. Aku lupa, bahwa itu hanya film.

Tidak semua teman SD-ku begitu, banyak juga yang baik padaku. Tsanawiyah dan Aliyah kulalui jauh dari orang tua. Mondok dan tinggal di asrama. Masing-masing di pondok putri Al-Avissina MTsN 2 Kediri dan Asrama Putri MAN 3 Kediri. Sejak lulus SD, aku memang meminta sekolah di kota. Sekolah yang jauh dari orang tua. Aku ingin tahu rasanya hidup mandiri yang sebenar-benarnya.

Ibuku pernah bilang “Kamu harus jadi anak yang mandiri, jangan manja, ibu nggak selamanya mendampingi kamu Nduk. Nanti kamu juga punya anak yang bergantung padamu. Untuk itu, kamu harus kuat dan mandiri. Kamu kan yang minta mondok, kok sekarang nangis?” saat aku menangis, nggak kerasan hidup di pondok, ingin keluar. Sampai-sampai ayah membawakan pasir dari rumah untuk dibuang di depan pondok, agar aku kerasan. Haha

Aku mungkin adalah bukti nyata dari kepercayaan orang tua pada penjagaan semesta. Jika dipikir-pikir. Orang tua mana yang tega membiarkan anaknya mondok, melakukan segala sesuatunya sendiri dengan kondisi yang sangat tidak mendukung seperti ini? Tentu orang tuaku tak tega. Sebulan pertama hampir seminggu dua kali orang tuaku datang, meski jarak pondok dan rumahku lumayan jauh. Selanjutnya, orang tuaku tak pernah datang, kecuali jika aku meminta dijemput pulang.

Tak ada orang tua yang mau memiliki anak sepertiku. Tentu semua orang tua ingin anaknya normal seperti anak kebanyakan. Tapi, jika nyatanya Allah menciptakan aku begini untuk mereka. Tak ada jalan lain, kecuali membangun kepercayaan diriku, dan kepercayaan dunia bahwa aku juga sama seperti yang lain.

Orang tuaku tak pernah membatasiku memenuhi rasa ingin tahuku. Jika mereka tidak membolehkan aku pergi ketempat itu. Tentu aku akan memberikan alasan dan meyakinkan bahwa aku bisa. Sejauh ini, aku selalu bisa membuktikannya. Aku bisa membuktikan dan menjaga kepercayaan yang telah mereka berikan.

Saat tsanawiyah dan aliyah, aku tak lagi merasa malu. Aku mulai masuk organisasi, mulai berbuat banyak hal. Ikut event ini itu. Kesana kemari, angkat ini itu. Mereka seolah tak pernah menganggapku berbeda, aku pun tak pernah merasakan bahwa aku berbeda. Karena dunia telah menerimaku sepenuhnya.

Kini saat aku duduk di bangku kuliah, aku merasa mendapatkan banyak hal. Ilmuwan hebat, teman-teman luar biasa dan lingkungan yang luar biasa menantang dan menerimaku. Aku tak pernah malu, meski aku satu-satunya mahasiswi yang berjalan seperti ini di UIN Maliki Malang, di PGMI. Aku satu-satunya aktivis yang berjalan seperti ini di Sport Center, aku satu-satunya guru yang berjalan seperti ini di sekolahku nanti. Masih sama, semua mata menatapku. Tapi aku tak peduli, jika aku masih merasa malu, tentu aku tak akan mendapatkan apa-apa dalam hidupku.

Kini, aku sudah menyelesaikan S1-ku, sebuah jenjang yang bagi orang lain biasa-biasa saja, tapi bagiku yang sudah berairmata sejak SD, menyelesaikan S1 merupakan prestasi hidup tersendiri. Meski aku bukan mahasiswa terbaik dengan IPK tertinggi, meski aku tak memiliki banyak prestasi seperti yang lain. Lagipula, Aku tak terlalu mementingkan IP, yang penting sudah usaha maksimal. Hasilnya wallahu’alam. Karena suatu hari nanti, kita mungkin akan lupa kertas-kertas itu beserta angka-angkanya yang dulu pernah kita usahakan dengan segala cara.

Aku baru sadar, ternyata aku satu-satumya sarjana di teman kelas SD dulu, sementara yang lain, sudah sibuk dengan pekerjaan dan anak-anak mereka. Mereka memang pernah mengejekku, ini itu. Sedih sesaat, tapi mereka tak tahu, semangat hidupku semakin meluap-luap.

Ayahku pernah berpesan " Sampean kudu dadi wong pinter Nduk, bocah wedok pinter iku diajeni, wong berilmu iku diajeni dunyo akhirot. Sekolah sing tenanan, ibuk karo ayah, nggak nuntut opo-opo, sing penting sampean iso diajeni lan dihormati wong liyo, buktikno!"

Aku pernah berjanji saat kecil dulu, suatu hari nanti aku akan jadi orang pinter, biar teman-temanku tak mengejekku lagi. Setelah aku dewasa, aku berjanji, aku harus jadi orang pinter, biar orang lain yang memiliki kondisi sama sepertiku tak lagi dipandang sebelah mata oleh dunia.

Kepada para orang tua yang memiliki anak berkebutuhan khusus atau memiliki kondisi atau kelemahan tak jauh beda dariku. Cobalah beri mereka kepercayaan untuk menerima tantangan dunia. Aku memang belum pernah menjadi orang tua, yang merasakan tak tega pada anak, tapi sebagai anak, aku merasakan dampak dari orang tua yang tega dan percaya. Aku buktinya. Jika aku saja bisa, putra putrimu pasti bisa. Insyaallah

Kepada teman-teman yang memiliki kekurangan fisik, untuk apa menangis?, untuk apa mengeluh?, untuk apa malu? Dan untuk apa bertanya “kenapa harus aku?” Toh, semua itu tak akan merubah keadaan. Keluhan hanya menghadirkan batasan. Air mata, tak memberikan apa-apa, kecuali kesedihan dan bertanya “kenapa harus aku?” karena kitalah yang mampu. Hanya kita, bukan yang lain. Kita hanya harus menjalani hidup dengan semangat, berbuat dan berarti dengan apa yang kita mampu beri. Tak ada yang diciptakan sia-sia. Allah telah menuliskan, bahwa kita diciptakan dengan bentuk yang sebaik-baiknya bukan?

Terima kasih kepada:
Orang tuaku tercinta, Ayah Mohammad Nasir dan Ibu Sri Utami, aku beruntung lahir dari orang tua seperti kalian. Jika wisudaku adalah mimpi kalian, semoga 10 Mei 2014 ini adalah bahagia bagi kalian. Terima kasih telah mencintaiku, terima kasih telah membesarkanku dan mewariskan semangat dan daya juang tinggi padaku.

Kedua adikku, Achmad Faisal Fahmi Wicaksono dan Achmad Farid Wibisono, terima kasih kalian tak pernah malu memiliki mbak sepertiku, terima kasih semuanya, candaan, pukulan, ejek-ejekan, kalau aku sudah menikah nanti, pasti aku merindukan saat-saat berantem dengan kalian. Selamat memasuki dunia kuliah buat Faisal dan selamat memasuki dunia remaja buat Farid. Proud to be your sister

Keluarga besarku, yang memberi semangat, kepercayaan dan bantuan padaku dan keluargaku selama ini. Barakallah

Teman-teman PGMI angkatan 2010, terima kasih telah membersamai masa S1 ku, semoga yang belum wisuda nyusul Oktober nanti ya, semoga masih bisa bertemu lagi di masa depan. Aku pulang, Kediri menantiku, See you!

Teman-teman organisasi, Ha’ah Tahfidz Al-Qur’an, UKM LKP2M, LDK At Tarbiyah, FLP UIN Maliki dan FLP Malang, terima kasih telah memberikan ilmu, motivasi dan mewarnai hari-hari kuliahku. Terima kasih cerita, canda tawa dan semuanya. Maaf jika ada amanah yang belum tertuntaskan, maaf jika selama menjadi partner ada kerja yang tak bener. Aku merindukan kalian. Tetap semangat!

Daftar impianku masih panjang, yang bertuliskan wisuda Mei 2014 sudah kucentang. Dibawahnya tentu masih ada. Aku harus mewujudkannya. Mohon doanya...

Sampai ketemu di lain waktu.
Salam Semangat
Rizza Nasir

Graduation Day, 10 Mei 2014




Tidak ada komentar:

Posting Komentar