Kenapa berjilbab besar?
Itulah yang sering orang tanyakan pada saya Jika mendapat pertanyaan seperti
itu, kadang saya membatin begini, Kenapa
kamu tanya? Ya, semua orang memang memiliki persepsi berbeda terhadap
perempuan yang berjilbab besar. Pernah suatu hari saya ditegur saudara saya, Eh itu jilbabnya nggak kepanjangan? Ntar
dikira istri teroris lho kamu. Perempuan yang berjilbab besar diidentikkan
dengan istri teroris.
Jilbab besar juga
diidentikkan dengan pergerakan tertentu, misal Hizbut Tahrir Indonesia atau
yang lebih dikenal dengan HTI. Kamu anak
HTI ya? Entah sudah berapa ratus kata-kata seperti itu mampir di telinga
saya. Saya menjawab begini “ Bukan, saya bukan anggota HTI, emangnya kenapa?”,
“Kok jilbab kamu besar?”
Glek,
lagi-lagi soal jilbab besar.
Entah kenapa,
orang-orang yang bertemu saya (untuk pertama kalinya) selalu menjustis saya
seperti itu. Tak masalah sebenarnya. Hanya saja kenapa mereka selalu melabeli
dengan organisasi tertentu. HTI? Kenapa mereka selalu menganggap HTI itu aliran
keras? Yang harus ditakuti dan dihindari?
Saya punya banyak teman
anggota HTI, mereka semua baik, tidak ada yang keras atau memaksa saya ini dan itu. Saya juga pernah baca buku
kajian mereka. Tidak ada masalah. Lantas kenapa label itu masih membekas?
Kenapa HTI seolah-olah menjadi tameng dari penampilan pakaian dan sebuah
penilaian tentang keras dan lunak-nya sebuah pergerakan? Rupanya,
masyarakat hanya mengikuti kata orang, tanpa
melihat, dan mempelajari benar atau tidaknya berita itu.
Tentang jilbab besar,
saya juga menyayangkan masyarakat yang menaruh sinisme terhadap perempuan yang
begini. Seolah-olah perempuan berjilbab besar itu aneh, tak biasa. Dan
masyarakat begitu biasa dengan mereka yang rambutnya tergerai, yang celananya
pensil, yang memakai tank top dan hot pants kemna-mana sekalipun. Itu biasa di
mata mereka. Lumrah.
Memang, tak bisa
dipungkiri, keikutsertaan seseorang pada organisasi atau pergerakan turut
mempengaruhi gaya hidup, termasuk penampilan seseorang, misal HTI, KAMMI, IMM,
PMII, sehingga seperti identik atau identitas dari pergerakan tersebut,
namun tak sedikit pula mereka yang mulai sadar untuk berjilbab justru bukan
dari organisasi manapun, tapi muncul atas kesadaran karena sebuah pemahaman.
Saya salah satunya.
Saya berjilbab sejak
lulus SD karena masuk sebuah madrasah tsanawiyah yang notabene semua siswanya
wajib berjilbab. Awalnya saya berjilbab hanya karena peraturan wajib dari
sekolah dan pondok. Jika pulang ke rumah saya masih sering lepas jilbab. Jika
main dengan teman di sekitar rumah, saya tidak pakai jilbab, tapi jika keluar
jauh dari rumah, saya baru memakainya.
Itulah masa penyesuaian
saya, semua itu berjalan dua tahun, di tahun ketiga masa Tsanawiyah saya, saya
mulai malu jika melepas jilbab. Setelah masuk Aliyah dan masuk asrama putri,
saya lagi-lagi hidup di lingkungan
feminis yakni asrama putri. Di masa Aliyah ini, saya mulai mengenal, Apa itu
HTI, apa itu Aisiyah, apa itu PII dan banyak lagi.
Bukan, bukan salah satu
dari organisasi itu yang memnggugah saya untuk terus berjilbab, tapi karena
seseorang yang luar biasa. Namanya Millatul Maftuchah, kami biasa memanggilnya
Ustadzah Milla, beliau mengajar Bahasa Arab di MAN 3 Kediri dan selama dua
tahun hidup di asrama bersama kami, beliaulah pembina kami, baru terakhir digantikan oleh Ustadzah
Shoimah.
Dua tahun di bawah
bimbingan beliau, saya merasa menemukan jati diri saya. Beliau mengajarkan
bagaimana menjadi seorang wanita sesungguhnya, yang pandai dalam akademisnya,
bijak dalam bersikap dan teguh menjaga auratnya.
“Wanita
yang berpakaian tapi telanjang (transparan) dia tak akan pernah mencium bau
surga” itulah ucapan beliau dari sebuah hadist yang membuat
saya tertampar, sadar sesadar-sadarnya bahwa saya harus tetap bejilbab. Bagaimana saya akan masuk surga dengan amal
baik saya, jika mencium baunya saja tidak boleh, bukankah bau surga itu sudah
tercium beratus kilo sebelumnya? Jika semuanya menciun dan memasukinya,
bagaimana dengan saya?
Beliaulah terlihat anggun
dengan busananya yang tertutup dan jilbabnya yang lebar. Saya pernah bilang
dalam hati, suatu hari nanti saya ingin
seperti Ustadzah Milla. Beliau yang hafal al-Qur’an, beliau yang selalu
meneduhkan, beliau yang keibuan dan beliau yang teguh pada syariat islam,
perlahan saya belajar bagaiman menjadi seperti
Ustadzah Milla. Akhirnya saya begitu jatuh hati dengan jilbab dan berusaha
untuk istiqomah menjaganya. Dalam perjalanan ini, akhirnya saya tahu, bahwa
saya telah menjadi Rizza Nasir, bukan lagi seperti Bu Milla, atau ingin seperti
beliau. Karena kita berbeda dan kita tak mungkin menyamai satu sama lain.
Setidaknya, beliau adalah teladan bagi saya, wanita inspiratif yang telah
mengajarkan saya bagaimana menjadi seorang wanita.
Tentang jilbab, atau
yang lebih akrab disebut kerudung, sebenarnya tak harus besar. Hanya tiga
syarat yang harus dipenuhi. Pertama, Tidak
transparan, Kedua, Menutup sampai dada.
Ketiga, tidak menampakkan lekuk
tubuh. Jika ini sudah dipenuhi, maka insyaallah sudah oke, tak harus lebar,
selebar mata kaki kan? Meski itu lebih menjaga tentu saja. Dalam hal berjilbab,
tidak ada istilah terlalu panjang, semakin panjang malah semakin baik. Batas
pendeknya adalah sampai pada dada masing-masing.
Lalu bagaimana dengan
kultur Indonesia yang masih sinisme terhadap mereka yang berjilbab lebar? Ini
yang harus kita luruskan. Bukankah menutup aurat itu wajib? Menurut saya,
berjilbab itu adalah suatu keteladanan, seperti saya yang melihat Ustadzah
Milla lalu tersadar, begitu pula dengan wanita lainnya. Dibutuhkan keteladaan,
bukan paksaan.
Paksaan tentu berbeda dengan pembiasaan. Seorang anak
perempuan yang sekolah di Madrasah Ibtidaiyah, mereka wajib berjilbab, karena
itu adalah seragam sekolah. Anak-anak itu mungkin tak tahu, tentang wajibnya berjilbab
bagi seorang wanita, atau mereka tahu tapi belum memahami sepenuhnya. Berjilbab
hanya sebagai usaha mematuhi peraturan, namun jika ini dijadikan pembiasaan, lama kelamaan anak
tersebut akan terbiasa dan nyaman dengan jilbabnya. Jika tidak berjilbab ia
akan merasa tidak nyaman, kok ada yang
kurang ya?
Rasa seperti itulah
yang diharapkan muncul dari seorang anak tentang jilbab sebagai pembiasaan,
seiring waktu dia akan belajar tentang esensi dan hukum berjilbab. Dia belajar
esensinya setelah dia nyaman mengenakannya. Dengan begitu, jilbab akan melekat
kuat di hatinya, sebagai suatu penjagaan juga pelaksanaan kewajiban. Mengenakan
bukan karena dipaksa, tapi karena pembiasaan dan pemahaman mendalam tentang dirinya.
Bukankah metode inquiry dan mendidik dengan teladan itu adalah cara pendidkan
yang dianjurkan?
Jilbab, bukan tentang
organisasi apa yang diikuti, tapi tentang kenyamanan hati dan pemahaman
mendalam tentang penjagaan diri. Mau jilbab lebar atau tak terlalu lebar,
terserah yang penting tidak transparan dan ditutupkan pada dadanya. Kebanyakan
perempuan terlihat cantik saat dia mengenakan jilbabnya daripada menggerai
rambutnya.
Jika ada yang bilang,“ Kamu cantik kalau nggak pakai jilbab lho” Berarti kecantikanmu itu hanya untuk suami dan keluargamu saja, bukankah yang melihat kamu tak pakai jilbab hanya suami dan keluargamu saja? Biarkan yang lainnya melihat kamu yang tak cantik dengan jilbab, karena mereka tak berhak melihat cantikmu, iya kan?
Jika ada yang bilang,“ Kamu cantik kalau nggak pakai jilbab lho” Berarti kecantikanmu itu hanya untuk suami dan keluargamu saja, bukankah yang melihat kamu tak pakai jilbab hanya suami dan keluargamu saja? Biarkan yang lainnya melihat kamu yang tak cantik dengan jilbab, karena mereka tak berhak melihat cantikmu, iya kan?
Tetap teguhlah dengan
jilbabmu, dengan jilbab Allah mencintaimu. Dengan jilbab Allah menjagamu, dengan
jilbab kamu dikenal sebagai wanita muslim. Dengan jilbab ibadahmu terjaga,
dengan jilbab kamu menjadi sebenar-benarnya wanita. Berbahagialah!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar