Senin, 20 Januari 2014

KENAPA BERJILBAB BESAR ?



Kenapa berjilbab besar? Itulah yang sering orang tanyakan pada saya Jika mendapat pertanyaan seperti itu, kadang saya membatin begini, Kenapa kamu tanya? Ya, semua orang memang memiliki persepsi berbeda terhadap perempuan yang berjilbab besar. Pernah suatu hari saya ditegur saudara saya, Eh itu jilbabnya nggak kepanjangan? Ntar dikira istri teroris lho kamu. Perempuan yang berjilbab besar diidentikkan dengan istri teroris.

Jilbab besar juga diidentikkan dengan pergerakan tertentu, misal Hizbut Tahrir Indonesia atau yang lebih dikenal dengan HTI. Kamu anak HTI ya? Entah sudah berapa ratus kata-kata seperti itu mampir di telinga saya. Saya menjawab begini “ Bukan, saya bukan anggota HTI, emangnya kenapa?”, “Kok jilbab kamu besar?”
Glek, lagi-lagi soal jilbab besar.

Entah kenapa, orang-orang yang bertemu saya (untuk pertama kalinya) selalu menjustis saya seperti itu. Tak masalah sebenarnya. Hanya saja kenapa mereka selalu melabeli dengan organisasi tertentu. HTI? Kenapa mereka selalu menganggap HTI itu aliran keras? Yang harus ditakuti dan dihindari?


Saya punya banyak teman anggota HTI, mereka semua baik, tidak ada yang keras atau memaksa saya ini dan itu. Saya juga pernah baca buku kajian mereka. Tidak ada masalah. Lantas kenapa label itu masih membekas? Kenapa HTI seolah-olah menjadi tameng dari penampilan pakaian dan sebuah penilaian tentang keras dan lunak-nya sebuah pergerakan? Rupanya, masyarakat hanya mengikuti kata orang, tanpa melihat, dan mempelajari benar atau tidaknya berita itu.

Tentang jilbab besar, saya juga menyayangkan masyarakat yang menaruh sinisme terhadap perempuan yang begini. Seolah-olah perempuan berjilbab besar itu aneh, tak biasa. Dan masyarakat begitu biasa dengan mereka yang rambutnya tergerai, yang celananya pensil, yang memakai tank top dan hot pants kemna-mana sekalipun. Itu biasa di mata mereka. Lumrah.

Memang, tak bisa dipungkiri, keikutsertaan seseorang pada organisasi atau pergerakan turut mempengaruhi gaya hidup, termasuk penampilan seseorang, misal HTI, KAMMI, IMM, PMII, sehingga seperti identik atau identitas dari pergerakan tersebut, namun tak sedikit pula mereka yang mulai sadar untuk berjilbab justru bukan dari organisasi manapun, tapi muncul atas kesadaran karena sebuah pemahaman. Saya salah satunya.

Saya berjilbab sejak lulus SD karena masuk sebuah madrasah tsanawiyah yang notabene semua siswanya wajib berjilbab. Awalnya saya berjilbab hanya karena peraturan wajib dari sekolah dan pondok. Jika pulang ke rumah saya masih sering lepas jilbab. Jika main dengan teman di sekitar rumah, saya tidak pakai jilbab, tapi jika keluar jauh dari rumah, saya baru memakainya.

Itulah masa penyesuaian saya, semua itu berjalan dua tahun, di tahun ketiga masa Tsanawiyah saya, saya mulai malu jika melepas jilbab. Setelah masuk Aliyah dan masuk asrama putri, saya lagi-lagi hidup di lingkungan feminis yakni asrama putri. Di masa Aliyah ini, saya mulai mengenal, Apa itu HTI, apa itu Aisiyah, apa itu PII dan banyak lagi.

Bukan, bukan salah satu dari organisasi itu yang memnggugah saya untuk terus berjilbab, tapi karena seseorang yang luar biasa. Namanya Millatul Maftuchah, kami biasa memanggilnya Ustadzah Milla, beliau mengajar Bahasa Arab di MAN 3 Kediri dan selama dua tahun hidup di asrama bersama kami, beliaulah pembina kami, baru terakhir digantikan oleh Ustadzah Shoimah.

Dua tahun di bawah bimbingan beliau, saya merasa menemukan jati diri saya. Beliau mengajarkan bagaimana menjadi seorang wanita sesungguhnya, yang pandai dalam akademisnya, bijak dalam bersikap dan teguh menjaga auratnya.

“Wanita yang berpakaian tapi telanjang (transparan) dia tak akan pernah mencium bau surga” itulah ucapan beliau dari sebuah hadist yang membuat saya tertampar, sadar sesadar-sadarnya bahwa saya harus tetap bejilbab. Bagaimana saya akan masuk surga dengan amal baik saya, jika mencium baunya saja tidak boleh, bukankah bau surga itu sudah tercium beratus kilo sebelumnya? Jika semuanya menciun dan memasukinya, bagaimana dengan saya?

Beliaulah terlihat anggun dengan busananya yang tertutup dan jilbabnya yang lebar. Saya pernah bilang dalam hati, suatu hari nanti saya ingin seperti Ustadzah Milla. Beliau yang hafal al-Qur’an, beliau yang selalu meneduhkan, beliau yang keibuan dan beliau yang teguh pada syariat islam, perlahan saya belajar bagaiman menjadi seperti Ustadzah Milla. Akhirnya saya begitu jatuh hati dengan jilbab dan berusaha untuk istiqomah menjaganya. Dalam perjalanan ini, akhirnya saya tahu, bahwa saya telah menjadi Rizza Nasir, bukan lagi seperti Bu Milla, atau ingin seperti beliau. Karena kita berbeda dan kita tak mungkin menyamai satu sama lain. Setidaknya, beliau adalah teladan bagi saya, wanita inspiratif yang telah mengajarkan saya bagaimana menjadi seorang wanita.

Tentang jilbab, atau yang lebih akrab disebut kerudung, sebenarnya tak harus besar. Hanya tiga syarat yang harus dipenuhi. Pertama, Tidak transparan, Kedua, Menutup sampai dada. Ketiga, tidak menampakkan lekuk tubuh. Jika ini sudah dipenuhi, maka insyaallah sudah oke, tak harus lebar, selebar mata kaki kan? Meski itu lebih menjaga tentu saja. Dalam hal berjilbab, tidak ada istilah terlalu panjang, semakin panjang malah semakin baik. Batas pendeknya adalah sampai pada dada masing-masing.

Lalu bagaimana dengan kultur Indonesia yang masih sinisme terhadap mereka yang berjilbab lebar? Ini yang harus kita luruskan. Bukankah menutup aurat itu wajib? Menurut saya, berjilbab itu adalah suatu keteladanan, seperti saya yang melihat Ustadzah Milla lalu tersadar, begitu pula dengan wanita lainnya. Dibutuhkan keteladaan, bukan paksaan.

Paksaan tentu  berbeda dengan pembiasaan. Seorang anak perempuan yang sekolah di Madrasah Ibtidaiyah, mereka wajib berjilbab, karena itu adalah seragam sekolah. Anak-anak itu mungkin tak tahu, tentang wajibnya berjilbab bagi seorang wanita, atau mereka tahu tapi belum memahami sepenuhnya. Berjilbab hanya sebagai usaha mematuhi peraturan, namun jika ini dijadikan pembiasaan, lama kelamaan anak tersebut akan terbiasa dan nyaman dengan jilbabnya. Jika tidak berjilbab ia akan merasa tidak nyaman, kok ada yang kurang ya?

Rasa seperti itulah yang diharapkan muncul dari seorang anak tentang jilbab sebagai pembiasaan, seiring waktu dia akan belajar tentang esensi dan hukum berjilbab. Dia belajar esensinya setelah dia nyaman mengenakannya. Dengan begitu, jilbab akan melekat kuat di hatinya, sebagai suatu penjagaan juga pelaksanaan kewajiban. Mengenakan bukan karena dipaksa, tapi karena pembiasaan dan pemahaman mendalam tentang dirinya. Bukankah metode inquiry dan mendidik dengan teladan itu adalah cara pendidkan yang dianjurkan?

Jilbab, bukan tentang organisasi apa yang diikuti, tapi tentang kenyamanan hati dan pemahaman mendalam tentang penjagaan diri. Mau jilbab lebar atau tak terlalu lebar, terserah yang penting tidak transparan dan ditutupkan pada dadanya. Kebanyakan perempuan terlihat cantik saat dia mengenakan jilbabnya daripada menggerai rambutnya. 

Jika ada yang bilang,“ Kamu cantik kalau nggak pakai jilbab lho”   Berarti kecantikanmu itu hanya untuk suami dan keluargamu saja, bukankah yang melihat kamu tak pakai jilbab hanya suami dan keluargamu saja? Biarkan yang lainnya melihat kamu yang tak cantik dengan jilbab, karena mereka tak berhak melihat cantikmu, iya kan?

Tetap teguhlah dengan jilbabmu, dengan jilbab Allah mencintaimu. Dengan jilbab Allah menjagamu, dengan jilbab kamu dikenal sebagai wanita muslim. Dengan jilbab ibadahmu terjaga, dengan jilbab kamu menjadi sebenar-benarnya wanita. Berbahagialah!


Tidak ada komentar:

Posting Komentar