Jumat, 30 Januari 2015

SAHABATKU YANG BEKU

Baru saja sepuluh menit yang lalu aku sampai, kerja hari ini benar-benar menguras pikiranku juga tenagaku, memang kelihatannya duduk di depan komputer dan sesekali bisa menengok socmed di tab sebelah tapi itu saja tak cukup menghilangkan pegal-pegal di pundak, dan kebuntuan pikiran. Seharian ini ada empat artikel panjang yang harus kutunaikan.  Sekitar 60 halaman folio. Harus riset ke berbagai sumber, harus merangkai kata yang pas, yang langsung menuju sasaran, belajarlah untuk tidak puitis! Itu yang dikatakan atasanku.

Empat tahun terakhir aku memang suka membaca puisi, membaca saja, untukku sendiri bukan deklamasi. Kurasa ini adalah pengaruh teman-teman FLP Malang yang selalu membuatku iri, karena mereka jago sekali di semua lini literasi. Kini, setelah aku bekerja dibalik layar sebuah website perusahaan, aku harus belajar lagi menggunakan bahasa marketing yang lugas, sesekali saat editing masih ada saja kalimatku yang dicoret, lagi-lagi Terlalu puitis! Ah, sudahlah! Yang penting aku sudah belajar dan aku akan belajar lagi!

Kurebahkan tubuhku di atas kasur. Ahh senangnya bertemu bantal, ingin rasanya langsung tidur. Duduk di depan komputer dan berpikir keras benar-benar membuat badanku butuh istirahat sempurna. Tidur! Tapi, ah, bayangan itu lagi membayangi pejaman mataku.

Iya aku di Jogja, sebulan lalu aku diterima kuliah disini, alhamdulillah!

Itu sms yang kukirimkan padanya, setelah dia bertanya, Rizza sekarang kamu di Jogja ya?



Senyap, sms balasanku tak berbalas lagi. Selanjutnya setiap aku mulai membuka facebook dan melihatnya online, dia selalu off. Selalu begitu. Aku datang, dia pergi. Aku sapa di chat ia tak pernah peduli. Beberapa hari lalu dia memang membalas smsku, tapi beda sekali dengan balasannya yang dulu. Datar sekali! Singkat! Padahal itu bukan gayanya, biasanya dia tidak begitu!

Mungkin aku terlalu berlebihan atau salah mengartikan, tapi memang aku paham semua kebiasaan dia, kami cukup dekat selama ini. Aku bisa membaca perubahan apapun dalam dirinya meski kami tak bertemu. Sejenak aku terpikir, apa karena smsku yang dulu? Tentang Jogja? Tentang kuliah S2? Apa salahnya dengan sms itu? Bukankah dia bertanya dan aku menjawabnya? Lalu?


Setahuku dia memang punya ambisi besar untuk melanjutkan S2 dan menjadi dosen, dia bahkan mengutarakan itu jauh hari sebelum aku punya pikiran melanjutkan S2, “Guru bukan jalanku Rizza, kalau dosen mungkin iya, aku mau” Sejujurnya aku juga ingin menjadi dosen, kelihatannya keren, tetapi saat itu untuk kuliah S1 saja masih harus bekerja ngelesi kesana-kemari, bagaimana dengan S2? Rasanya sulit! Apalagi kondisi ekonomi keluarga kami yang terpuruk sejak ayah sakit. Kukubur dalam-dalam impianku, aku lebih memilih menyemangati temanku yang lain, yang punya mimpi S2. Kamu pasti bisa! Itu yang selalu aku katakan, lebih seperti menasehati diri sendiri sebenarnya.

Iya, tak salah lagi! Diterimanya aku kuliah S2 di Jogja, kota impiannya membuat dia acuh padaku. Aku memang tak bilang siapa-siapa saat mendaftar. Kami memiliki kesibukan masing-masing setelah memperjuangkan skripsi dan wisuda. Bahkan aku harus menganggur beberapa bukan sebelum akhirnya S2, masa pengangguran itu sangat membosankan dan menyakitkan bagiku. Dia lebih beruntung karena masih bisa hidup di Malang, dan memiliki pekerjaan yang mapan. Ya, dia masih disana sementara aku terpuruk di Kediri.

Kejadian ini hampir sama dengan sahabatku yang lain, saat itu aku ikut perjalanan ke Jakarta bersama teman-teman PGMI, kuberitahukan padanya bahwa aku sekarang di Jakarta, diantara rute perjalannan itu kami serombongan singgah di Empat Mata.

Kalau kamu suka nonton empat mata, nanti nonton ya! Ada aku disana

Kuketikkan sms itu, sebenarnya bukan hanya kepadanya, tapi pada keluargaku juga. Maksudku sebenarnya bukan menonton diriku, tentu saja aku bukan bintang tamu. Aku akan ada di barisan penonton yang mungkin tak kelihatan di tivi, kabarnya bintang tamu hari ini sangat inspiratif, makanya aku mengirim sms itu, agar semuanya bisa mengambil pelajaran dari bintang tamu hari itu. Aku secara langsung di studio, mereka dari layar kaca. Menurutku itu  sama saja!

Tapi tak kusangka responnya berbeda, sehari setelah aku pulang dari Jakarta, ia menandaiku sebuah catatan di facebook. Sebuah cerpen. Meski tak ada namaku, tapi aku tahu dia menceritakan diriku. Dalam cerita itu, dia merasa kalah dariku, dia ingin seperti aku tapi tak mampu. Dia ingin bisa pergi kemana-mana agar tak terpenjara dinding rumahnya tapi ia tak tahu caranya. Dia menangis semalaman saat tahu malam itu aku di Jakarta, dia merutuki dirinya yang tak bisa apa-apa. Dia bilang aku terlalu jauh mengunggulinya.

Membacanya benar-benar membuatku merasa bersalah, harusnya tak kukirim sms itu padanya. Mungkin orang lain akan menanggapi sms itu biasa saja, tapi dia berbeda. Rupanya selama ini dia menganggapku sebagai cermin. Dia ingin seperti aku. Padahal sampai kapanpun dia tak akan bisa menjadi diriku pun aku juga tak mau menjadi dirinya. Kami harus menjalani hidup kami masing-masing dan memperjuangkannya. Menjadi diri sendiri bagaimanapun keadaannya adalah keindahan, menurutku. Tapi dia benar-benar terpuruk, dia bahkan menangis semalaman gara-gara aku. Ah aku semakin galau, apakah aku melukainya?

Suatu hari di kesempatan berbeda, hari itu hari pengumuman PKLI Malaysia, aku tahu sahabatku ini sangat menginginkan kesempatan itu. Ambisinya jelas sekali terlihat. Sementara aku? Aku sama sekali tidak ambisi, hanya ingin mencoba peruntungan saja. Kalau lolos ya alhamdulillah, kalau tidak ya tak masalah. Toh aku punya mimpi menjadi guru praktikan di MIN 1 Malang dari dulu, bukan Malaysia

Dia tak membalas sapaanku saat kami bertemu, dia melengos begitu saja. Saat itu kami bertemu di tangga gedung B. Mulutnya cemberut dan raut mukanya kusut, sangat tak enak dilihat. Saat kutamya “Kamu kenapa?” Dia tak menjawab lalu pergi.

Setelah bertemu dengannya aku menuju gedung micro teaching, ingin tahu hasil pengumuman seleksi itu. Ternyata benar disitu ada namaku. Sama persis seperti yang di smskan salah satu temanku. Aku diterima! Ya! Senang sekali rasanya!

Aku harus menyelesaikan skripsi, mengurus keperluan ayah yang opname sampai mengurus pasport dan semua keperluan berangkat ke Malaysia, aku hampir saja lupa temanku yang marah padaku karena aku yang diterima dan dia tidak. Yang jelas dia masih acuh padaku saat beberapa kali kami bertemu.

Tapi Tuhan telah menghapus lukanya, tepat 10 Mei 2014, hari wisudaku, kami bertemu. Kali ini raut mukanya cerah, “Rizzaaaa, wah, akhirnya kamu wisuda, kamu cantik sekali!” Dia berkata seperti itu sambil mengacak-ngacak wajahku. Lalu memelukku erat! Tuhan terima kasih kau kembalikan dia seperti dulu.

Selama ini aku hanya ingin membahagiakan orang tuaku, aku ingin terus berjuang dan memotivasi diriku sendiri, bahwa aku bisa mencentang semua bucket list yang kubuat. Untuk itulah aku terus semangat. Aku juga berusaha memberi semangat pada semua orang yang kukenal, terlebih pada mereka yang memiliki kondisi fisik yang sama denganku. Tak ada lagi yang bisa kuperbuat kecuali itu. Kadang aku tak habis pikir, kenapa mereka yang hidupnya normal terus mengeluh dan kenapa mereka yang punya kekurangan juga mengeluh, bahkan cenderung mengutuki nasib sendiri. Keluhannya sama setiap hari, setiap saat! Aku mencoba tenang dan sabar menghadapinya, meski kadang-kadang jengkel juga. Masalah itu lagi? Bukankah kemarin sudah selesai?

Apakah salah jika aku terus berusaha melakukan yang terbaik? Apakah salah jika aku berusaha menjadikan setiap ketidakmungkinan atas diriku menjadi mungkin? Jika akhirnya aku mendapatkannya, dan mereka menjadi cemburu dan bersikap beku padaku. Apakah itu salahku? Kurasa, itu bukan salahku dan mimpi-mimpiku!

Bukankah sudah beratus-ratus kali aku katakan, kita bisa melakukan hal yang kita inginkan asalkan kita mau! Kalau tidak bisa ya usahakan bisa, kalau tidak boleh ya yakinkan agar boleh, buktikan bahwa kita bisa menggapai keinginan kita!

Aku tak punya mantra apa-apa. Aku hanya punya bismillah dan kemauan. Toh itu semua sudah kukatakan padamu, padamu dan padamu yang lain. Sudah kan? Lalu kenapa kalian beku padaku? Tak lagi menyambut sapaanku? menganggapku sebagai saingan? Musuh, yang pada akhirnya harus kalian kalahkan?

Kalau kalian tahu, aku tak bisa apa-apa. Kalian terlampau sempurna untuk kukalahkan. Lagipula aku tak menganggap diantara kita ada persaingan, aku tak ingin mengalahkan siapapun! Bagiku, kita bisa berjalan beriringan tanpa mendahului. Kita bisa bersama menggapai mimpi-mimpi.

Kalau aku mau, aku bisa mengikhlaskan kebekuan dan kehilangan kalian, toh temanku banyak jumlahnya. Aku masih memiliki yang lain. Tapi aku tak sejahat itu! Sejak pertemuan kita entah berapa tahun lalu, aku berjanji akan menjadikan ukhuwah ini tak hanya sekedar pertemanan, tapi saudara sampai tua!

Kalian, kapan kebekuan ini mencair? Nomer handphoneku masih sama, akun facebook, email dan twitterku masih sama. Rizza Nasir. Tak inginkah kalian menyapaku lagi?

Aku bangun dari tiduranku, ingin mengganti pakaian lalu membasuh wajah yang kusam. Biasanya capak kerja akan hilang jika sudah menyentuh air. Tiba-tiba sebuah sms masuk

Oh jadi sekarang tinggal di Jogja? Kuliah, kerja atau ikut mertua?

Aku teringat kemarin menanyakan kontak FLP Jogja, aku tanya nomer, bukan balasan sms seperti ini yang kuinginkan. Balasan seperti ini yang telah membuatku terjebak kebekuan panjang

Ikut mertua? Ah belum, belum dipertemukan dengan dia nih. Aku nggak kuliah, aku kerja disini, masih baru, dalam masa percobaan. Send

Setahuku, dia punya impian tersendiri atas nama Jogja. Untuk itu aku membalasnya seperti itu. Aku tahu aku berdosa karena berbohong padanya, tapi seperti yang sudah-sudah kejujuran telah melumatkanku pada kebekuan, aku nyaris kehilangan sahabat-sahabatku. Jika aku kehilangan yang lain, aku tak ingin kehilangan lagi yang ini. Aku akan jujur, tapi nanti. Entah kapan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar