Rabu, 10 Desember 2014

MENDAMPINGI KEMARAHAN



Saya selalu ngeri ketika melihat orang marah, dahinya yang mengkerut, pipinya yang memberengut, giginya yang gemeretuk, apalagi ditambah nada suaranya yang meninggi. Kadang kata-kata sengak keluar dari mulutnya dan tingkah liar dilakukannya. Ngeri sekali! Meski tak semua kemarahan seperti itu, ada pula orang yang marah dengan diam atau lebih tepatnya mendiamkan, cuek dan dingin. Orang dengan tipe marah seperti ini memang tidak mengerikan bagi saya, tapi susah dipahami apa maunya.

Adapula marah yang tidak muncul dari sikap, tapi dari tulisannya, kata-katanya. Orang yang marah biasanya tulisannya acak-acakan, sekenanya dan tak dipahami dengan jelas maksudnya, adapula yang marah dengan deskripsi yang tertata, namun jelas sekali bahwa ia marah dan kecewa. Tulisan memang sederhana, tapi ia bisa memberi banyak makna, termasuk mengatakan pada semua orang kalau aku marah, aku kecewa!

Saya mengerti, emosi memang susah sekali dikendalikan dalam keadaan tertentu, apalagi saat kondisi begitu mengecewakan dan menyebalkan, semua tidak beres, semua gagal. Rasanya seperti ada paku menghujam hati, rasanya seperti baju kumal yang diperas berkali-kali. Marah, sebal, kecewa, terluka!


Tapi, saya tahu sebagai seorang perempuan saya harus pandai-pandai menahan emosi dan meredam emosi orang lain. Karena perempuan jika tidak pandai mengendalikan dan mengarahkan emosinya, akan lebih mengerikan dan menyakitkan orang lain. Pernah lihat perempuan jambak-jambak rambut kan? Saling cubit lalu teriak-teriak emosional, umpatan keluar dan saling dorong pun tak terelakan. Ujung-ujungnya setelah merasa capek bertengkar dan jengekel tak ketulungan ia akan menangis sambil terus mengumpat. Marah perempuan-perempuan yang seperti ini sangat lucu dan mengemparkan, karena semua orang pasti mendengar teriakan emosional itu.

Beda dengan lelaki, meskipun cara bertengkarnya lebih garang, saling tonjok, saling tendang, saling tampar, tapi lelaki diam dalam marahnya, umpatannya tak sebanyak perempuan mengumpat. Lelaki dalam pertengkarannya tak mungkin berteriak-teriak seperti perempuan. Meski garang dan sangar, pertengkaran antar lelaki lebih heroik dan menaikkan adrenalin daripada pertengkaran perempuan.

Tapi, marah dan kecewa bukan hanya soal pertengkaran personal. Marah dan kecewa juga terjadi pada orang tua kepada putra-putrinya. Sering kan dimarahi ayah dan ibu? Itu sebenarnya bukan karena mereka yang pemarah, tapi karena kita sebagai anak yang salah dan harus diluruskan. Jika mereka memarahi dan menasehati, itu tandanya masih sayang dan peduli.

Sebagai seorang yang telah dewasa, tentu kita harus belajar mengelola kemarahan dan memposisikan diri dengan kemarahan seseorang. Karena di masa depan kita juga akan menjadi orang tua, menjadi ayah dan ibu. Dari orang tua saya, dari kakak-kakak sepupu saya yang sudah punya beberapa anak, saya belajar satu hal tentang mendampingi kemarahan.

Mereka tak pernah memarahi anak mereka secara bersamaan. Jika anak berbuat salah dan harus diluruskan, jika ayah harus marah, maka ibu hanya diam dan menenangkan. Menenangkan suaminya dan anaknya. Begitupun sebaliknya.

Dari mereka saya belajar, bahwa marah bersama-sama hanya akan membuat anak tertekan dan merasa dihakimi bahkan mereka akan merasa sangat bersalah. Untuk itulah harus ada salah satu yang jadi ‘pendamai’. Jika ayah sudah sejak tadi memarahi putranya, maka ibu hanya diam, memandangi putranya yang tertunduk, lalu setelah dirasa cukup ibu akan meminta ayah menyudahi kemarahannya. Lalu ibu memeluk putranya dan membawanya berbincang berdua, ibu akan menenangkan dan menasehati dengan tenang. Begitupun sebaliknya, jika ibu yang sedang tidak bisa mengontrol emosinya, maka ayah yang jadi ‘pendamai’ begitulah ilustrasinya.

Meski memarahi anak tentu tidak baik juga, seharusnya sebisa mungkin orang tua bisa menahan emosinya dan memilih menasehati pelan-pelan pada putranya. Anak yang dididik orang tua yang sabar tentu berbeda dengan anak yang dididik orang tua yang garang, tapi siapa yang bisa menjamin emosi manusia? Naik turunnya tak bisa diprediksi.

Meski sama-sama marah, meski sama-sama kecewa, mendampingi kemarahan mutlak harus dilakukan oleh orang tua pada anaknya, oleh kakak pada adiknya, oleh senior pada juniornya, oleh atasan pada bawahannya atau barangkali berbalik, kemarahan dari yang lebih muda ke yang lebih tua.

Meski diam, bukan berarti pendamping kemarahan acuh, cuek dan tega melihat seseorang di serang amarah. Itulah cara terbaik untuk memberikan kesadaran, efek jera sekaligus menenangkan. Sebagai perempuan saya juga harus belajar untuk mendampingi kemarahan dalam diam karena selama ini sudah terlalu banyak bicara dan emosional. Marah itu wajar, kecewa itu biasa, yang tak biasa adalah ketika kita bisa mendampingi kemarahan dalam diam dan menenangkan, menguatkan dan menyadarkan pelan-pelan.

Bukankah seorang perempuan itu tempat bercerita dan penawar luka? Bukankah seorang ibu itu tempat mengadu? Saya harus lebih banyak belajar, belajar mendampingi kemarahan.

Yogyakarta, 8 Desember 2014
Rizza Nasir

1 komentar:

  1. Ada gak ya marah yang benar. Saya hampir gak pernah marah karena saya tidak tahu marah yang benar. Marah yang tidak menyakiti hati dan fisik orang yang dimarahi.

    BalasHapus