Selasa, 03 Februari 2015

JANGAN MINDER MAS...



Saya mengenal seorang pria, 25 tahun usianya. Sebut saja namanya Hari. Dia adalah teman kerja saya. Satu tim kami 3 orang. Saya, Mas Hari dan Mbak Dea. Sejak saya bergabung dalam tim ini hampir 3 bulan ini, saya merasa mereka berdua lebih dari sekedar rekan kerja, mereka sudah seperti saudara saya sendiri.

Di sela-sela jam kerja, untuk menghilangkan kebosanan saya biasa membuka perbimcangan. Tentang banyak hal, isu terkini,  lagu baru, film baru, tulisan atau saya minta diajari editing dan video making. Pendek kata bersama mereka saya menemukan kembali iklim berbincang dan diskusi yang dulu akrab saya jalani di berbagai organisasi yang saya ikuti.

Salah satu yang pernah menjadi perbincangan serius kami bertiga adalah foto yang diunggah Mas Hari di akun facebooknya. Fotonya saat menghadiri wisuda kekasihnya di sebuah universitas swasta di Jogja. Saya tak tahu pasti apakah perempuan tersebut seusia atau adik kelasnya. Yang pasti, Mas Hari seharusnya juga sudah wisuda, karena dia masuk di jurusan IT pada tahun 2009. Diterima bekerja dan kesibukannya mengikuti event IT membuatnya memilih menunda wisuda dan akhirnya kekasihnya yang wisuda lebih dulu.

Sebelum hari wisuda itu tiba, Mas Hari memang pernah cerita tentang kekasihnya pada saya dan Mbak Dea, kami sering menggodanya, meminta dia segera melamar. Nanti keburu dilamar orang. Tapi kelihatannya Mas Hari santai saja. Hanya senyum-senyum sendiri,  tidak jelas apa arah senyum itu.

Sehari setelah menghadiri wisuda, saya bertanya padanya, lebih tepatnya penasaran, bagaimana ceritanya saat bertemu orang tua kekasihnya itu di prosesi wisuda. Awalnya dia bercerita dengan senyuman, kelihatannya bahagia bisa mendampingi wisuda, terlebih menyandingnya saat berfoto bersama.

Raut muka Mas Hari berubah lesu ketika ia mengatakan, “Ada seorang lelaki sudah PNS yang melamar dia, dia bilang padaku semalam”


Kami kaget, “Benarkah begitu?” Mas Hari hanya mengangkat bahu dan membuang muka. Saya dan Mbak Dea hanya berpandangan.

“Orang tuanya memang ngobrol denganku, sambutannya baik kemarin, tapi ketika di rumah orang tuanya meminta dia untuk memastikan, apakah aku benar-benar serius atau hanya main-main. Kalau memang serius, segera tamatkan sarjana dan menikah. Kalau tidak, sudah ada yang mengutarakan ingin melamar, dia sudah mapan, sudah PNS”

Saya kelu mendengar ucapannya. Menyedihkan!

“Kalian tahu kan, aku belum menyentuh skripsiku. Masih harus setengah tahun lagi, itupun kalau aku benar-benar serius. Kerjaku juga begini bersama kalian, gajinya nggak seberapa, nggak sebanding dengan PNS, apalagi dia akan melanjutkan S2 di UGM bulan depan”

Lengkap sudah, gadis itu benar-benar sudah melumatkan kepercayaan diri Mas Hari . Sejenak aku termenung, apakah itu yang dirasakan lelaki? Kebanyakan lelaki? Apakah semua lelaki begitu terintimidasi saat perempuannya berada pada titik lebih tinggi? Apakah ia minder saat ada lelaki lain yang lebih mapan?

Ah, saya jadi ingat nasehat beberapa saudara yang mengatakan, “Jangan melanjutkan S2 dulu sebelum menikah Za, kalau kamu S2 nanti lelaki yang melamar kamu akan minder”

Saya galau berat saat itu, untung saja ibu dan ayah meyakinkan dan mengizinkan untuk S2, “Jodoh itu bakalan datang semdiri Nduk, kuliahlah kalau kamu mau kuliah, jangan takut. Jodohmu sudah pasti ada, tugasmu adalah memperjuangkan yang lain. Budalo Nduk!” Itu kata ibu yang menguatkan saya, membuat mantap mendaftar S2. Bagi saya mendapatkan restu orang tua adalah modal yang mematahkan semua keraguan.

Andai semua lelaki tahu, bahwa perempuan melihat seorang lelaki dari potensi, bukan yang ia capai saat ini. Memang banyak perempuan yang di cap matre. Tapi perempuan yang mengerti, ia akan mencintai lelakinya sepaket. Kekurangan dan kelebihannya. Ia akan menghormati lelakinya sebagai suaminya, lelaki yang memegang kunci surganya. Terlepas dari istri yang pendidikannya lebih tinggi atau penghasilannya lebih mapan. Di rumah istri tetaplah istri, dan suami adalah suami. Suami tetaplah pemimpin baginya, bagaimanapun keadaannya. Masih adakah alasan untuk minder?


Saya memahami ego lelaki memang tinggi, sejak kecil lelaki memang sudah didoktrin sebagai petinggi, sing ngayomi lan ngragati,  mungkin rasa minder itu muncul karena sebagai lelaki ia merasa kalah dari perempuannya yang penghasilannya atau pendidikannya lebih tinggi. Merasa kalah dan kehilangan kepercayaan diri. Saya rasa semua lelaki harus instropeksi jika ingin mempertahankan rasa minder itu lebih lama.

Sebagian lelaki menginginkan istri yang di bawah dia, lebih muda usianya, pendidikannya di bawahnya dan lebih bergantung padanya. Iya kan? Sebagian yang lain menginginkan istri yang dewasa jiwanya, lebih tinggi pendidikannya, lebih cerdas dan mandiri Iya kan?

Ini beda lagi dengan lelaki yang teguh memegang prinsip jawa. Lelaki yang kelak jika beristri, berpotensi menempatkan istrinya sebagai wargo kapindo, yang berarti dia harus manut pada semua ucapan suaminya, salah atau benar manut saja, tidak boleh membantah dan harus menuruti semua peraturan suami. Pokoknya apa permintaan suami laksanakan! Tidak boleh menolak! Memang sudah sepatutnya begitu! Suami menguasai istri sepenuhnya! Ini tentu sangat menyiksa batin istri, meski budaya telah mengajari mereka untuk nrimo.

Apakah lelaki yang  bermimpi besar dan berpemikiran matang mau menikahi perempuan yang tidak bisa apa-apa, kurang pergaulan dan pengalaman? Apakah ia mau anak-anaknya lahir dari perempuan yang hanya bisa menuntut kesejahteraan dan tidak bisa mengelola uang dengan benar? Apakah ia mau dalam perkembangan karirnya, ia masih harus mengajari istrinya tentang hal-hal yang seharusnya sudah dikuasai istrinya sebelum pernikahan mereka? Sudah jelas bukan, bahwa perempuan yang kelak mendampingimu harus berkualitas?

Tapi entah kenapa kebanyakan lelaki masih berkubang pada minder. Perasaan minder lelaki itu sangat menyiksa. Baik untuk lelaki itu sendiri juga bagi perempuannya. Padahal perempuan yang paham benar dan dewasa, ia tak akan menuntut macam-macam. Ia hanya ingin kepastian dan keberanian dari lelakinya untuk memperjuangkannya. Sementara lelaki masih harus mengalahkan mindernya, takut-takut, maju mundur, maju mundur. Iya tidak-iya tidak! Ah, ini sangat menyiksa perempuan Mas!


Untuk masalah penghidupan dan kesejahteraan, tak usah risaukan itu! Memang, dalam rumah tangga kokohnya ekonomi itu penting, tapi perempuan yang dewasa akan memahami bahwa lelakinya tak harus mapan sekarang. Ia akan lebih bahagia jika bisa mendampimgi suaminya dari mulai nol sampai akhirnya sukses. Sekali lagi, perempuan yang paham benar, dia melihat potensi! Saya percaya, saat sudah memiliki tanggung jawab anak dan istri, lelaki akan tumbuh jiwanya untuk menghidupi. Bukankah Allah sudah berjanji bahwa pernikahan membuka pintu rezeki?

Hey Mas yang baca tulisan ini. Jangan minder Mas! Jika kamu benar-benar merasa perempuanmu adalah perempuan yang tepat untuk jadi ibu anak-anakmu. Segera pastikan dia, beri dia kepastian bahwa kamu memilihnya. Jangan ragu atau takut! Ragu dan takutmu itu tak akan menyelesaikan apa-apa, juga tak akan membawa hubungan kalian berakhir bahagia. Bukankah sejarah mencatat, sejak dulu lelaki selalu ingin mendobrak dan memulai? Mulailah Mas! Kamu punya hak untuk itu! Barangkali perempuan itu sekarang sedang menunggumu!

Mas, mungkin sekarang kamu sedang minder karena perempuanmu lebih tinggi darimu, baik dari pendidikannya atau penghasilannya. Yakini, jika memang dia perempuan shalihah yang berbudi, dia akan menghormatimu sebagai suaminya, ayah dari anak-anaknya. Dia akan menghebatkanmu dan dia bisa menjadi partner hidup yang baik untukmu. Lagipula, pernikahan bukan tentang siapa yang menghormati dan dihormati bukan? Masing-masing punya hak yang sama dalam penghormatan, kasih sayang dan kesejahteraan. Masing-masing punya kewajiban yang sama dalam mendidik buah hati dan mewujudkan sakinah mawaddah warahmah. Iya kan? Living partner!

Saya memang belum menikah, tapi saya bisa menuliskan ini karena saya sudah membuktikan bahwa kekuatan cinta dan partner hidup yang benar-benar sejati itu ada. Ayah dan ibu saya! Ayah saya hanya lulusan PGA Kediri, sementara ibu yang lebih muda darinya telah menamatkan sarjana Filsafat di UGM. Saat mereka menikah ibu saya sudah menjadi dosen di UNISKA. Ayah menikahi ibu karena menganggap ibu adalah perempuan cerdas dan mandiri. Aku iki wong lanang goblok, lek aku golek bojo goblok pisan. Koyo opo gobloke anakku, mangkane aku golek bojo wong pinter, ben iso duwe anak pinter-pinter!

Kini ayah dan ibu saya sudah menikah 24 tahun. Mereka rukun. Ibu menjadi istri yang sangat baik dalam mengelola rumah tangga. Padahal ayah saya hanya petani, sementara ibu keluar dari pekerjaannya dan fokus menjadi ibu rumah tangga, tapi saya tak pernah merasa kekurangan, itu karena ibu saya yang cakap. Saya dan adik-adik juga tumbuh sehat dan punya semangat belajar tinggi. Itu karena ibu saya yang pandai mengurus kami dan memberikan motivasi terbesar agar kami terus sekolah.

Ayah menghormati ibu dan ibu menghormati ayah. Meski kini ayah saya sakit-sakitan, hampir buta, harus cuci darah seminggu dua kali dan berteman kursi roda. Ibu saya tetap tegak menopang keluarga kami. Ibu saya bekerja dan merawat ayah saya dengan baik dan sabar. Dalam keadaan senadir itu, ayah dan ibu masih bisa guyonan berdua. Masih bisa tertawa bahagia. Mereka telah menemukan bahagia yang lain. Lebih dari sekedar fisik, kemapanan dan tingginya pendidikan.

Salam untuk Mas masa depan saya, siapapun namanya, dimanapun dia sekarang....

Mas, Tak perlu minder denganku, meski sekarang aku menempuh S2 dan sudah bekerja. Jika memang kamu yakin ingin menjadikan aku ibu dari anak-anakmu, tak usah minder Mas! Katakan padaku atau langsung pada ayahku! Aku tak butuh gelar! Gelarku atau gelarmu, ini semua hanya fiktif! Aku butuh kita yang nyata.  Aku butuh dirimu untuk menyempurnakan separuh agamaku!
Mas, siapa namamu? Apakah kita  sudah pernah bertemu?

Dan untuk kalian Mas Mas yang masih minder dengan perempuan impiannya. Saya berikan bingkisan ini, ini pernah diucapkan Mario Teguh suatu hari :

PEREMPUAN YANG PANTAS KAU MILIKI, TAK DAPAT KAU KUASAI
KARENA DIA SUCI JIWANYA, CERDAS DAN MANDIRI

Sudahkah perempuanmu sekualitas itu Mas?

Sampaikan salamku padanya


Rizza Nasir

1 komentar:

  1. Aku iki wong lanang goblok, lek aku golek bojo goblok pisan. Koyo opo gobloke anakku, mangkane aku golek bojo wong pinter, ben iso duwe anak pinter-pinter!

    Pesan yang sama dengan bapakku! Tapi versinya lain

    Le, Bapak kuliah gak selesai, bapak cuma juru ketik di kantor, sekarang jaman komputer bapak gak bisa apa-apa, Selain ngantor bapak gak bisa ngerjain apa-apa lagi. mamamu memang bukan sarjana, Tapi ia pintarnya sama dengan sarjana. Yang sama kamu dengan bapak itu nekatnya. Jangan salah pilih istrui,le. Cari istri yang pinter, le!

    Pesan terbaru :
    Ojo njalok Istri ning Jowo engko ora betah ning Papua

    BalasHapus