Minggu, 15 Februari 2015

IN MEMORIAM : SETAHUN LETUSAN GUNUNG KELUD (15 FEBRUARI 2014)

Anak Gunung Kelud Sebelum Erupsi

Cepat sekali waktu berlalu, sudah setahun sejak Gunung Kelud meletus. Aku masih sangat ingat malam itu, dan hari-hari setelahnya. Mungkin, aku tak pernah lupa!

Malam itu pukul 22.00 tanggal 15 Februari 2014. Kami sekeluarga, ayah, ibu, aku, Faisal dan Farid sudah bersiap istirahat, tamu yang membesuk ayahku sudah pulang semua. Ayah juga sudah terlelap, alat bantu jantung masih terpasang, tapi oksigen di hidungnya sudah dilepas. Aku lega! Kuharap malam ini aku bisa tidur lebih nyenyak dari sebelumnya.

Adikku, Faisal dan Farid juga sudah menggelar karpet di luar kamar, biasanya mereka tidur disana, kemulan sarung berdua. Selama hampir dua minggu ini, hampir tiap malam, dua adikku itu tidur di luaran. Sesekali sambil membawa buku sekolah, atau buku les. Mereka berdua memang harus bersiap menghadapi ujian akhir nasional. Faisal kelas 3 SMA, Farid kelas 6 SD. Kadang aku tega, mereka harus konsentrasi penuh sekolah tapi disaat yang sama ayah sedang sakit parah. Paling parah dari yang sebelum-sebelumnya.

Tapi aku bisa apa? Aku cuma bisa berdoa untuk kesembuhan ayah, bahkan aku selalu meminta yang terbaik untuk ayah, karena memang sudah sangat parah. Aku tak tega melihat ibu menangis setiap hari. Hanya doa itu saja! Apapaun yang terjadi aku berusaha menyelesaikan skripsiku. Setahun lalu, tepat di awal 2014, aku adalah mahasiswa dengan skripsi yang galau, selesai tidak, selesai tidak. Tapi karena ayah sakit begitu. Aku katakan pada diriku. “Harus selesai! Atau kamu akan menyesal Za!”

Aku membuka file skripsi, ingin kujabarkan lima halaman lagi sebelum tidur, tapi tayangan TV One yang sedang dilihat ibu menyita konsentrasiku. Berita itu mengatakan kalau status Gunung Kelud berubah menjadi awas! Kemungkinan besar akan meletus malam hari ini. Ini bukan saatnya mengerjakan skripsi! Ibu menelepon Bulik El, menanyakan bagaimana kondisi desa kami, Desa Jarak Kecamatan Plosoklaten Kabupaten Kediri, tempatku tinggal hanya berjarak 25 km dari Gunung Kelud. Beberapa waktu sebelumnya, pos pengungsian sudah dipersiapkan dibeberapa sekolah. Pendek kata, kami sudah siap kapanpun Kelud akan meletus.



Kata Bulik El di masjid depan rumahku sudah ramai, semua orang berkumpul disana. Bahkan ada juga yang membawa sapi dan ternak mereka yang lain. Kilat api uga terlihat jelas dari rumahku. Aku mendengar percakapan antara ibu dan bulik yang di loudspeaker. Faisal rupanya sudah di sms teman-temannya. Dia meminta izin untuk pulang ke rumah malam itu juga. Sebenarnya ibu agak berat mengizinkan, ini sudah larut, lagipula kondisi sedang mencekam. “Ora usah muleh Le, nglumpuk ae ning kene, wong wong tuane neng kene kabeh” kata ibuku cemas pada adikku. Tapi Faisal memaksa pulang, dia bilang dia khawatir dengan rumah kami,  dia ingin membantu orang-orang yang ada di masjid sana, pasti butuh banyak pemuda. Akhirnya Faisal dan Farid pulang, ibu melepasnya, “Ati-ati Le, wes ra sah ngebut. Lek enek opo-opo kabari ibuk”

Aku lekat menatap televisi. Melihat laporan dari berbagai sudut Kediri. Sudut pantau beberapa reporter TV. Malam itu aku merasa Kediri mendadak terkenal. Kukirimkan sms pada seluruh keluarga. Mengabarkan kejadian ini, memohon doa agar kami baik-baik saja. Sekaligus update info dari Blitar dan Malang, tapi rupanya banyak yang belum tahu kondisi ini, padahal di Kediri sudah mencekam begini.
Kelud saat erupsi

Allahu Akbar!


Sampai akhirnya terdengar suara hujan dan petir di luar, kupikir hujan biasa. Kurekatkan kembali selimut ayah, hujan malam-malam pasti dingin. Tapi ternyata aku salah. Itu bukan hujan air yang dingin, tapi hujan pasir. “Mbak reneo, metuo!” Kata ibu dari luar. Aku bergegas keluar. Masyaallah! Pasir turun dari langit! Sederas ini, suaranya mirip dengan hujan air, kilat dan petirnya, gelegarnya persis sama. Tapi ini pasir bukan air!

Mbak arep neng ndi?” Ibuku heran melihat aku memakai jaket lalu keluar. Aku hanya tersenyum, “wes ibuk ndek kene ae sek ya” ibu hanya geleng-geleng kepala, lalu kembali menelepon, entah siapa.

Aku berjalan cepat menyusuri koridor rumah sakit. Lengang! Semua pasien terlelap. Hanya ada beberapa penunggu yang keluar, keheranan menyaksikan hujan pasir sebanyak itu. Aku mencari tangga naik ke lantai dua. “Eh Mbak Rizza, mau kemana malam-malam begini?”, “Kelud meletus Mbak, sudah dikamar saja”

“Mau ke atas Sus! Kalau mau ikut ayuk” Mungkin kami seusia, aku akrab dengannya beberapa hari ini. Aku lupa kalau dia sedang bertugas, tak seenaknya saja bisa kemana-mana seperti aku. Di lantai dua, di pinggiran balkon kulihat jelas kilatan-kilatan petir di langit, sesekali ada kilat seperti api. Suara pasir masih mericis sejak tadi, semakin lama semakin deras. Sesekali terdengar pletuk pletuk, sepertinya itu kerikil kecil.


Kilat Kelud diambil dari pinggir sawah
Allah, terima kasih atas kesempatan luar biasa ini! Ini adalah musibah bagi kami, tapi lewat ini Kau tunjukkan bahwa letusan Gunung Kelud memang dahsyat. Kau tunjukkan, meski kecil anak Gunung Kelud sangat garang. Kau tunjukkan bahwa kami adalah makhluk kecil, lemah dan takut. Tak ada pelindung kecuali Engkau, tak ada tempat berharap kecuali Engkau.

Aku masih terus mematung disitu, merapal doa apa saja yang kubisa entah sampai jam berapa, yang jelas aku tak bisa tidur malam itu. Ini malam yang langka, sayang sekali kalau ditinggal tidur!

Pagi harinya genting rumah sakit tertutup pasir, seluruh rerumputan juga, bahkan pohon-pohon dan lantai beranda kamar. Pasir putih! Pasir yang lembut, bau belerang tercium kuat. Masyaallah! Pagi hari itu pasien bertambah 40 orang! Semuanya pria, mereka terjatuh dari atas genting saat akan membersihkan pasir di atas genting rumah mereka. Bahka ada dua orang yang meninggal seketika. Pasir vulkanik ini memang licin, tak sembarang orang bisa membersihkannya. Berjalan di lantai saja sangat lincin, apalagi di atas genting? Saya tak bisa membayangkan.

Beruntunglah mereka yang mempunyai keseimnbangan diri yang prima dan ahli bangunan, pasca letusan Kelud, banyak orang yang mempunyai pekerjaan baru, jasa bersih-bersih pasir! Karena resikonya besar, maka harganya sangat mahal. Kebersihan genting rumah  Mak di Setono Gedong harus diangsur 400 ribu. Harga tergantung pada luas rumahnya.
 
Desa yang paling terdampak Kelud, beginilah desa saya juga,
 meski tak separah desa ini tapi beginilah suasananya
pasir dimana-mana

Percuma Anda mencuci motor atau mobil,
dua minggu pasca Kelud erupsi, kendaraan di Kediri tak pernah terlihat bersih

Tukang bangunan menjadi primadona, karena banyak rumah yang rusak. Mulai dari Talang air yang rusak, genting yang runtuh sampai tembok yang rusak. Rumahku mengalami ini, dapurku yang di atapi seng rusak berat. Seng itu tak kuat menahan pasir yang mericis hebat malam itu. Hanya semalam, tapi pasir itu sudah merusak banyak rumah!

Dua hari setelahnya sekolah-sekolah di Kediri diliburkan, pasar-pasar sepi tak ada penjual. Jalanan juga lengang. Semua orang enggan keluar, pasir Kelud di jalanan membuat jarak pandang sangat terbatas dan  licin, sehingga semua kendaraan berjalan pelan. Pernafasan pun terganggu. Karenanya banyak di jalan-jalan relawan membagikan masker gratis. Toko yang menjual masker pun laris, harganya tiga kali lipat!

Petugas dari Yonif 521, anak-anak Pramuka dan masyarakat kerja bakti membersihkan pasir di jalanan. Anak-anak membantu orang tua mereka membersihkan rumah. Tak ada yang tidak bergerak! Semua benar-benar melawan pasir!

Di rumah sakit pun begitu, semua OB bekerja membersihkan pasir, menyapu lantai tak cukup sekali, berkali-kali! Semua ini akan berakhir jika hujan segera turun. Hujan akan membuat debu-debu itu tak lagi liar bersama angin. Hujan akan membuat debu Kelud luruh bersama air dan menyatu tanah.

Lahar dingin melewati persawahan di Ngantang Malang
Kami memang berdoa memohon hujan, tapi kami cemas, jika hujan turun, maka lahar dingin adalah tantangan selanjutnya. Ya, setelah berjuang melawan pasir, dalam gunung meletus, yang harus diantisipasi setelahnya adalah datangnya lahar dingin. Kebetulan rumahku dekat sekali dengan jalan aliran lahar. Semoga semuanya baik-baik saja!  Itu doaku, doa ibu, doa adik dan semua warga Dusun Bendo Desa Jarak Kecamatan Plosoklaten Kabupaten Kediri. Bagaimana tidak, rumahku 500 meter dari jembatan Jengkol. Jembatan yang dbangun khusus untuk lewatnya lahar dingin tahun 1991 lalu. Bagaimana kalau lahar lewat situ? Rumah warga terancam hancur!

Untungnya lahar dingin itu seperti menyimgkir dari jembatan Jengkol. Lima puluh juta kubik lahar dingin itu melewati perbatasan antara Kepung-Kediri dan Ngantang-Malang, ya arah lahar dingin malah ke Malang. Dilema, antara alhamdulillah dan cemas. Mungkin sebagian warga Kediri aman dari lahar dingin, tapi Malang? Jalanan di Ngantang yang sering longsor mungkin akan semakin rapuh dengan datangnya lahar. Semoga semuanya baik-baik saja!

Letusan Kelud, tepat 15 Februari setahun lalu menyisakan kenangan dan perjuangan buat saya dan keluarga. Juga seluruh masyarakat Kediri-Malang dan Blitar. Satu hal yang harus diingat dari peristiwa ini adalah persiapan pemerintah yang sangat baik untuk masyarakatnya menghadapi bencana, sehingga tak ada korban jiwa satu pun karena letusan Gunung Kelud. Kalau pun ada, mereka terluka atau meninggal karena jatuh saat bersih-bersih di atap rumah.

Setahun sudah, aku masih bisa melihat tumpukan pasir kelud di derpan rumah, di depan masjid, dan di rumah-rumah penduduk di Kediri. Kami seperti mendapat kiriman pasir gratis dari Kelud. Semua kebagian, dan banyak sekali. Ada yang memanfaatkannya untuk membuat batako, menguruk tanah yang ambles, menanam tumbuhan -konon pasir letusan gunung itu subur sekali- dan masih banyak lagi. Fa biayyi alaaai rabbikuma tukadziban?

Garasi dan dapur rumahku yang amblek sudah di renovasi, begitu juga dengan rumah penduduk yang lain. Sekolah, instansi dan pasar hanya beku selama kurang lebih satu minggu selebihnya berjalan normal seperti sebelumnya. Aku berhasil mengejar wisuda, Ayah sudah semakin sehat. Untuk pembaca, mohon doanya untuk kesehatan ayahku ya! Semoga kita semua dianugerahi kesehatan oleh Allah, Barakallah...

Kelud, tiga bulan lalu sudah dibuka untuk umum. Saat pulang dari Malang ke Kediri melewati Ngantang, di sebelah kanan kulihat bukit yang meranggas, putih, tak ada satu pun pepohonan, disanalah kelud berada. Oya, bagi yang penasaran tentang Lembu Sura, yang konon selalu muncul saat Kelud baru meletus. Benarkah muncul?
Lembu Sura. Patung misterius dari masa ke masa pasca erupsi Kelud
Berkepala Lembu dan berbadan manusia. 

Entah siapa yang membuatnya, apakah benar itu dua raja yang dikutuk karena memperebutkan Dewi Kilisuci? Ataukah itu buatan manusia? Entahlah... yang pasti, Lembu Suro selalu ada disana, di tempatnya, saat Kelud tenang, ia tak terlihat karena tertutup pepohonan. Nah, pasca erupsi ia memang selalu ‘muncul’ karena pepohonan yang menutupinya meranggas diserang api vulkanik dan lahar panas. Begitu ceritanya

Terima kasih telah membaca, kalau ke Kediri silahkan mampir ke rumahku di Desa Jarak Kecamatan Plosoklaten Kabupaten Kediri. Tanya ke orang disana Mbak Rizza anaknya Pak Nasir, pasti tahu, emang terkenal? hehe

Selamat datang di Kediri....


Tidak ada komentar:

Posting Komentar