Rabu, 16 Juli 2014

Jawab Tanya Pernikahanku



Sejak empat tahun lalu, pertengahan 2010, sejak aku mulai menjadi mahasiswa UIN Maulana Malik Ibrahim Malang, sejak aku tak lagi menjadi seorang siswa dan sejak orang-orang tak lagi menganggap aku gadis kecil. Sejak itulah aku ditanya tentang pernikahan.

Secara teori, aku mengerti tentang pernikahan sejak di MAN 3 Kediri, di pelajaran Fiqih, yang membahas tentang munakahat dan mawaris. Saat itu aku hanya melahapnya murni karena kewajibanku sebagai seorang siswa yang harus memahami penjelasan guru, membaca teori untuk bisa menjawab soal ujian. Hanya itu! Beranjak dewasa, aku mengalami sendiri, sesuatu yang dulu hanya kubaca di buku sebagai teori dan kupelajari hanya agar lancar diuji. Menikah dan pernikahan!

“Rizza, apakah orang sepertiku nanti akan menikah?” itu adalah tanya beberapa teman  yang mengalami kekurangan fisik, tak hanya satu temanku yang mempunyai kekurangan, aku sudah tidak bisa lagi menghitungnya. Beberapa kukenal di dunia nyata dan beberapa kukenal di dunia maya. Kami dekat, meski belum bertatap. Ada yang masih anak-anak, ada pula yang sudah dewasa, seumuranku dan bahkan ada yang lebih tua dariku. Beberapa dari mereka ini pernah bertanya, “Rizza, apakah seseorang sepertiku nanti akan menikah?”


Aku menyadari, sebagai seorang gadis yang sudah dianggap pantas menikah, pasti banyak diantara keluarga dan teman yang bertanya “Sudah punya calon belum?”, “Kapan menikah?”, “Nampaknya kamu sudah siap menikah, buruan!”, “Ayo, kapan calonnya dibawa ke rumah” mendapatkan pertanyaan itu aku biasanya merespon dengan senyuman dan sejurus kemudian minta didoakan.

Wajar jika teman-teman itu begitu galau tentang masa depannya, tentang pernikahannya. Aku juga merasakan seperti mereka. Karena sejatinya aku dan mereka sama-sama memiliki kekurangan fisik. Jadi aku bisa merasakan apa yang mereka rasakan, mungkin tak sama tapi pasti tak jauh beda.

Kadang aku bertanya juga pada diriku sendiri, akankah aku menikah? Atau lebih tepatnya adakah yang menikahiku? Meski aku sudah tahu jawabannya, bahwa Allah menciptakan makhluknya berpasangan, setiap orang pasti berjodoh dengan belahan jiwanya, namun agaknya menentramkan jiwa dengan semua kegelisahan itu tidaklah mudah. Kuakui itu.

Banyak yang bertanya karena mereka peduli denganku. Banyak yang bertanya, karena mereka sayang padaku, banyak yang bertanya, karena mereka penasaran ingin tahu jawabanku. Siapa sih dia? Lelaki itu siapa? Siapa lelaki itu?

Bagi yang sudah mengenal dan bertemu aku, tentu dia tahu bagaimana aku. Aku adalah seorang gadis yang mempunyai kekurangan di kakiku. Bagi yang ingin mengetahui lebih lanjut silahkan buka blog pribadiku. ZONARIZZA, aku sudah menuliskannya, agar jika ada yang bertanya, aku bisa memberikan jawaban yang sama.

Bagi gadis sepertiku, menikah adalah sebuah mimpi yang paling agung. Jika gadis lain shalihah, cantik, cerdas, mempunyai tubuh seksi dan berdandan anggun sekali. Dengan itu ia bisa membuat lelaki menyukainya, mengaguminya dan tergila-gila padanya. Karena aku tahu, kelemahan lelaki terletak pada matanya.

 Aku? Aku tidak memiliki seperti yang mereka miliki. Bagi yang pernah bertemu denganku, pasti tahu, bahwa aku adalah antitesis dari semua itu, ditambah lagi aku memiliki fisik yang tidak sempurna dan itu terlihat sekali. Semua orang bisa membedakannya. Mana aku diantara puluhan gadis lainnya.

Apakah aku malu? Minder? Iya! Tapi itu dulu, dulu sekali. Waktu yang membuat urat malu dan minderku tentang ini putus! Aku sudah kebal dan merasa baik-baik saja. Aku merasa sama seperti yang lainnya, meski aku sadari aku berbeda. Aku yakin inilah yang terbaik. Kalau aku sempurna seperti yang lain, mungkin aku tak akan tumbuh menjadi diriku yang sekarang. Mungkin jika kakiku tak seperti ini, aku akan menjadi perempuan liar, badung dan tak bisa diatur. Karena Allah tahu jika aku diciptakan sempurna akan seperti itu, makanya Allah mengurangi sedikit, agar aku tak seperti itu dan akhirnya aku menjadi aku yang sekarang. Mungkin!

Jika ada yang bertanya “kamu kapan menikah?” bagi gadis lain, ia akan menjawabnya dengan ringan, “doakan saja, insyaallah sebentar lagi” Tak hanya yang masih muda, bahkan bagi mereka yang sudah berusia dewasa pasti menjawab seringan itu. Karena ia sempurna, tanpa beban apa-apa, tanpa berpikir satu dua kali lebih lama.

Sebagai seorang perempuan, tentu aku tertarik pada lelaki, kalau bahasa anak muda pernah suka. Ya, pernah. Hanya saja, aku selalu berpikir dua tiga kali untuk meneruskan rasa itu. Siapa aku? Aku bukanlah gadis sesempurna gadis kebanyakan, apakah dia juga memiliki rasa yang sama seperti rasaku? Atau jangan-jangan hanya aku saja, itu pun karena aku yang gede rasa, sementara si dia hanya menganggapku teman biasa.

Akhirnya, aku tak pernah mengungkapkannya “Aku menyukaimu” dan hanya berhenti di doa-doa. Lama-lama aku akan melupakannya. Sebelum rasa suka itu berbunga menjadi cinta, aku sudah membunuhnya. Sadis ya? ^_^

Masa remajaku kuhabiskan untuk sekolah,  bahkan sampai sekarang lulus kuliah. Mungkin di medio itu aku  pernah suka, tapi aku  selalu membunuhnya. Karena aku sadar sesadar-sadarnya kalau lelaki akan merasa bersalah jika disukai seseorang sementara dia tak mungkin bisa membalas rasa itu. Aku tak ingin lelaki merasakan hal yang sama karenaku.

Sebenarnya, aku punya banyak sekali teman lelaki, baik teman di kelas maupun organisasi. Sejak aliyah hingga kuliah aku menghabiskan waktu senggangku untuk organisasi. Disitulah aku mendapatkan teman-teman lelaki yang luar biasa. Dengan berbagai karakter mereka yang berbeda-beda. Bersama mereka, aku  tumbuh menjadi gadis dewasa, hatiku tumbuh menjadi hati yang kuat. Tak mudah jatuh cinta. Semuanya memiliki tempat yang sama dengan porsinya masing-masing. Aku yang harus memposisikan diri dan mencoba adil.

Tak sekali dua kali pula aku menjadi obyek perjodohan. Katanya aku cocok dengan si anu, si inu, si ini. Apa iya? Apa iya aku pantas untuknya? Dan pertanyaan yang paling tepat diungkapkan adalah : Apakah dia mau denganku? Akhirnya aku memilih menganggap itu sebagai candaan belaka, karena aku tahu mereka ingin menghibur dan meramaikan suasana. Sejujurnya, aku takut kalau benar-benar jatuh cinta. Apa jadinya?

Belakangan, mungkin dua tahun ini, aku menemukan ketentraman hati.  Ya, aku bertemu dengan dia, hampir setiap hari. Kuceritakan apa yang ingin kuceritakan, kuungkapkan kegelisahanku, kesedihanku, kubagi dengannya harapanku juga doa dan mimpi-mimpiku. Dia tak pernah menolak, dia menerima semuanya dengan tetap tersenyum. Tahukah? Dengannya, aku menemukan tempat paling pas untuk semua rahasiaku selain Allah.

Dua tahun ini pula, aku semakin nyaman dengannya, bahkan kadang-kadang aku seperti orang gila. Menulis untuknya dengan mulut yang seolah-olah bicara dengannya. Ya, dia adalah naskah-naskah kisahku untuknya. Surat-suratku untuk calon suamiku. Surat-surat yang belum  menemukan pembacanya

Menulis untuknya, aku bisa senyum malu-malu, merasa punya harapan baru bahkan aku pernah terisak. Kutuliskan sengkarut  mimpiku yang ingin kuwujudkan. Kalau aku sedang jengkel, daripada marah-marah aku  bercerita padanya, dan setelah itu aku merasa lega. Aku ingin punya anak berapa pun sudah kutuliskan. Siapa nama-nama anak-anak itu juga sudah ada. Aku sudah berpikir jauh sekali, hinga lima sampai sepuluh tahun ke depan. Lebay? Iya! Biarkan saja, toh aku sedang bicara dengan lelakiku. Pendek kata, aku benar-benar merasa dekat dengannya. Seperti dia ada dihadapanku, lalu kami berbincang melalui tulisan itu. Apakah aku sudah gila? Oh...

Adakah yang mau mengikuti kegilaan ini? Kegilaan yang menjagaku dari perasaan yang tidak perlu. Mungkin saja juga akan menjagamu. Oya,  Ada dua surat untuknya, yang kuposting di blog. Kalau tak salah kuberi kamar bernama My Letters. Ya, itulah kamar kegilaanku. Ahaha. Selebihnya, terlalu pribadi, aku malu untuk mempostingnya di blog dan dibaca banyak orang. Biarkan dia saja. Nanti!

Nanti? Dia? Siapa? Sampai pada paragraf ini aku kembali teringat tanya mereka “Rizza, akankah orang sepertiku menikah?” Lalu biarkan aku bertanya pada diriku “Akankah aku menikah?” Wallahu’alam. Hanya Allah yang tahu jawaban atas tanya itu. Hanya Allah yang tahu siapa dia, lelaki mulia itu.

Lelaki yang mencintaiku dan kucintai, lelaki yang akan menjadi imam sholatku, lelaki yang tak malu berjalan di sampingku dan lelaki yang mencintaiku dengan sepaket kekuranganku. Jika aku berjalan, semua mata menatapku, lelaki itu tak malu berjalan di sampingku. Jika aku akan menikah dengannya, dan jika keluarganya tak setuju karena ia memilih wanita sepertiku. Ia akan memperjuangkannya. Kalau pun orang tuanya tetap tak membolehkan, ia tak akan memaksa, karena ia tahu ridha Allah ada pada ridha ayah dan ibunya.

Lelaki itu, lelaki sederhana, yang mungkin mengenalku sejak lama atau mengenalku baru saja, tapi entah kenapa ia merasa aku sosok yang dicarinya. Lelaki yang menikahiku bukan karena kasihan, tapi ia menikah denganku karena merasa mantap bahwa akulah wanita yang tepat.  Ahaa... sampai paragraf ini aku mungkin sedang gede rasa. Oh tidak! Sebenarnya aku sedang berharap, semoga ia memang benar-benar ada.

Akhirnya, untuk semua yang punya keraguan tentang pernikahan karena memiliki kekurangan. Untuk semua yang ingin menikah. Hanya yakini saja, bahwa Allah tak pernah ingkar janji. Ia akan menikahkan kita sesuai dengan kesiapan kita. Sesuai dengan yang kita butuhkan. Jika kalian  yang sempurna saja ragu dan malu, lalu aku harus bagaimana? Harusnya aku yang begitu, tapi aku tak mau seperti itu. Sungguh, memiliki rasa itu sangat memuakkan. Percayalah, Allah akan menggenapi separuh agama ini tak lama lagi. Memangnya sudah siap kalau tak lama lagi? ^_^

Lagipula, hidup sebagai dewasa tak melulu soal pernikahan bukan? Kita bisa memanfaatkan waktu yang tersisa untuk berbakti pada orang tua, membahagiakan mereka. Kita juga bisa bekerja untuk menjadi mandiri seutuhnya, memenuhi kebutuhan hidup ini sampai tua. Berbuat baik pada sesama semampu kita, sesuai ranah keilmuan yang pernah ada atau bahkan bertolak belakang dengannya. Yang jelas, kita harus berbuat! Tak hanya galau memilin harapan pernikahan. Untuk apa? Untuk apa mensangsikan hal yang telah menjadi kepastian? Kalau kita berjalan di jalan yang sama, di ujung jalan kita akan bertemu. Hamari rahi pyar ke, phir milenge chalte-chalte. ^_^

Di sebuah buku aku pernah membaca : Hati perempuan  itu dipilih bukan memilih, hati itu tak pernah salah berlabuh. Aku percaya, mencintai itu dimulai dari lelaki, karena dia akan menggunakan logikanya untuk memantapkan hati, tak seperti perempuan yang selalu akrab dengan perasaan. Dari itulah aku percaya bahwa memulai dan mencintai lebih dulu adalah hak lelaki, sebagai perempuan aku hanya bisa menunggu dan terus memperbaiki kualitas diriku.

Senja ini, dibarengi selesainya adzan Ashar, kusampaikan salam pada lelaki yang kelak menjadi suamiku. Lelaki mulia itu. Mas, siapa namamu? Apakah kita bertemu? Apakah kau benar-benar bersedia beristri perempuan sepertiku? Menjadi ayah bagi anak-anak yang keluar dari rahimku? Bersediakah kau menjadi imam untuk sholatku? Apakah kau tak malu berjalan di sampingku?

Kediri, 16 Juli 2014

Rizza Nasir














Tidak ada komentar:

Posting Komentar