Senin, 13 Januari 2014

MAULID NABI : SEBUAH PENDEWASAAN PEMIKIRAN

Esok 12 Rabiul Awal, jamak diketahui jika pada tanggal tersebut adalah tanggal lahir Rasulullah SAW. Di Indonesia kelahiran beliau banyak diperingati sebagai satu moment yang sakral dan agung. Muludan, begitu kata orang Jawa. Hal ini tidak bisa terlepas dari bagaimana Islam masuk ke Indonesia. Islam beserta ajarannya masuk ke Indonesia dengan cara penetrasi, dengan cara yang sangat laten dan membaur dengan berbagai tradisi yang telah ada dan eksis. Dengan kata lain Islam masuk ke Indonesia tanpa menimbulkan hentakan shoc culture, apalagi memicu kontroversi, sesuatu yang tidak lazim bila dibandingkan dengan sejarah munculnya beberapa ideologi besar di dunia.

Saya pernah mendengar tentang Islam Indonesia yakni Islam yang telah melekat bersama dengan budaya Indonesia. Budaya tersebut telah mewarnai ritual keagamaan. Ada peringatan muludan, sekaten, syuroan dsb. Tentu ini tidak terlepas dari faktor historis tadi. Oleh karena itulah, wajah Islam di Indonesia merupakan hasil dialog dan dialektika antara Islam dan budaya lokal yang kemudian menampilkan wajah Islam yang khas Indonesia. Dalam kenyataannya, Islam di Indonesia memanglah tidak bersifat tunggal, tidak monolit, dan tidak simpel, walaupun sumber utamanya tetap pada al-Quran dan al-Sunnah. Islam Indonesia bergelut dengan kenyataan negara-bangsa, modernitas, globalisasi, kebudayaan lokal, dan semua wacana kontemporer yang menghampiri perkembangan zaman dewasa ini.


Peringatam Maulid Nabi ini sudah sejak lami menjadi polemik di Indonesia. Pihak yang menentang peringatan maulid ini berpendapat bahwa hal ini tak pernah dicontohkan oleh Rasulullah. Kalaupun Rasulullah pernah berkata bahwa ia berpuasa tiap hari kelahirannya, tapi beliau tak pernah memerintahkan umatnya. Jika tetap dijalankan maka ini termasuk dalam bid’ah.

Pihak yang  mendukung maulid Nabi berpendapat bahwa bid’ah itu hanya terbatas pada ibadah mahdhah saja, bukan dalam masalah sosial kemasyarakatan atau masalah muamalah. Adapun seremonial maulid itu oleh para pendukungnya diletakkan di luar ritual ibadah formal. Sehingga tdak bisa diukur dengan ukuran bid’ah. Kedudukannya sama dengan seorang yang menulis buku tentang kisah Nabi s.a.w. Padahal di masa Rasulullah s.a.w., tidak ada perintah atau anjuran untuk membukukan sejarah kehidupan beliau. Bahkan hingga masa-masa berikutnya, belum pernah ada buku yang khusus ditulis tentang kehidupan beliau.

Rasulullah adalah manusia biasa seperti kita, hanya saja dia terpilih, dia pilihan dari semua manusia yang pernah ada. Makna peringatan maulid Nabi Muhammad s.a.w. yang diselenggarakan setiap tahun oleh sebagian kaum Muslim saat ini, yakni sebagai bentuk pengagungan dan penghormatan (ta’zhîman wa takrîman) terhadap beliau dalam kapasitasnya sebagai nabi dan rasul Allah. Itulah yang menjadikan beliau sangat istimewa dibandingkan dengan manusia yang lain.

Keistimewaan beliau  tidak lain karena beliau diberi wahyu oleh Allah S.W.T., yang tidak diberikan kepada kebanyakan manusia lainnya. Allah S.W.T. berfirman yang artinya: Katakanlah, “Sungguh, aku ini manusia biasa seperti kalian. (Hanya saja) aku telah diberi wahyu, bahwa Tuhan kalian adalah Tuhan Yang Maha Esa. Karena itu, tetaplah kalian istiqamah pada jalan yang menuju kepada-Nya.” (Q.S. Fushshilat [41]: 6).

Masalah furu’iyah seperti ini tentu bukan masalah sederhana. Banyak pihak yang berselisih hanya karena berpeda pemahaman tentang bagaimana menyikapi kelahiran nabi. Bahkan tidak sedikit yang saling mengkafirkan dan menganggap golongannya yang paling benar. Menurut saya, sebagai manusia kita hanya diberi tugas untuk beribadah dan bermuamalah sebaik-baiknya. Jika hanya karena perbedaan idealisme maulid saja kita sudah mengkafirkan dan menjauhi sesama karena paham yang tak sama, lalu dimana letak tugas kita bermuamalah sebaik-baiknya? Wallahu’alam

Rizza Nasir



Tidak ada komentar:

Posting Komentar