Rabu, 29 Januari 2014

KHAYALAN TENTANG KORAN



Suatu hari aku pulang dengan menenteng sebuah koran. Aku bukanlah penikmat berita, aku hanya membaca koran sesekali saja. Mungkin hanya headline, opini atau catatan redaksi. Cukup. Hari itu aku sengaja, mampir ke penjual koran di perempatan. Membeli  koran hari itu. Sedikit penasaran, Ada yang lagi hebohkah?

“Ngapain beli koran segala, wong di internet aja tinggal klik. Berita udah nggak kurang-kurang” itu kata temanku. Dia memang suka sekali dengan portal berita online. Setiap hari dia selalu update berita, aku mendengarkan saja, dia selalu membacanya keras-keras. Jika menurutku itu menarik, aku baru mendekat dan melihatnya langsung.

Malamnya, setelah dia tidur dan kukhatamkan dua koran, aku kembali terpikir oleh ucapannya. “Ngapain beli koran?” Menurutku benar juga, apa yang dia katakan. Bukankah sekarang ini zaman serba cyber?  Dunia seakan-akan telah  menjadi dikotomi yang serasi. Dunia nyata dan dunia maya. Dunia maya, seakan-akan sudah lebih menarik dari dunia nyata. Segalanya ada cuy, bagaimana tak tertarik?


Berapa  banyak orang menghabiskan banyak waktunya di depan laptop? Menekuri  dunia maya, entah itu bisnis online atau hanya permainan kata-kata di jejaring sosial. Berapa banyak orang yang memilih menyendiri dengan laptopnya daripada bertemu dengan banyak orang di dunia nyata? Berapa banyak orang yang merasa ‘ramai’ di dunia maya dan kesepian di dunia nyata? Semua punya alasan tersendiri, kenapa dunia maya lebih menarik dari dunia yang sesungguhnya.

Dunia warta pun demikian, semakin hari semakin banyak saja portal berita online. Ada detiknews.com, rimanews, okezone, dan banyak lagi. Bahkan media cetak pun tak ketinggalan meng-online-kan dirinya. Malang-post, Jawa Post, Kompas, Republika, semuanya. Dunia maya yang menyedot banyak pasang mata, pasar yang menjanjikan bagi para pemberi jasa berita online tersebut.

Mungkin sekarang ini, yang menikmati berita online itu adalah mereka yang punya laptop, punya akses internet atau minimal mereka yang sering main ke warnet. Suatu hari nanti, jika semua sudah terjamah sinyal internet, tak perlu modem, tak perlu wi-fi. Semua tempat sudah teraliri sinyal-sinyal internet. Mau di depan rumah sampai di kamar mandi pun bisa ngenet. Mungkinkah? Mungkin saja. Semua orang punya alat untuk mengakses dunia maya. Ya, semuanya tanpa terkecuali. Bukankah dulu handphone hanya dimiliki segelintir orang saja, yang kemudian dilabeli sebagai orang kaya? Sekarang, coba tanyakan pada orang-orang, siapa yang tak punya handphone? Kalaupun ada, mungkin mereka orang tua yang sudah malas dengan keduniawian.

Seperti halnya handphone yang menjamur, seperti itu pula internet di masa depan, entah berapa tahun lagi. Semua orang akan asyik dengan laptopnya. Sibuk dengan dunia mayanya. Mau pesan sesuatu tinggal klik, mau ini klik, mau itu klik. Mudah bukan? Butuh info ini, ketik, lalu klik. Tak akan ada lagi kertas, tak akan ada lagi buku-buku. Karena semuanya teks itu disulap menjadi file-file. Tak akan ada lagi penerbitan, tak akan ada lagi toko buku. Bahkan mungkin tak ada lagi koran  atau perpustakaan!

Aku kemudian terpikir, bagaimana jika koran ini tak ada? Bagaimana jika berita cetak itu tak lagi diminati? Bukankah portal berita online lebih menjanjikan? Lebih semarak? Gambar-gambarnya tampak nyata. Tak akan ada lagi loper koran yang berteriak koran! Koran! Di depan rumah setiap jam 6 pagi. Tak akan lagi kutemui tukang parkir yang takzim membaca ditemani segelas kopi. Tak akan ada lagi loper koran di perempatan, Tak ada!

Jacob Utama dan Dahlan Iskan akan berpikir keras tentang nasib koran. Oh, bukan nasib koran, tapi nasib para karyawan. Bukankah jika semua serba online, tak diperlukan lagi tenaga cetak dan tenaga distribusi? Ruang-ruang akan nampak lenggang. Mesin-mesin cetak koran di seluruh kota akan terdiam. Menyedihkan! Oh, tidak,  bukankah kecanggihan itu menggembirakan?

Koran, mungkin akan tinggal kenangan. Koran mungkin akan di masukkan dalam kaca dan di taruh di pojok museum kota. “Inilah peninggalan sejarah tentang pewartaan. Dulu manusia pernah menyebarkan berita dengan cara seperti ini, di cetak setiap hari, di sebarkan ke penjuru kota lalu semua penduduk membacanya” begitu mungkin guide museum menerangkan pada pengunjung.

Entahlah, jika masa itu tiba, apakah aku masih ada atau tidak, apakah aku masih bisa menikmati kecanggihan itu atau tidak. Jika aku boleh meminta, aku ingin waktu berjalan pelan-pelan agar masa kenangan koran tak cepat datang. Kenapa? Karena teman-temanku sangat mencintai koran. Ada yang penjaja koran, ada yang penjual koran, ada yang wartawan. Bagaimana nasib mereka jika koran tinggal kenangan?

Ah, aku kan hanya berkayal, kenapa kamu serius sekali. Khayalan itu mungkin saja terjadi, mungkin tidak. Bukan? Sudahlah, maafkan aku jika aku berkhayal terlalu tinggi. Namanya juga khayalan. Seperti halnya mimpi, khayalanku selalu tinggi. Maaf!

RIZZA NASIR

Tidak ada komentar:

Posting Komentar