Suatu hari aku pulang
dengan menenteng sebuah koran. Aku bukanlah penikmat berita, aku hanya membaca koran
sesekali saja. Mungkin hanya headline, opini atau catatan redaksi. Cukup. Hari
itu aku sengaja, mampir ke penjual koran di perempatan. Membeli koran hari itu. Sedikit penasaran, Ada
yang lagi hebohkah?
“Ngapain beli koran
segala, wong di internet aja tinggal klik. Berita udah nggak kurang-kurang” itu
kata temanku. Dia memang suka sekali dengan portal berita online. Setiap hari
dia selalu update berita, aku mendengarkan saja, dia selalu membacanya
keras-keras. Jika menurutku itu menarik, aku baru mendekat dan melihatnya
langsung.
Malamnya, setelah dia
tidur dan kukhatamkan dua koran, aku kembali terpikir oleh ucapannya. “Ngapain
beli koran?” Menurutku benar juga, apa yang dia katakan. Bukankah sekarang ini
zaman serba cyber? Dunia seakan-akan telah menjadi dikotomi yang serasi. Dunia nyata dan
dunia maya. Dunia maya, seakan-akan sudah lebih menarik dari dunia nyata.
Segalanya ada cuy, bagaimana tak
tertarik?
Berapa banyak orang menghabiskan banyak waktunya di
depan laptop? Menekuri dunia maya, entah
itu bisnis online atau hanya permainan kata-kata di jejaring sosial. Berapa
banyak orang yang memilih menyendiri dengan laptopnya daripada bertemu dengan
banyak orang di dunia nyata? Berapa banyak orang yang merasa ‘ramai’ di dunia
maya dan kesepian di dunia nyata? Semua punya alasan tersendiri, kenapa dunia
maya lebih menarik dari dunia yang sesungguhnya.
Dunia warta pun
demikian, semakin hari semakin banyak saja portal berita online. Ada detiknews.com,
rimanews, okezone, dan banyak lagi. Bahkan media cetak pun tak ketinggalan
meng-online-kan dirinya. Malang-post, Jawa Post, Kompas, Republika, semuanya.
Dunia maya yang menyedot banyak pasang mata, pasar yang menjanjikan bagi para
pemberi jasa berita online tersebut.
Mungkin sekarang ini,
yang menikmati berita online itu adalah mereka yang punya laptop, punya akses
internet atau minimal mereka yang sering main ke warnet. Suatu hari nanti, jika
semua sudah terjamah sinyal internet, tak perlu modem, tak perlu wi-fi. Semua
tempat sudah teraliri sinyal-sinyal internet. Mau di depan rumah sampai di
kamar mandi pun bisa ngenet. Mungkinkah? Mungkin saja. Semua orang punya alat untuk mengakses dunia maya. Ya, semuanya tanpa terkecuali. Bukankah dulu handphone
hanya dimiliki segelintir orang saja, yang kemudian dilabeli sebagai orang
kaya? Sekarang, coba tanyakan pada orang-orang, siapa yang tak punya handphone?
Kalaupun ada, mungkin mereka orang tua yang sudah malas dengan keduniawian.
Seperti halnya
handphone yang menjamur, seperti itu pula internet di masa depan, entah berapa
tahun lagi. Semua orang akan asyik dengan laptopnya. Sibuk dengan dunia
mayanya. Mau pesan sesuatu tinggal klik, mau ini klik, mau itu klik. Mudah
bukan? Butuh info ini, ketik, lalu klik. Tak akan ada lagi kertas, tak akan ada
lagi buku-buku. Karena semuanya teks itu disulap menjadi file-file. Tak akan
ada lagi penerbitan, tak akan ada lagi toko buku. Bahkan mungkin tak ada
lagi koran atau perpustakaan!
Aku kemudian terpikir, bagaimana
jika koran ini tak ada? Bagaimana jika berita cetak itu tak lagi diminati?
Bukankah portal berita online lebih menjanjikan? Lebih semarak? Gambar-gambarnya tampak nyata. Tak akan ada
lagi loper koran yang berteriak koran! Koran! Di depan rumah setiap jam 6 pagi.
Tak akan lagi kutemui tukang parkir yang takzim membaca ditemani segelas kopi.
Tak akan ada lagi loper koran di perempatan, Tak ada!
Jacob Utama dan Dahlan
Iskan akan berpikir keras tentang nasib koran. Oh, bukan nasib koran, tapi
nasib para karyawan. Bukankah jika semua serba online, tak diperlukan lagi
tenaga cetak dan tenaga distribusi? Ruang-ruang akan nampak lenggang.
Mesin-mesin cetak koran di seluruh kota akan terdiam. Menyedihkan! Oh, tidak,
bukankah kecanggihan itu menggembirakan?
Koran, mungkin akan
tinggal kenangan. Koran mungkin akan di masukkan dalam kaca dan di taruh di
pojok museum kota. “Inilah peninggalan sejarah tentang pewartaan. Dulu manusia
pernah menyebarkan berita dengan cara seperti ini, di cetak setiap hari, di
sebarkan ke penjuru kota lalu semua penduduk membacanya” begitu mungkin guide
museum menerangkan pada pengunjung.
Entahlah, jika masa itu
tiba, apakah aku masih ada atau tidak, apakah aku masih bisa menikmati
kecanggihan itu atau tidak. Jika aku boleh meminta, aku ingin waktu berjalan
pelan-pelan agar masa kenangan koran tak
cepat datang. Kenapa? Karena teman-temanku sangat mencintai koran. Ada yang
penjaja koran, ada yang penjual koran, ada yang wartawan. Bagaimana nasib
mereka jika koran tinggal kenangan?
Ah, aku kan hanya
berkayal, kenapa kamu serius sekali. Khayalan itu mungkin saja terjadi, mungkin
tidak. Bukan? Sudahlah, maafkan aku jika aku berkhayal terlalu tinggi. Namanya
juga khayalan. Seperti halnya mimpi, khayalanku selalu tinggi. Maaf!
RIZZA NASIR
RIZZA NASIR
Tidak ada komentar:
Posting Komentar