Sabtu, 28 Desember 2013

Untuk Ayah Dan Ibu, Tak Cukup Sehari

Jika Allah mengizinkan,
suatu hari nanti aku akan memiliki
yang seperti gambar ini. Amin.
Lahir di dunia ini sebagai manusia adalah satu kehormatan tersendiri bagi kita, terlahir sebagai manusia berarti kita diberi keistimewaan setingkat lebih mulia daripada hewan, tumbuhan dan makhluk lainnya. Manusia dianugrahi intuisi untuk berpikir, berdzikir dan melaksanakan amal-amal yang bermanfaat untuk kehidupan. Pantaslah dalam Tarbiyah Ulul  Albab, dzikir, pikir dan amal sholeh menjadi tiga pilar utama.

Allah menciptakan semuanya berpasangan. Ada pagi ada petang, ada lelaki ada perempuan, ada sehat ada sakit, ada hidup ada pula mati. Semuanya diciptakan berdampingan. Karena jika hanya ada pagi, manusia tak akan pernah melihat bintang, jika hanya ada hidup, manusia hanya akan berkubang kesombongan. Jika hanya ada Adam, tak akan pernah ada peristiwa kelahiran, tak akan pernah ada Muhammad yang membawa risalah islam.

Tak akan pernah habis kita membincang masalah kewanitaan. Ada fiqh wanita, kajian keputrian, senam hamil, lomba foto mom and kids. Mengapa tak pernah ada fiqh putra, kajian keputraan atau lomba foto dad and kids? Wanita agaknya memang menyita perhatian dunia dengan semua keistimewaan yang diberikan.

Pernah dengar cerita tentang Timun Mas? Gadis cantik yang terlahir atau lebih tepatnya muncul dari sebuah mentimun? Atau kisah bayi yang muncul dari bebatuan? Itu dongeng sebelum tidur masa kecil kita. Dulu sewaktu saya masih kecil saya berulang kali melihat mentimun, melihat dari berbagai sisi dan berpikir, bagaimana bisa bayi keluar dari sini? Meski begitu saya percaya saja.



Setelah bisa membaca dan melihat berbagai kejadiaan dan mulai bisa berpikir sebagai manusia, saya mulai paham, bahwa seorang bayi itu terlahir dari rahim wanita. Seseorang yang dipanggil ibu. Saya memanggil ibu saya dengan sebutan ibu. Teman-teman saya memanggil dengan mama, ada juga yang sebutan Mak. Kenapa memanggil ibu saja harus berbeda?  Mengapa tak ibu saja?  Saya pernah bertanya begitu pada ibu saya dan ibu saya hanya bisa tersenyum. Ibu, mama, bunda, emak, bu’e ma’e, apalah panggilan itu, semuanya sama. Mereka adalah seorang ibu.

Pernah saya bertanya pada ayah, kenapa harus ada hari ibu? Hari ayah kapan? Kok di kalender tak ada?Ayah tidak iri pada ibu? Begitu juga dengan hari Kartini. Kenapa hanya Kartini saja yang berhari? Kenapa Soekarno tidak? Pertanyaan masa kecil  saya tentang ibu, ayah dan Kartini tak pernah terjawab sempurna dan saya membiarkannya menjadi tanya sampai saya tumbuh menjadi seorang wanita.

Laki-laki dan perempuan adalah dua jenis manusia. Kalaupun ada khunsa – berkelamin ganda-  yang benar-benar khunsa itu pengecualian dan bagian dari kemahaan Allah. Laki-laki dan perempuan memiliki kedudukan sejajar sebagai manusia, dihukumi sebagai makhluk. Jika ada hari ibu harusnya ada hari ayah juga kan? Bukankah kita sama?

Perdebatan tentang ada tidaknya hari ayah atau ibu memang tak sepatutnya terjadi, karena sejatinya hari ibu adalah sebuah peringatan hari, buatan manusia. Selama kita masih hidup dan memiliki ibu, setiap hari yang kita miliki adalah hari ibu. Hari untuk terus membahagiakan ibu. Pun setelah ibu tiada, setiap hari kita adalah hari ibu karena kita masih berkewajiban mendoakannya.

Bagaimana dengan ayah? Tidak adil jika kita mengistimewakan ibu dan mengesampingkan ayah. Bukankah menjadi ibu karena ada seorang lelaki yang mau menjadi ayah? Meski kata  ibu disebutkan tiga kali lebih banyak daripada kata ayah. Ayah tetaplah ayah, yang membersamai ibu menjadi ibu. Ayah adalah yang membiayai semua keperluan ibu menjadi ibu, ayah adalah yang membantu ibu menjadi ibu. Bersama-sama mendidik kita. Meski hari ayah tidak ada di kalender, saya yakin para lelaki tak akan pernah bertanya Kenapa tak ada hari untukku?

Setelah saya dewasa, saya akhirnya memahami, kenapa hanya ada hari ibu di kalender. Karena ibu punya rahim. Ayah pun lahir dari rahim ibu. Rahim, salah satu nama Allah yang berarti maha penyayang. Rahim sebuah tempat disematkan Allah hanya pada tubuh wanita. Rahim yang menjadi satu-satunya tempat teraman dan ternyaman bagi seorang anak manusia. Rahim yang tak pernah terlepas sedetik saja dari tubuh wanita. Rahim yang dibawa kemana-mana. Melekat, menyatu hingga menjadi cerminan sifat wanita yang penyayang.
Keistimewaan rahim yang diberikan oleh Allah kepada wanita seolah-olah adalah tantangan dari Allah. Siapkah kamu menjadi wanita? Siapkah kamu menjadi istri, mengandung, melahirkan dan mendidik anak-anakmu? Hamil itu berat sekali, siapkah dirimu? Siapkah? . Tantangan yang telah dijawab oleh mereka yang sudah berputera. Tantangan yang sudah dijawab oleh ibu-ibu kita
.
Menjadi wanita, hari ibu, hari kartini dan semua keistimewaan yang ada pada wanita, sejatinya adalah sebuah tantangan besar, yang harus kita sambut dengan persiapan yang matang. Menjadi ibu adalah kata tanggung jawab, menjadi ibu adalah adalah kata sabar, menjadi ibu adalah menjadi semua yang anak butuhkan baik anak laki-laki maupun anak perempuan. Banyak yang ingin menikah tapi tak banyak yang mempersiapkan diri menjadi ibu.

Kini saya paham, tak ada timun mas di dunia ini, tak ada bayi yang muncul dari batu. Semua bayi, baik perempuan maupun laki-laki lahir dari rahim ibu. Saya juga memahami, bahwa lelaki tak akan pernah iri, karena ia pun memahami, menjadi ibu itu berat sekali.

Hari ibu, memang ada di kalender, tapi untuk menjadi ayah dan ibu butu proses belajar setiap hari. Menjadi anak pun begitu, tak cukup sehari untuk mencintai ayah dan ibu. Dan akhirnya saya mengucapapkan Selamat hari Ibu, untuk calon ibu dan ayah masa depan.   

Rizza Nasir

Dibuat untuk buletin LDK At-Tarbiyah edisi Desember-Januari

Tidak ada komentar:

Posting Komentar