Jumat, 27 Desember 2013

PKLI Malaysia 4, Kantor Imigrasi, Paspor dan TKI

Alhamdulillah.... pasportku sudah jadi. Ini kertas pengambilannya. Pasportnya belum sempat kufoto. Kemarin diminta kantor ICP untuk dikirim ke Malaysia.



Kalian tahu, aku mengurusnya sendirian! Bolak-balik UIN Blimbing tiga kali, memakan waktu hampir 2 minggu. Ya aku tahu karena kesalahanku. Kesalahanku karena aku daftar manual.

Begini, membuat paspor itu ada dua cara untuk mengawalinya. Pertama, daftar online dulu (memasukkan data asli kita melalui www. Imigrasi.co.id. Scan datamu mulai dari KTP, Akta kelahiran, ijazah, Kartu Keluarga, Surat Nikah *bagi yang sudah nikah*), isi semua borang yang ada. Karena banyak yang memasuki situs itu, berakibat situs itu lemot bukan main. Saya yang tak sabar menunggu memilih jalur Kedua, datang ke kantor imigrasi dengan membawa berkas itu. Ikuti semua prosedur disana.

Apa perbedaan jalur pertama dan kedua? 



Yang pertama hanya perlu datang dua kali. Yang kali pertama,  proses (cek berkas, foto, sidik jari, wawancara) dan kali kedua untuk mengambil paspor tiga hari kemudian. Jalur kedua, datang untuk pertama kali hanya untuk setor berkas kemudian pulang lagi dan kesana lagi tiga hari kemudian untuk foto dsb. Dan saya (karena ketidaksabaran saya itu) memilih jalur kedua. Padahal hampir tiap datang saya harus antri satu jam, apes ya? Ini pengalaman, semoga tidak terulang. Jika kamu akan buat paspor, pilihlah jalur kedua dan pertebalah kesabaran.

Datanglah pukul 07.00 pagi. Meski kantor imigrasi buka jam 07.30 WIB tapi sejak pagi sudah ada yang mengantri disana. Selalu penuh tiap harinya. Begitu pintu terbuka, datanglah ke resepsionis, mintalah nomor antrian dan duduklah dengan tenang sambil menunggu panggilan.

Di kursi tunggu itulah saya melihat banyak orang yang juga menunggu, ternyata banyak juga ya yang mau ke luar negeri. Mereka yang berbaju putih dan bawahan itu pasti TKI, mereka yang paruh baya pasti mau umrah atau mereka gerombolan pemuda di kursi pojok sana, mungkin mereka akan menghabiskan liburan atau mereka ingin mengikuti pertukaran pelajar. Entahlah... 

Melihat semua itu, saya berkata dalam hati ternyata animo rakyat Indonesia ke luar negeri besar sekali ya, katanya semua mahal, tak punya uang? Saya hanya ingin berhusnudzon saja, semoga yang keluar negeri selain TKI dan student exchange bukan untuk menghamburkan uang atau semoga salah satu dari kami yang sedang menunggu disini bukan teroris.

“Mau umrah ya Dek” Seorang ibu duduk di samping saya. Umrah? Amin
“Tidak Bu, saya mau ke Malaysia”
“Ngapain?” Sekolah atau jadi TKI”
“Saya mau PKL disana Bu”
“Oh..” obrolan kami mengalir panjang

Saya hanya berpikir, kenapa setiap orang yang mendengar kata Malaysia,Hongkong atau Korea, jika berkaitan dengan paspor apalagi yang mengurus adalah pemuda, selalu dikaitkan dengan TKI, kenapa? Apakah itu yang namanya identik?

Menurut saya, menjadi TKI bukanlah pekerjaan yang rendahan, menjadi TKI adalah berjuang untuk keluarga, dengan mempertaruhkan waktu dan rindu. Bertahun tak pulang hanya untuk dapat uang. Sebagian dari keringat mereka juga mengucur ke negara, yang kemudian kita sebut devisa. Pantaslah mereka disebut Pahlawan devisa. Tapi kenapa menjadi TKI masih dipandang sebelah mata? Mari meluruskan hati.
Tiga hari lalu, saat saya ke kantor imigrasi untu kali kedua, saya berkenalan dengan seorang gadis, kira-kira seumuran saya

“Mbak tempat bayar biaya paspor dimana ya? Tanyaku padanya
“Maaf, saya nggak tahu” jawabnya takut-takut
“Mbak mau kemana?” tanyaku lagi, jujur tanyaku yang pertama hanya modus untuk memulai perbincangan dengannya. Saya sendirian, siapa yang tidak bosan menunggu lama dalam kesendirian begini meski dalam ruanagan ramai sekalipun. Kalau tak ada kekata, tak enak rasanya.
“Saya mau ke Malaysia”

Saya tak melanjutkan pertanyaan sperti ibu-ibu kemarin, ngapain ke Malaysia? Karena dari setelan hitam putihnya, dia pastilah calon pahlawan devisa. Ya Allah, dia masih seusia saya, dia tak melanjutkan sekolah karena tak ada biaya. Dia nekat daftar ke agen untuk memperbaiki perekonomian keluarga. Meski kami seusia, saya yakin dia lebih kuat dari saya.

Kini saya tahu, saya punya banyak yang orang lain tak punya, saya punya keluarga yang mendukung sekolah saya, saya punya kampus yang mencatat nama saya jadi salah satu mahasiswanya dan saya punya kesempatan untuk ke Malaysia. Bukan sebagai TKI tapi sebagai mahasiswa PKLI.

Mbak, bahkan aku tak tahu siapa namamu. Semoga Allah menguatkanmu. Beberapa bulan lagi saya berangkat ke Malaysia, apakah kau sudah disana?

Bersambung..

Tidak ada komentar:

Posting Komentar