Bagi sebagian orang membaca adalah hobi, bagi sebagian yang lain membaca itu
sebuah aktivitas yang memuakkan dan membuang waktu. Mending waktunya buat
nyari uang. Uang dan lagi lagi uang. Buku yang dibaca itu pun macam-macam.
Selain judulnya ada pula macam yang lain yakni macam ‘cara mendapatkan’ buku.
Ada yang beli di toko buku, ada yang menyerbu bazar buku murah, ada yang
patungan untuk dibaca bergilir, ada yang ‘cumi’ : Cuma minjem, ada yang sampai
mengalokasikan pendapatannya tiap bulan untuk membeli benda keramat bernama
buku.
Buku-buku yang terpajang di rak toko buku ternama misalnya. Sudah
menjadi rahasia umum kalau penulisnya pasti bukan sembarang penulis, buku yang
dilahirkannya bukan sembarang buku. Kualitas terjamin. Harganya? Mulai 30
ribuan sampai 100 ribu kurang sedikit. Rp. 99.500,00 ^_^
Apa yang Anda lakukan saat membeli buku?
2. Melihat covernya, menarik
3. Melihat siapa penulisnya, wah si dia, pasti bagus nih bukunya.
4. Mengambilnya dan langsung pergi ke kasir untuk
membayar
Atau ada lakukan ritual kelima?
5. Membalik bukunya, melihat cover belakangnya, disudut
kanan atas atau bawah. Berapa nih
harganya?
Kalau harganya pas di kantong, ya bolehlah. Kalau
harganya agak mahal, apalagi kok tipis gini, ukurannya juga nggak standart,
harganya segitu? Mahal banget. Cari yang lain aja deh.
Apakah Anda tipe penggila buku ritual 1-4 atau sampai ritual
ke 5 ?
^_^
Melihat berapa harga buku saat akan membelinya memang manusiawi, sangat manusiawi khusus bagi mereka yang masih sekolahan dan ngampus. Harga buku juga bersifat relative, menurut si A mahal menurut si B, biasa bahkan murah. Jika dikaji ulang harga buku yang ‘mahal’ menurut otak kita itu sebenarnya karena orientasi kita pada materi, pada bandrol harga buku. Jika orientasi kita pada substansi buku maka kita akan lebih cenderung royal dalam membeli buku.
Melihat berapa harga buku saat akan membelinya memang manusiawi, sangat manusiawi khusus bagi mereka yang masih sekolahan dan ngampus. Harga buku juga bersifat relative, menurut si A mahal menurut si B, biasa bahkan murah. Jika dikaji ulang harga buku yang ‘mahal’ menurut otak kita itu sebenarnya karena orientasi kita pada materi, pada bandrol harga buku. Jika orientasi kita pada substansi buku maka kita akan lebih cenderung royal dalam membeli buku.
Substansi atau manfaat buku tersebut bagi kita setelah
membacanya tentu lebih ‘mahal’ dari 99.500. Tentunya membaca yang tak hanya
menghabiskan halamannya saja namun membaca dengan mengambil esensi atau pesan
penulis buku itu untuk diaplikasikan dalam kehidupan kita. Jika pesan itu
berhasil diaplikasikan atau bahkan diajarkan kepada manusia lainnya. Bukankah
itu asset hidup yang jutaan jika dirupiahkan?
Membeli kaos seharga 70 ribu, baju 150 ribu jilbab 50 ribu, misalnya,
rasanya enteng dan murah, jika baju itu bentuknya buku tentang fashion
atau bercerita tentang fashion, kata murah itu bisa berganti menjadi mahal. Beli
jam tangan atau sepatu 200 ribu itu murah, sementara sepaket Supernova atau Trilogi 5 Menara 200 ribu,
Paket buku bisnis muda Rheinald Kasali
atau Ippho Santoso 200 ribu menjadi
mahal. Padahal otak yang kita pakai masih otak yang sama, hanya segmentasi dan
paradigmanya saja yang berbeda.
Seperti yang saya paparkan diawal tadi bahwa paradigma
seperti ini hanya merasuki sebagian orang, entah sebagian itu berapa persen
dari sebagian yang lain, tapi saya rasa prosentasenya lebih besar dari mereka
yang hanya sampai ritual ke-4. Tak hanya Anda atau mereka, saya pun juga
sampai ritual ke-5. Harus memlihat halaman belakang buku untuk mengetahui
harganya saat akan membelinya. Lewat tulisan ini saya ingin mengajak Anda dan
diri saya sendiri untuk bersama-sama
belajar meng-instal ulang paradigma kita tentang buku dan harganya. Jadi
orang yang peritungan itu boleh dan bagus tapi kalau terlalu peritungan apalagi
untuk masalah ilmu pengetahuan, ini yang perlu dihilangkan.
Menulis buku itu :
1. Menulis berlembar-lembar, bisa sampai sampai ratusan
halaman
2. Membaca berbagai rujukan, agar tulisannya kuat, tidak
ngawur
3. Editing, butuh ketelitian, kesabaran dan waktu
4. Mengirim ke penerbit, penulis menunggu, harap-harap
diterima dan diterbitkan. Waktu
tunggunya? Sebulan, setahun, taka da batasan yang pasti.
5 Alhamdulillah kalau disetujui penerbit untuk diterbitkan,
tinggal nunggu konfirmasi dan nunggu buku kita beredar
6. Jika ditolak? Menerbitkan sendiri lewat penerbit
indie? Ya seperti lagu Meggy Z lah
kira-kira. Nulis-nulis sendiri, edit-edit sendiri, Terbit biaya sendiri,
Jual buku pun sendiriiii, hoo hooo…
Siap begitu? Siap jadi penulis dengan perjuangannya yang
panjang? Bagaimana, masihkah sebanding perjuangan itu dengan harganya?
Saya teringat kata-kata yang diucapkan Pak Ersis Warmansyah
Abbas dalam taklshownya di kampus saya setahun silam. “ Saya itu orang
miskin, saya nggak punya apa-apa yang dapat saya wariskan pada anak dan istri
saya kecuali ratusan buku yang ada di rumah”
Mewarisi anak dengan buku, berarti mewarisinya dengan ilmu. Kekal. apalagi jika diajarkan dan diamalkan, akan
jadi sebuah amal jariyah yang akan terus mengalir deras walaupun nyawa telah lepas raga. Adakah yang lebih indah
dari warisan itu?
Yuk, Instal ulang paradigma kita tentang buku, tak lagi mengintip harganya, tapi melihat jauh kedalam, ke lorong-lorong perjuangan dan inspirasi yang tak pernah menemui tepian. Reform our book Paradigm
Wallau’alam
Yuk, Instal ulang paradigma kita tentang buku, tak lagi mengintip harganya, tapi melihat jauh kedalam, ke lorong-lorong perjuangan dan inspirasi yang tak pernah menemui tepian. Reform our book Paradigm
Wallau’alam
Memiliki sebuah rumah dengan buku-buku sebagai pemenuh
temboknya, buku yang bisa dibaca oleh siapa saja. Berapaun harganya yang
penting terbaca dan mengispirasi sesama
_sebuah impian_
_sebuah impian_
Tidak ada komentar:
Posting Komentar