Selasa, 13 Agustus 2013

SEBUAH PARADIGMA : Berapa Harganya?



Bagi sebagian orang membaca adalah hobi, bagi sebagian yang lain membaca itu sebuah aktivitas yang memuakkan dan membuang waktu. Mending waktunya buat nyari uang. Uang dan lagi lagi uang. Buku yang dibaca itu pun macam-macam. Selain judulnya ada pula macam yang lain yakni macam ‘cara mendapatkan’ buku. Ada yang beli di toko buku, ada yang menyerbu bazar buku murah, ada yang patungan untuk dibaca bergilir, ada yang ‘cumi’ : Cuma minjem, ada yang sampai mengalokasikan pendapatannya tiap bulan untuk membeli benda keramat bernama buku.

Buku-buku yang terpajang di rak toko buku ternama misalnya. Sudah menjadi rahasia umum kalau penulisnya pasti bukan sembarang penulis, buku yang dilahirkannya bukan sembarang buku. Kualitas terjamin. Harganya? Mulai 30 ribuan sampai 100 ribu kurang sedikit. Rp. 99.500,00 ^_^

Apa yang Anda lakukan saat membeli buku?



1. Membaca judulnya,  penasaran
2. Melihat covernya,  menarik
3. Melihat siapa penulisnya,  wah si dia, pasti bagus nih bukunya.
4. Mengambilnya dan langsung pergi ke kasir untuk membayar

Atau ada lakukan ritual kelima?

5. Membalik bukunya, melihat cover belakangnya, disudut kanan atas  atau bawah. Berapa nih harganya?

Kalau harganya pas di kantong, ya bolehlah. Kalau harganya agak mahal, apalagi kok tipis gini, ukurannya juga nggak standart, harganya segitu? Mahal banget. Cari yang lain aja deh.

Apakah Anda tipe penggila buku ritual 1-4 atau sampai ritual ke  5 ?  ^_^


Melihat berapa harga buku saat akan membelinya memang manusiawi, sangat manusiawi khusus bagi mereka yang masih sekolahan dan ngampus. Harga buku juga  bersifat relative, menurut si A mahal menurut si B, biasa bahkan murah. Jika dikaji ulang harga buku yang ‘mahal’ menurut otak kita itu sebenarnya karena orientasi kita pada materi, pada bandrol harga buku. Jika orientasi kita pada substansi buku maka kita akan lebih cenderung royal dalam membeli buku.

Substansi atau manfaat buku tersebut bagi kita setelah membacanya tentu lebih ‘mahal’ dari 99.500. Tentunya membaca yang tak hanya menghabiskan halamannya saja namun membaca dengan mengambil esensi atau pesan penulis buku itu untuk diaplikasikan dalam kehidupan kita. Jika pesan itu berhasil diaplikasikan atau bahkan diajarkan kepada manusia lainnya. Bukankah itu asset hidup yang jutaan jika dirupiahkan?

Membeli kaos seharga 70 ribu, baju 150 ribu jilbab 50 ribu, misalnya, rasanya enteng dan murah, jika baju itu bentuknya buku tentang fashion atau bercerita tentang fashion, kata murah itu bisa berganti menjadi mahal. Beli jam tangan atau sepatu 200 ribu itu murah, sementara sepaket  Supernova atau Trilogi 5 Menara 200 ribu, Paket buku bisnis muda Rheinald  Kasali atau Ippho Santoso  200 ribu menjadi mahal. Padahal otak yang kita pakai masih otak yang sama, hanya segmentasi dan paradigmanya saja yang berbeda.

Seperti yang saya paparkan diawal tadi bahwa paradigma seperti ini hanya merasuki sebagian orang, entah sebagian itu berapa persen dari sebagian yang lain, tapi saya rasa prosentasenya lebih besar dari mereka yang hanya sampai ritual ke-4. Tak hanya Anda atau mereka, saya pun juga sampai ritual ke-5. Harus memlihat halaman belakang buku untuk mengetahui harganya saat akan membelinya. Lewat tulisan ini saya ingin mengajak Anda dan diri saya sendiri untuk  bersama-sama belajar meng-instal ulang paradigma kita tentang buku dan harganya. Jadi orang yang peritungan itu boleh dan bagus tapi kalau terlalu peritungan apalagi untuk masalah ilmu pengetahuan, ini yang perlu dihilangkan.

Menulis buku itu :
1. Menulis berlembar-lembar, bisa sampai sampai ratusan halaman
2. Membaca berbagai rujukan, agar tulisannya kuat, tidak ngawur
3. Editing, butuh ketelitian, kesabaran dan waktu
4. Mengirim ke penerbit, penulis menunggu, harap-harap diterima dan diterbitkan.  Waktu tunggunya? Sebulan, setahun, taka da batasan yang pasti.
5 Alhamdulillah kalau disetujui penerbit untuk diterbitkan, tinggal nunggu konfirmasi dan nunggu buku kita beredar
6. Jika ditolak? Menerbitkan sendiri lewat penerbit indie?  Ya seperti lagu Meggy Z lah kira-kira. Nulis-nulis sendiri, edit-edit sendiri, Terbit biaya sendiri, Jual buku pun sendiriiii, hoo hooo…


Siap begitu? Siap jadi penulis dengan perjuangannya yang panjang? Bagaimana, masihkah sebanding perjuangan itu dengan harganya?

Saya teringat kata-kata yang diucapkan Pak Ersis Warmansyah Abbas dalam taklshownya di kampus saya setahun silam. “ Saya itu orang miskin, saya nggak punya apa-apa yang dapat saya wariskan pada anak dan istri saya kecuali ratusan buku yang ada di rumah”

Mewarisi anak dengan buku, berarti mewarisinya dengan ilmu.  Kekal.  apalagi jika diajarkan dan diamalkan, akan jadi sebuah amal jariyah yang akan terus mengalir deras walaupun  nyawa telah lepas raga. Adakah yang lebih indah dari warisan itu?

Yuk, Instal ulang paradigma kita tentang buku, tak lagi mengintip harganya, tapi melihat jauh kedalam, ke lorong-lorong perjuangan dan  inspirasi yang tak pernah menemui tepian. Reform our book Paradigm
Wallau’alam

Memiliki sebuah rumah dengan buku-buku sebagai pemenuh temboknya, buku yang bisa dibaca oleh siapa saja. Berapaun harganya yang penting terbaca dan mengispirasi sesama
_sebuah impian_


Tidak ada komentar:

Posting Komentar