Senin, 06 Mei 2013

Wanita Awan

Matahari terbesar pertama yang kulihat adalah matahari siang ini. Sebelumnya aku hanya melihat matahari tak lebih besar dari  tutup panci. Sinarnya begitu menyengat, hangat. Sepertinya matahari tak berada jauh dariku. Disana. Ya disana di pucuk tertinggi gumpalan awan. Disanalah matahari berada. Bersama awan yang terus menggumpal. Entahlah berapa panjang jaraknya. Dekat. Lebih dekat dari biasanya.

Dimanakah aku kini, apakah aku sudah mati? Mengapa matahari dan awan begitu dekat? Dimana aku? Kurasakan semilir angin merasuki celah pori, menerbangkan helai-helai rambutku. Angin. Kenapa sapuannya lembut sekali? Kemana angin buas malam, kemana angin yang menusuk? Aku masih terus bertanya, tapi tak ada suara yang membalas tanyaku. Allah dimana aku? Kau juga tak mau membalas tanyaku?

Tempat ini entahlah apa namanya, sebuah tempat berawan awan. Mungkinkah ini negeri awan yang kubaca di dongeng masa kecilku? Seluruh bagian tempat ini di penuhi gumpalan awan, awan putih yang bergumpal gumpal seperti buih.  Buih yang putih bersih. Dibalik awan itu kulihat satu persatu warna berbaris menyatu membentuk lengkungan. Biasanya aku menyebutnya pelangi. Pelangi , di tempat inikah ia dibuat? Kurasakan jari-jari menyentuh pundakku. Aku menoleh. Dimataku dia adalah sosok wanita. Wanita yang tak pernah kulihat sebelumnya. Putih kulitnya dalam putih kerudungnya. Indah sekali alisnya. Indah sekali matanya. Indah sekali hidungnya. Indah sekali bibirnya.  Allahku, ku nikmati keindahan dalam keindahan. Di atas keindahan di bawah keindahan. Di kanan-kiri keindahan. Di tengah-tengah keindahan yang indah sekali*

Berulang kali kutepuk pipiku, kucubiti kulit-kulitku, aku tak bermimpi. Dia sungguh seorang wanita. Wanita yang cantik sekali. Belum pernah aku melihat wanita secantik dia. Bahkan ibuku, adikku tak secantik dia. Wanita itu, bisakah dia menjawab dimana aku?
Kuberanikan diri mengeluarkan suara, “ Dimana aku?”

“Di sebuah tempat yang akan merubah hidupmu, Rum”

“Kau tau namaku?”

“Rumi”

Wanita itu berjalan berlahan, mebiarkan helai-helai gaun sutranya menari, Langkahnya seolah memberitahuku untuk mengikutinya. Kuikuti langkahnya. Aku penasaran, kemana wanita cantik ini akan membawaku. Kurasakan langkahku semakin panjang. Rupanya tempat yang ingin dia tunjukkan jauh dari sini.

Tak seberapa lama aku melihat bangunan besar bercahaya, cahaya memancar hingga menyilaukan mataku. Semakin mendekat semakin kulihat digdaya bagunan ini. Ukurannya yang besar. Warnanya putih mutiara, disangga berpuluh-puluh tiang. Halamannya. Hamparan rumput hijau terhampar, ada mawar, kamboja, daisy, melati, tulip, dan diujung kiri kulihat sekelompok edelweiss. Tempat ini, rupanya semua bunga bisa tumbuh disini. Diselimuti awan tipis yangmenyejukkan.

“Masuklah Rumi” kata wanita cantik

Wanita itu terus berjalan membawaku masuk lebih dalam pada rumah. Mungkin ini rumahnya. Oh rupanya ini bukan rumah, ini sebuah istana. Ada singgasana raja besar disana. Ada beberapa dayang yang sibuk menyiapkan makanan. Menghantar buah-buah dan membawa botol-botol susu. Kulihat pula beberapa lelaki sibuk menghias istana. Mereka membawa emas, berlian dan mutiara. Diarangkainya batu-batu mulia itu menjadi hiasan yang indah. Digantungkannya pada dinding dan tiang-tiang. Istana ini semakin bercahaya. Kerlap mencecar mata.

“Tunggu, siapa namamu?” tanyaku. Langkah wanita itu terhenti. Berbalik. Bukan jawaban yang dia berikan. Dia hanya terdiam sambil menyunggingkan senyuman.

“Aku bingung wanita, tempat apa ini? Kau tak pernah menjawab tanyaku? Bahkan aku tak tahu siapa namamu” aku terus mencecarnya dan dia sama sekali tak peduli dengan kebingunganku. Tak ada yang bisa kulakukan kecuali mengikutinya. Pasrah.

Derap kaki kami menggema, aku seperti merasakan berada di dalam sebuah museum. Gema. Bedanya jika museum menghadirkan kisah dalam diam dan bisu, istana ini menghadirkan kisah yang riuh dan sibuk. Semua manusia yang kutemui sibuk dengan aktivitasnya. Aktivitas selayaknya manusia. Mereka itu manusia atau malaikat?  Kenapa semuanya indah bercahaya?

“Berhenti disini Rumi, aku akan memberikanmu sesuatu” Wanita itu masuk ke sebuah ruangan. Sepertinya sebuah kamar. Aku baru sadar ternyata istana ini memiliki banyak kamar. Pintu kamarnya berwarna hitam. Hitam yang memancar. Dan kamar yang dimasuki wanita itu. Ada yang berbeda disana. Ada kata-kata di daun pintunya. Kata-kata yang tak terbaca mataku, terlalu samar. Aku penasaran.

Kulangkahkan kakiku menuju daun pintu itu. Berjingkat. Aku takut pengawal istana akan melarangku. Hampir saja kubaca kata-kata di daun pintu saat seorang pria menyapaku
“ Apakah kamu yang bernama Rumi?”

“Ya, aku Rumi”

“Mau apa kamu masuk ke kamar itu?”

“ Aku hanya ingin membaca tulisan di daun pintu itu” jawabku membela diri

“Tanpa kau baca kau sudah tau”

“ Maksudmu?”

“ Kamar itu adalah kamarmu Rumi”

“Kamarku?”

“Ya, ada potongan tubuhmu disana” Lelaki itu berlalu cepat dari hadapku tanpa memberiku kesempatan untuk bertanya kembali.
Tubuhku? Di dalam kamar itu?

Kudengar sayup-sayup suara ditelingaku. Suara yang sangat aku kenal.

*Di bayang wajahmu
 Kutemukan kasih dan hidup
Yang lama lelah aku cari
Dimasa lalu
Kau datang padaku Kau tawarkan hati nan lugu
Selalu mencoba mengerti
Hasrat dalam diri
Kau mainkan untukku
Sebuah lagu tentang negeri di awan
Dimana kedamaian menjadi istananya
Dan kini tengah kaubawa
Aku menuju kesana*

Allah, rupanya istana itu, keindahan itu,  wanita itu. Mimpi, ya aku hanya mimpi. Mimpi ini, apa artinya? Wanita itu, ah sayang sekali aku belum tanya siapa namanya. Kutengok handphone di meja. Jam tiga pagi. Mimpi itu membangunkanku untuk bertemu dengan Allahku rupanya.

Bayang-bayang wanita di mimpiku  terus berkelebat. Berani sekali dia masuk dalam shalatku, mengganggu saat-saat munajatku. Ah, mungkin bukan dia yang salah tapi aku. Aku dan imanku yang masing diujung kuku, hingga goda semacam itu dengan mudah masuk dalam shalatku. Ampuni aku.

Hari selanjutnya, ternyata aku masih berpikir tentang dia, dia wanita itu.  Abang, mungkin dia bisa menyembuhkan kemelut hatiku.

“Bang, pernahkah abang bertemu seorang wanita dalam mimpi?”

“Hayo, kamu mimpi ya Rum, sudah mandi belum?”goda abang

“Ah Abang ini, bukan mimpi itu maksud Rumi”

“Lalu?”

“Mimpi yang aneh Bang, tiba-tiba saja aku bertemu dengan wanita cantik di sebuah tempat yang indah. Wanita itu meninggalkan aku masuk ke sebuah kamar. Diakhir mimpi ada lelaki yang bilang potongan tubuhku ada di kamar itu, Bang”, “Mimpi macam apa ini?”

“ Rumi, Rmi kamu ini sudah dewasa. Mungkin itu jawaban untukmu” Abang meninggalkan aku sesaat setelah menepuk bahuku. Ah abang ini bagaimana, kutanya agar ia memberijawaban malah membuatku semakin bingung. Dewasa? Jawaban? Aku masih belum mendapatkan jawabannya.

Mimpi itu, wanita itu, jawaban itu. Apa mungkin ini jawaban dari pinta ibu beberapa hari lalu?
“Rumi, ibu pengen gendong cucu, Nak”,

“Kan ada Iqbal, anak Bang Adam Bu, gendong saja dia” selorohku

“Ah kamu, ibu pengen gendong bayi Rumi”, “bayimu”

Aku tersedak mendengar kata-kata terakhir dari ibu. Bayiku. Yang benar saja. Istri saja belum punya. Bayi apalagi. Lagipula aku ini baru saja pensiun menjadi mahasiswa. Kerja juga masih baru dimulai beberapa bulan lalu. Belum ada pikiran untuk meminang anak orang. Mau aku beri makan apa?

“ Lihatlah ibu bawakan sebuah foto untukmu” diletakkannya amplop itu disampingku. Amplop yang belum sempat kubuka, sesaat setelah itu aku mendapat telepon dari seorang kawan untuk segera berangkat kerja.

Amplop itu. Dimana dia? Mendadak aku diliputi rasa penasaran tingkat akut. Kucari amplop itu di meja makan, di kamar tidurku, di lemari. Nihil.  Amplop itu, foto itu, wanita itu, mungkinkah ia?  Wanita awan, Wanitaku. Potongan tubuhku, tulang rusukku?

*Puisi  Wanita Cantik Di Multazam Gus Mus
*Lirik lagu Negeri di Awan Katon Bhagaskara
Rizza Nasir

Tidak ada komentar:

Posting Komentar