Senin, 29 April 2013

SENSASI REZEKI

Setiap bayi yang lahir membawa rezekinya masing-masing

Kata-kata ini kembali terngiang. Kata-kata sederhana yang bisa menggugah mereka yang mulai resah terhadap kebutuhan hidup  Tak dipungkiri keberadaan uang memang menjadi hal yang sangat penting dalam kelangsungan hidup manusia. Uang sebagai alat tukar pemenuh kebutuhan  yang dicari oleh setiap orang. Uang dicari dengan barbagai cara, digunakan untuk pemuas kehidupan. Uang, uang dan uang tak ada habisnya. Label materialistik pun kerap menempel di jidat orang-orang yang menuhankan uang. Mengaanggap uang adalah kehidupan, tak ada uang  berarti kematian.


 Bagaimana saya harus mencari uang, dimana saya bekerja? Pikiran-pikiran macam ini sering menghinggapi pemuda-pemudi tanggung seperti kita. Apalagi bagi mereka yang sudah mulai menatap masa depannya. Dulu saya tak pernah terpikir tentang uang dan bagaimana mencari uang, karena sejak kecil orang tua mencukupi kebutuhan saya.  Sebagai anak saya berperan sebagai peminta dan orang tua sebagai pemberi. Menyodorkan tangan terbuka bila membutuhkan sesuatu. Meski saya pun tahu mencari uang bukan hal mudah bagi keluarga kami namun tak pernah terpikir di benak saya tentang mencari uang kala itu.
 
Waktu yang mendewasakan saya hingga saya mulai berpikir bahwa menggantungkan hidup pada orang tua harus dikurangi beberapa persen seiring bertambahnya usia. Rasa ingin mendapatkan uang hasil keringat sendiri terus membuncah. Mungkin inilah janji Allah dalam Surat Al- Baqarah ayat 212  Sesungguhnya Allah memberikan rezeki kepada siapa yang dikehendakinya tanpa batas.  Ayat ini menegaskan bahwa semua rezeki milik Allah dan semua untuk makhluknya. Ketika kita mau bergerak maka disitulah rezeki kita diberikan.

Tak hanya saya ternyata teman-teman juga mengalaminya. Dalam suatu diskusi dengan beberapa teman. Semua meng-amini apa yang saya alami. Ternyata semuanya memang memproyeksikan hidupnya jauh ke depan, berusaha menjadi dewasa yang mandiri. Mulai dari mahasiswa tingkat pertama hingga tingkat akhir namun kadarnya tentu berbeda tergantung pada pemahaman dan kedewasaannya.
Gejolak jenis ini tentu lebih besar dialami mereka, kaum lelaki. Yang memang secarra kodrati mendapatkan tugas istimewa untuk menafkahi keluarganya.  Tentu semua lelaki di dunia ini paham akan tugas mulia ini. Seiring bertambahnya usia para lelaki mulai berpikir tentang dunia kerja. Dunia yang di masa depan akan menghidupi dirinya dan anak istrinya.

Bahkan saya pernah  menaruh beberapa persen rasa kasihan saya pada kodrat lelaki ini. Apalagi jurusan yang saya ambil adalah pendidikan anak. Kelak saya akan jadi guru, teman-teman saya pun akan begitu tak terkecuali  mereka yang lelaki. Bagaimana meeka akan menafkahi keluarga dengan gaji guru honorer yang tak seberapa? Bagaimana jika ASI istrinya tak lancar lalu anaknya harus disadur dengan susu formula? Gaji honorer dua ratus ribu bagi guru pemula cukupkah untuk beli susu? Bukannya  saya bepikir materialistic tapi saya berpikir tentang hidup  di masa depan dengan segala kemungkinannya.

Dalam perbincangan dengan teman-teman di kelas yang disitu ada teman perempuan dan lelaki , saya perrnah berujar  kasihan ya para lelaki. Mereka yang cari uang kita yang menghabiskan. Lalu teman saya menambahi ya itu kan memang tugas mereka. Tugasnya mencari nafkah. Kita yang merawat anak-anaknya dan menjaga rumahnya.


Teman yang lelaki pun tak mau kalah, ya tak apalah Za, itu memang sudah tugas kita. Santai saja. Semua orang punya rezekinya masing-masing. Satu hal  Za, kami ikhlas kok berpeluh demi anak istri nanti.  Asal kamu tahu lelaki itu akan sangat bahagia bila ia bisa memberi bagi keluarganya terlebih kekasih hatinya, istri dan anak-anaknya ujarrnya. Saya hanya mampu ber- Subhanallah mendengar seloroh itu.

Diskusi tentang nafkah di kelas saya tak berhenti sampai disitu, di beberapa waktu luang kami membincang tentang usaha bersama. Ada yang berniat membuka bimbingan belajar, menjual tas-tas kuliah, bros-bros cantik, ada pula yang mengajar di TPQ dan beberapa les private.  Keresahan ini ternyata  tak hanya milik saya   tapi juga milik semua mahasiswa.

Hari ini di sebuah mata  kuliah, saya kembali mendapatkan pencerahan tentang hakikat uang, kepuasan dan penerimaan atas takdir rezeki. Dosen saya mengatakan, semakin seseorang mendapatkan kemapanan maka ia akan semakin resah.  Padahal tiap bulan sudah ada jatah gajian, tapi kenapa masih merasa kurang. Manusiawi memang. Manusia memang tak pernah puas. Disinilah pentingnya kesyukuran  hal terakhir yang mengalahkan nafsu keduniawian. Mencari rezeki itu tidak sulit, asal kita mau bergerak pasti rezeki bergerak pada kita. Membangun mindset yang positif itu perlu.

Beliau mengajak kami melihat realita tentang banyaknya penjual kaki lima. Mereka yang rezekinya harian. Mereka yang jika hari itu tak bekerja maka tak dapat uang, mereka yang saingannya ratusan dalam sehari. Coba lihat berapa banyak penjual nasi goreng yang lewat di depan rumahmu  malam hari, lebih dari satu bukan? Tapi tetap saja ada orang yang membeli.  Allah yang mengatur pembagian itu. Pembagian rezeki bagi meeka yang mau bergerak,  bagi mereka yang mau menjemput rezeki.

Uang yang kita dapatkan dengan peluh itu harus dibarengi dengan kemampuan kita mengelolanya. Bagaimana agar tak lebih besar pasak daripada tiang, agar masih ada sisa untuk tabungan masa depan dan memberi untuk kehidupan lainnya. Semuanya harus seimbang. Satu hal yang mungkin sering dilupakan mereka pencari uang adalah berbagi. Berbagi pada orang lain. Bahwa ada hak mereka dalam rezeki kita. Bahwa berbagi tak membuat kita merugi.  Rezeki sendiri tak melulu bicara soal uang ada banyak rezeki yang tanpa kita minta kita sudah mendapatkannya. Tubuhmu, nafasmu, keluargamu, damaimu. Semua itu juga rezekimu.

Bekerjalah dengan baik, cari uanglah dengan elegan dengan tetap memperhatikan kehidupan. Kehidupanmu juga kehidupan mereka. Jangan sampai karena sibuk bekerja kita lupa makan, lupa tidur, lupa kuliah bahkan lupa sholat. Serahkan takdir rezeki pada pemiliknya. Yakini bahwa setiap langkah kaki untuk mencari rezeki akan menemui akhirnya. Akhir yang membuat lelah hilang, membuat peluh mengering. Saat dimana kita bisa memberikan gaji pertama pada bunda  juga saat dimana kita tak lagi meminta.

Mari bersama belajar, menjadi pemuda pemudi mandiri. Yang tak hanya bergantung dari orang tua sebagai pemberi. Lewat jalan mana? Jalan yang kau sukai. Rasakanlah sensasi menghidupi diri sendiri. Sensasi rezeki. Selalu ada jalan bagi mereka yang mencari. Wallahu’alam

Rizza Nasir

Tidak ada komentar:

Posting Komentar