Sabtu, 13 April 2013

RUMAH ITU BERNAMA FLP



Rumah itu bukan rumah mewah tapi rumah sederhana. Rumah bergaya minimalis dan elegan. Dihuni oleh orang-orang yang berjalan diatas titian inspirasi yang tak pernah menemui tepian.  Rumah yang tak hanya dihuni tapi juga dihidupi dengan hati. Rumah dengan segumpal cahaya yang kami harap bisa berpendar ke seantero dunia. Rumah itu bernama FLP.

Saya mengenal FLP atau lebih tepatnya tahu FLP sekitar  sembilan tahun lalu. Ketika itu saya masih duduk di kelas 1 sebuah madrasah tsanawiyah di pinggiran Kota Kediri. Mengenal FLP dari majalah remaja muslim yang kala itu lagi booming, ANNIDA namanya, kebetulan perpustakaan sekolah berlangganan majalah itu. Entah mingguan atau bulanan ya waktu itu saya lupa. Yang jelas, ANNIDA selalu menjadi rebutan setiap edisi barunya mampang di rak majalah.


Berawal dari kegemaran membaca majalah itu saya mulai suka dunia fiksi, dunia kisah dan puisi. Di halaman belakangnya selalu ada deretan buku baru dan diujung buku itu selalu ada tiga huruf keramat berwarna biru. F, L dan P. FLP. Awalnya saya tidak tahu apa FLP itu, sampai ada beberapa artikel yang bercerita tentang penulis memaparkan FLP itu apa dan bagaimana.

Penulis fiksi pertama yang saya kenal adalah Helvi Tiana Rosa, lewat cerpennya Ketika Mas Gagah Pergi. Cerpen yang kala itu menjadi bagian dari antologi cerpen Helvi. Kisah Mas Gagah yang menggugah dan keseringan membaca cerpen membuat saya tertarik membuat yang serupa, menuliskannya berlembar-lembar pada buku catatan yang sekarang entah dimana.


Di jenjang Aliyah, minat menulis saya menurun. Meskipun saya bergabung dengan ekskul jurnalistik , namun kala itu saya lebih tertarik menekuni bidang broadcasting yang menjadi salah satu sub dari ekskul jurnalistik itu. Lebih tertarik belajar ‘bicara’ daripada menulis. Hanya diarylah yang menunjukkan bahwa saya masih ‘berdarah’ penulis.

Saya mungkin telah lupa tentang FLP ketika waktu menuntun saya kembali padanya. Tepat setelah UTS semester 1 di akhir bulan November 2010. Seorang teman membawa saya kembali mengingat FLP
“Mbak Rizza suka nulis kan?”,”ada open reqruitment FLP Malang lho ikut aja”
“eF eL Pe?” saya berusaha mengingat-ingat

Ada terbersit keinginan untuk kembali menulis. Dunia lama yang saya lupakan karena sibuk ujian. Modal nekat saya sms contact person- nya. Saya daftar menjadi peserta. Mengikuti serangkaian agenda open reqruitment yang panjang. Sekitar 4 bulan. Bersama FLP saya mulai keluar kampus. Sebelumnya, karena  masih mahasiswa baru waktu saya banyak habis di kampus dan ma’had.  Mulai tahu perpus kota, pasar minggu. Skotdam, alun-alun. Waktu itu rangkaian acara OR banyak berkutat di tempat-tempat itu.

Saya mulai mengenal banyak orang, tak hanya dari UIN saja tapi UB, UMM, UMM, dan kampus lainnya. Tak hanya mengenal teman seusia tapi juga yang berusia di atas dan di bawah saya. Tentu saja ini sangat menyenangkan. Bisa berbagi keilmuan tanpa batas. Di FLP saya menemukan orang-orang yang bisa menjadi ‘kakak’, ‘ayah’, ‘ibu’ dan ‘adik’ saya. Saya menemukan keluarga saya disini. Semua orang menerima saya dengan baik. Berbagi ilmu menulis, pengalaman hidup, mimpi,  buku-buku dan film-film yang berkualitas.

Awalnya saya tak mengenal mereka, tapi karena seringnya kami bersua kami jadi seperti keluarga. Seiring waktu obrolan kami yang dulu kaku dan formal menjadi renyah. Tak hanya belajar kami juga jalan-jalan bersama. Berburu buku, kuliner hingga wisata. Lengkap.

Bersama FLP saya menemukan jalan hidup. Selain sebagai pendidik saya juga akan hidup di dunia pena, dunia kata. Memilih pena sebagai lahan dakwah saya. Dakwah lewat pena, itulah yang saya bisa. Karena banyak hal yang bisa dipetik melalui cerita dan kisa sederhana. Intansurullaha yansurukum wa yustabit aqdamakum. 


Ranting UIN. Bersama Ranting UIN saya baru merasakan ‘benar-benar berorganisasi’. Sudah hampir setahun kami merawatnya, merawat agar ia tetap kuat bersama cabangnya. Tidak kering dan luruh diterjang angin. Di rumah-rumah  saya yang lain (baca: organisasi) penghuninya banyak, pondasinya kuat catnya pun warna-warni. Tapi rumah yang benama Ranting UIN ini, adalah rumah yang kami bangun kembali, memperkuat pondasinya, menata kembali perabotnya juga memperindah catnya. Kami membangunnya bersama. Bermodal keyakinan dan kemauan untuk belajar. Dengan penghuni yang bisa di hitung dengan jari, kami berjuang agar rumah ini tetap berdiri dengan anggun.

Rumah itu bukan rumah mewah tapi rumah sederhana. Rumah bergaya minimalis dan elegan. Dihuni oleh orang-orang yang berjalan diatas titian inspirasi yang tak pernah menemui tepian.  Rumah yang tak hanya dihuni tapi juga dihidupi dengan hati. Rumah dengan segumpal cahaya yang kami harap bisa berpendar ke seantero dunia. Rumah itu bernama FLP
Selamat datang ^_^

RIZZA NASIR
Aktivis FLP Cabang Malang

Tidak ada komentar:

Posting Komentar