Senin, 10 November 2014

KELANA KENDARA



Aku masih ingat betul, kala itu usiaku 5 tahun. Baru naik ke kelas nol besar di TK Dharma Wanita. Sebagai hadiah ulang tahunku ayah membelikanku sepeda. Sebenarnya bukan hadiah, tapi permintaan karena sudah sejak lama aku iri dengan temanku yang dibelikan sepeda. Sepedaku warna merah, beroda empat. Dua roda di kanan dan kiri sebagai roda bantu. Aku menaikinya setiap hari, tapi aku tak pernah bisa jika roda bantu itu di lepas. Aku selalu jatuh. Saat itulah aku tahu kalau aku tak punya keseimbangan tubuh yang baik. Tak seperti temanku yang dengan sepedanya ia bisa kapan pun ke rumahku. Sebagai penghibur teman-temanku giliran memboncengku.

Masuk SD aku selalu diantar jemput. Diantar di depan gerbang, lalu berjalan ke kelas. Begitu setiap hari. Karena asik sekolah dan selalu diantar aku jadi lupa kalau aku punya sepeda. Bahkan aku sampai kehilangan keinginanku untuk bisa bersepeda. Itu karena ibu mengatakan, “Ora usah numpak sepeda, diterne ae” (tidak usah naik sepeda diantarkan saja)

Menginjak usia 12 tahun aku mulai hidup mandiri, tinggal di pondok putri Avissina saat bersekolah di MTsN 2 Kediri lalu tinggal di asrama putri MAN 3 Kediri. Praktis aku hanya butuh berjalan jika ke sekolah. Ayah dan ibuku hanya menjemput saat akhir pekan dan mengantar kembali Senin pagi, begitu seterusnya selama enam tahun. Lama ya?


Saat di sekolah menengah itu jika ada keperluan organisasi yang mengharuskan aku naik kendaraan umum, aku naik kendaraan umum juga, seperti mikrolet, bis kota, becak. Semuanya sudah kucoba. Kadang kalau ingin dolan. Aku dibonceng teman perempuan. Pendek kata, kalau ada kegiatan apapun itu, aku tak mau ketinggalan atau tak mau ditinggal hanya karena mereka kasihan padaku. Pada kakiku. Akhirnya karena teman-temanku tahu aku mampu, aku tak lagi merajuk untuk bisa ikut. Mereka selalu mengajakku. Kalau aku tak ada mereka mencariku.

Jarak Kediri Malang jika ditempuh dengan kereta hanya butuh 5 ribu rupiah, tapi saat kuliah di Malang, aku selalu naik travel Abadi jika ingin pulang atau kembali ke Malang. Biayanya dari mulai 45 ribu, naik 55 ribu di tahun terakhir kuliahku. Jumlah yang sangat besar jika dibanding harga tiket kereta. Tapi ayah dan ibuku tak pernah mempermasalahkan uang, mereka hanya ingin aku mendapatkan ‘kemudahan’ dengan diturunkan travel di depan kos-kosan tak perlu naik turun angkutan.

Padahal ibu dan ayah juga tahu selama di Malang aku tidak menjadi mahasiswa kupu-kupu. Setiap hari aku naik len untuk berangkat mengajar anak-anak les privat. Aku banyak mengikuti kegiatan. Kadang naik motor boncengan, kadang naik bus atau truk. Bareng-bareng dengan teman.Ayah dan ibu sepenuhnya tahu apa yang kulakukan di Malang, mereka pun tahu kalau aku sama sekali tak kesulitan jika harus naik turun angkutan. Tetapi kenapa mereka masih menyuruhku naik travel? Bukankah itu sangat mahal? Sebuah kekhawatiran yang tak kumengerti.

Tapi sebagai anak aku hanya harus manut pada mereka. Toh, tujuan mereka baik dan ini adalah bentuk perlindungan mereka padaku. Sebagai bentuk pengertianku, meski jarak Kediri Malang bisa ditempuh dalam 3 jam. Aku jarang pulang. Aku hanya pulang saat libur panjang, minimal 3 hari. Kenapa? Aku ingin menghemat biaya transportasi. Lagipula aku sudah terbiasa berkelana jauh dari mereka. Rindu itu tetap ada tapi biasa saja.

Pernah saat itu aku mencoba belajar naik motor, tapi aku selalu kehilangan keseimbangan dan jatuh. Akhirnya tak kuteruskan belajar, apalagi itu motor  matic pinjaman, apa jadinya kalau aku membuat motor itu beset-beset? Pernah juga ibu mengusulkan, kalau aku bisa naik motor tetapi harus dimodifikasi menjadi roda 3. Ah, itu pasti mahal dan akan membuatku benar-benar tampak berbeda di jalanan. Jujur saja, aku sudah bosan dengan pembedaan, pemakluman. Aku ingin sama seperti yang lain. No excuse!

Belakangan ini setelah tamat belajar di Malang dan memtuskan mencari penghidupan di Yogyakarta. Untuk pertama kalinya aku memesan tiket kereta untuk perjalananku. Tak kusangka ayah dan ibu menyetujui, tanpa larangan dan penolakan. Padahal bisa saja mereka menyarankanku untuk naik travel ke Jogja. Toh biayanya tak jauh beda. Kereta 50-85 ribu sedangkan travel 120 ribu. Kenapa mereka tak menyarankan naik travel saja?

Dulu aku memang pernah naik kereta, bersama ayah ibu dan adik-adik. Pernah juga naik kereta ke Malang untuk tes SNMPTN bersama serombongan teman-teman. Tapi kali ini aku harus naik kereta sendiri. Pertama kali setelah sekian tahun. Pertama kali dengan jarak yang jauh, apalagi saat itu di dalam tubuhku ada organ yang harus dioperasi dalam dua hari setelah berpergian itu. Sendiri, jauh, dengan perut melilit penyakit. Benar-benar pengalaman berkendara yang dramatis. Anehnya, kok  ayah dan ibuku tak khawatir seperti dulu?

Sekarang setelah menetap di Jogja aku harus berteman dengan Trans Jogja jika ingin kemana-mana. Tiga hari dalam seminggu aku harus naik bus itu untuk menuju tempatku bekerja. Butuh 2,5 jam perharinya. Lama, capek, tapi aku menikmati perjalanan ini. Karena ini pilihanku

Aku sadar selamanya mungkin aku tak pernah bisa naik sepeda atau sepeda motor. Aku tak pernah membonceng ibuku ke pasar atau mengantar ayah kemana saja seperti pemuda lain lakukan. Aku juga harus setia dengan angkutan umum dimanapun aku berada. Padahal mimpi masa kecilku sederhana : Aku ingin bersepeda bersama teman sepermainan tiap Minggu pagi, tapi rupanya Allah tak merestui.

Apa lagi yang kunaiki? Oh ya, pesawat! Pernah sekali, itu pun karena sebuah kesempatan dari kampusku. Kalau tak karena itu mungkin aku masih sering takjub melihat pesawat lewat di atas atap rumahku. Kapal Feri, pernah kunaiki waktu mengunjungi keluarga di NTB itu pun sudah belasan tahun lalu.

Kata seorang keluargaku, “ nggak apa-apa nggak bisa naik motor, kelak kan bisa dibonceng Masnya kan?” atau begini, “Makanya buruan nikah biar ada yang membonceng” Mereka benar, mungkin dengan menikah aku bisa dibonceng Mas kemanapun aku mau dan aku yakin dia juga mau karena sebagai suami yang mencintaiku ia tentu tak ingin melihatku naik angkutan, ia akan merasa tersanjung jika ia bisa membantu dan melindungiku pun dengan melengkapi semua kekuranganku.

Tapi, Masku tentu kunikahi bukan untuk itu. Terlalu sederhana jika menikah hanya agar ada yang membonceng atau mengantar kemana-mana. Pernikahan di mataku lebih agung dari itu. Sesekali aku ingin juga kelak dibonceng Mas kemana saja. Hanya berdua, menikmati angin jalanan, lalu berhenti disebuah tempat yang ingin kami kunjungi. Atau jika punya putra dan putri, aku ingin kelak kami pergi bersama meski dengan roda dua. Mengajak anak-anak ke tempat yang mereka suka. Ah, aku memang banyak berkhayal!

Tapi sejujurnya, aku ingin bisa mandiri lebih sempurna lagi. Aku ingin bisa kemana-mana sendiri, tanpa harus diantar, tanpa harus di jemput, tanpa harus menunggu angkutan dan pertolongan orang lain. Jika sepeda dan sepeda motor telah tertutup bagiku. Maka aku ingin belajar mengemudi mobil. Ya, aku ingin mengemudi mobil! Kuasa mobil tak butuh keseimbangan tubuh, aku hanya harus fokus menginjak gas dan rem. Fokus pada jalanan dan rambu-rambu. Itu saja. Aku yakin aku dan tubuhku ini bisa melakukannya!

 Kelak aku juga ingin mengantar anak-anakku ke sekolah mereka, mengecup keningnya lalu melihat mereka berlari ke gerbang kelasnya. Kalau kelak aku seorang guru, aku ingin bisa ke sekolah sendiri. Kalau kelak aku seorang dosen, aku ingin pergi ke kampus sendiri. Kalau kelak aku punya usaha pembuatan kue, aku ingin bisa mengantar kue-kue buatanku sendiri. Kalau kelak aku punya penerbitan besar, aku ingin menjadi pelatih menulis bagi anak-anak dan aku ingin berangkat sendiri.

Sendiri yang kumaksudkan disini adalah aku bisa mengemudi sendiri. Jadi kalaupun tak ada siapapun di rumahku nanti, aku tak perlu kebingungan mencari siapa yang bisa mengantar. Suamiku tentu punya kesibukan sendiri dengan pekerjaannya, aku tak ingin karena menikahiku ia menjadi terbebani karena harus mengantarkanku kemana-mana. Sebagai istri aku tak harus selalu dimanja. Meski dalam saat-saat tertentu kami pasti harus menghabiskan waktu bersama. Kami pasti akan terpaksa membantu dan melengkapi satu sama lain. Lagipula tak ada paksaan dalam cinta bukan?

Untuk menebus impian itu aku harus bekerja sekarang, sebagian akan kukumpulkan untuk les mengemudi. Ingin sekali aku bisa mengemudi mobil. Jika Allah merestui semoga aku dan Mas juga bisa punya mobil. Satu untukku dan satu untuknya. Apakah bisa? Pasti bisa!

Aku percaya tak ada yang tidak mungkin,  karena aku dan kendara adalah kelana. Akan tiba pada masanya. Seperti halnya kisahku dulu yang akhirnya diizinkan naik kereta

Rizza Nasir





Tidak ada komentar:

Posting Komentar