Minggu, 09 Desember 2012

Kobaran Leluka

Izinkan aku menuliskan apa yang tak sempat terkatakan. Inilah aku yang biasa dengan tulisan jika suaraku tak lagi di dengar oleh kebisuan dan kesunyian

Bagai kobaran api yang melalap semua derit tubuh. Menyalak. Menelusur bulir-bulir merah di tubuhku. Semuanya mendadak hangat seiring hawa yang biru. Tak ada lagi kata yang keluar dari gemertak gigiku. Aku hanya tak ingin apa yang keluar menggores nurani. Karena aku tau goresan lidahku akan meninggalkan luka yang menganga.

Aku tahu nurani kita terbuat dari tabir yang tipis. Mudah tergores meski hanya tersentuh sedetik saja. Kau menggores luka dan aku tau aku pun juga. Impas. Nikmat ya terluka. Biarlah...biar aku dan kau belajar. Belajar dari luka-luka. Luka itu akan mengering meski tak benar-benar hilang bekasnya. Berterima kasihlah atas luka. Karena dengannya kita menjadi dewasa yang anggun dan wibawa.

Coba tataplah langit itu, sejak tadi ia biru pekat. Mungkin ia menyimpan beribu butiran yang siap terderas dalam detik. Semoga percikannya sampai ke dasar terdalam, agar memadamkan api yang sejak tadi mengobar. Tak ada yang perlu disalahkan, tak ada yang perlu memaafkan. Karena salah dan maaf adalah sejoli manusia yang akan berdampingan sampai nyawa telepas raga

Kita memang bertemu di rawa, di tempat yang lesat dan menghitam. Sebab itulah kita tak pernah menjadi lemas dan putih seperti embun yang menyejukkan. Kita selalu memenuhi rongga dengan liat yang hitam. Cobalah untuk mengerti bahwa aku masih disini. Sejak tadi aku disini, tapi kau mungkin lupa dimana tempat kita biasa bersua. Kau bahkan lupa nama tempat itu dan alasnya. Kau lupa semuanya.

Ingatkah, suatu sore. Hanya ada beberapa pasang mata yang menyaksikan sejarahmu, sejarah yang akan menambah panjang pikirmu dan mempersempit harimu. Sejarah yang mungkin kau lupa. Tapi aku masih mengingatnya. Sejarah tentang pemberian bunga kering dan vasnya. Bunga yang selalu ada dalam setiap suratan. Bunga yang ketika dia tiada menjadi pertanyaan.

Bunga kering dan vas nya kini ada padamu. Kau sudah menggantinya beberapa waktu lalu. Terima kasih karena kau menggantinya, bunga itu menjadi kembali nyala dan suratan tak lagi hilang nyawa.  Kuceritakan padamu tentang nyawa-nyawa yang mengharap adanya warna baru, tentang nyawa yang tak pernah sedikitpun meragukanmu. Tapi aku heran. Kenapa kau harus meragu?

Ragumu itu menyesak lukaku. Seakan kau tak percaya pada suratan. Tak percaya atau kau memang benar-benar lupa? Kau masih saja mempertanyakan itu, kau meragu. Padahal perahu sudah sejak lama berlayar. Tidakkah seharusnya kau tinggal saja ragumu di ujung dermaga dan mencoba meyakini bahwa semua akan baik-baik saja?  Aku sudah muak dengan ragu yang kau titipkan lewat hembusan angin. Kalau kau meragu begini. Tidakah kau melihatku dengan keyakinan yang kupunya?

Semua akan baik. Percayalah padaku. Kobar api yang tersulut akan memadam seiring waktu karena hujan akan mengikisnya. Seharusnya kita berkaca pada cermin yang terang diujung sana. Bagaimana agar bibir tak mengucap luka. Seharusnya kita belajar menjadi pribadi besar hati, lapang dan tak mudah terluka. Seharusnya kita belajar bagaimana bahasa manusia yang santun dalam setiap perkara. Karena perkara itu akan terus ada selagi perahu belum menepi. Seharusnya kita belajar bagaimana mengerti bahwa perahu  tak bisa berlayar sendiri. Ia akan karam jika api masih terus kobar.Seharusnya. Tapi rupanya kita belum bisa.



Kau pernah menjadi malaikat dimataku. Putih. Dan aku peduli dan bercermin pada putihmu. Tapi kini aku tersadar kau telah kehilangan sayapmu. Malaikat selalu bersayap. Tapi kau tak memilikinya. Entah tertinggal dimana. Karena itulah putihmu perlahan menepi mataku. Berganti hitam yang meruah dan amarah. Aku mafhum. Kau telah kehilangan. Malaikat tanpa sayap

Pertanyakan tentang kebaikan dan ketulusan. Karena ia seperti cinta yang tak butuh logika, ia seperti hujan yang tak butuh cawan. Mengalir. Menyerupa arus yang mengikis debu dan menarikan dedaunan. Aku ingin daun-daun  tetap menari, aku ingin perahu berlayar hingga menepi. Dan di tepian akan kutemukan lambaian dan senyuman dari nyawa yang menanti perubahan peradaban.

Aku masih tetap begini. Disini. Berharap kau mengerti bahwa aku tak bisa jalan sendiri. Semoga kau kembali meski tak benar-benar pergi. Aku hanya ingin jadi lilin yang tak mengutuk kegelapan. Yang bahagia meski diriku teluka. Karena aku telalu cinta pada ruang gelap itu. Harusnya kau pun begitu  Itu saja, tak perlu bertanya lagi ya. Karena tanyamu masih menyisa luka.

Semoga Allah menutup luka dan menggatinya dengan gelora


Tidak ada komentar:

Posting Komentar