Sabtu, 26 Juli 2014

Belajar Dari Iklan PERTAMINA:

Iklan tersebut menayangkan seorang ibu yang sudah lanjut, mengalami kepikunan. Tidak mau makan, mencari suaminya yang telah meninggal dan menata baju untuk mudik padahal jadwal mudik masih lama.

Melihat iklan itu aku tertegun. Ya, orang tua yang sudah lanjut memang seperti itu. Aku sendiri merasakannya. Ayahku, beliau kadang sabar, kadang marah besar untuk hal-hal sepele, kadang begitu mengkhawatirkan hal-hal yang tidak perlu. Tak bisa melihat apapun, pendengaran berkurang dan tak bisa melakukan apa-apa sendiri kecuali sholat. Itupun di atas kursi roda dan bertayamum. Belum lagi harus menjalani hemodialisa dua kali seminggu, tiap Selasa dan Jum'at. Ya, aku paham, siapa yang tidak bosan terus-terusan di kamar dan di atas kursi roda? Siapa yang tidak nelangsa jika dulunya bisa melakukan apa saja sekarang tak bisa apa-apa? Aku mencoba mengerti.

Kuakui, sulit sekali berada pada posisi seperti ini. Ayah yang sakit, ibu yang harus bekerja, adik-adik yang masih sekolah. Sementara aku sendiri masih memiliki banyak impian. Ideaalisme dan keinginan yang sangat besar untuk mengajar, kuliah lagi dan menambah pengalaman di kota lain bahkan bila memungkinkan negara lain. Ingin kesana dan kesana, ingin bertemu dia dan dia. Tapi jika aku begitu, bagaimana dengan ayahku? Tegakah aku membiarkan ia di rumah sendirian? Seperti yang selama ini dialaminya selama aku menyelesaikan kuliahku di Malang.

Melihat teman-teman dengan status-statusnya, dengan sms-sms informasi kesuksesannya kadang ada rasa ingin juga seperti mereka. Ingin mencoret mimpi-mimpi selanjutnya. Cemburu. Sangat cemburu. Begini ya rasanya cemburu?




Dulu aku begitu aktif kesana kemari, bertemu banyak orang dan banyak kegiatan. Ketika sekarang aku hanya di rumah, berkutat dengan pekerjaan rumah, menjaga ayah dan hidup bersama dua adik laki-laki yang sedang meremaja dengan banyak 'kenakalan' mereka. Rasanya begitu membosankan. Apalagi saat gejolak mimpi-mimpi itu sedang memuncak. Rasanya sungguh menyiksa. Akibatnya aku lebih sering sensitif. Apalagi jika ayah sudah mulai 'rewel', adik-adik menjahili. Duh...

Beruntung di iklan pertamina itu, ibu yang sudah sepuh itu punya putri yang sangat sabar dan begitu menyayanginya. Meski ibunya menderita kepikunan akut, putrinya masih terus bersabar. Berbeda sekali denganku yang kadang masih menggerundal.

Akhirnya, aku menyadari aku sedang berperan di filmku yang lain. Settingnya di Kabupaten Kediri, peranku adalah sebagai seorang putri dan seorang kakak. Cobaannya adalah ayahku yang sakit, dan adik-adik lelakiku yang sedang meremaja dengan banyak kemauannya disutradarai langsung oleh Allah Azza Wajalla. Bukan film akademisi yang selama ini kugeluti, bukan film travelista yang selama ini kumimpi. Sebagai seorang aktris, aku harus bermain dengan baik untuk peranku ini karena aku ingin menjadi aktris profesional. Aku ingin filmku ini bisa mendatangkan pelajaran bagi diriku sendiri nantinya. Inilah filmku, dan aku harus menikmati peranku.

Dulu, aku sering menangis dan merengek minta dibelikan ini dan itu. Kadangkala harus saat itu juga. Kalau tidak aku akan sangat marah. Aku minta dibantu ini itu, karena aku tak bisa melakukannya. Mereka melatihku berjalan dengan telaten, membawaku berobat kemana-mana dan kemudian melatihku dari yang awalnya tak bisa apa-apa bisa tumbuh menjadi gadis dewasa yang bisa seperti yang lainnya. Kini Allah memintaku untuk membalasnya. Inilah waktuku dan mungkin nanti waktumu.

Iklan sederhana itu mengajarkanku banyak hal, bahwa tak selamanya orang tua berkewajiban merawat anak-anaknya. Ada saat dimana anak harus merawat orang tuanya, karena kehidupan tak mengizinkan seseorang terus gagah dan jumawa, akan tiba masanya ia menjadi seperti bayi kecil yang tak bisa apa-apa. Sebagai anaknya, kita hanya harus telaten dan bersabar, karena dimana-mana orang yang sudah tua pasti memiliki sensitifitasnya sendiri-sendiri. Inilah jalan hidup, tak ada pilihan lain kecuali menjalaninya.

Aku bersyukur, dibalik kecemburuan ini aku masih punya Al-Qur’an yang tak mengizinkan aku berputus asa dan mengajarkanku untuk terus bersabar. Aku bersyukur, karena aku hanya di rumah saja, aku bisa belajar memasak banyak makanan dan kue-kue dari ibuku dan saudara-saudaraku disini. Aku juga memiliki waktu menulis lebih banyak dari sebelumnya. Aku bersyukur, selain mimpi-mimpi yang mengharuskan aku keluar dari rumah dan kotaku, aku punya satu mimpi: PENULIS, dengannya aku bisa terus berkarya dan merasa lega dengan semua yang ada meski hanya di rumah saja. Aku bisa terus memberi meski hanya lewat kata-kata. Aku bisa merasa bahagia, saat tulisan-tulisanku terbaca. Alhamdulillah.

Untuk kalian, bersyukurlah karena masih bisa kuliah S2, mengajar, bekerja sesuai minat. Bersyukurlah pula kalian dikaruniai fisik yang sempurna, sehat dan bisa melakukan apa saja. Bersyurlah pula masih bisa mewujudkan mimpi tanpa beban apa-apa dan masih bisa bersenang-senang sesuka hatinya. Yang terpenting, bersyukurlah karena ayah ibu kalian masih sehat wal'afiat dan bisa melihat kesuksesan kalian.

Berjanjilah padaku, kau tak akan mengecewakan ayah dan ibumu

Salam
Rizza Nasir

***Satu hal yang sering tidak kamu syukuri adalah adanya dua orang tua yang masih sehat, memenuhi semua yang kamu pinta, mengajakmu kemana saja dan menemanimu hingga dewasa***

_Rizza Nasir_

Tidak ada komentar:

Posting Komentar