“Bagaimana jika ia tak
mau kenduren?” itu adalah tanya seorang teman waktu kami diskusi. Mendiskusikan
tentang pernikahan dan suami impian. Awalnya kami membincang tentang keluarga
masing-masing, lalu merembet ke kultural keluarga sampai akhirnya munculah kata
yasinan, tahlilan dan kenduren di perbincangan kami. Munculah pertanyaan itu,
bagaimana jika suami kita nanti tak mau kenduren?
Kenduren atau kenduri
dalam bahasa Indonesia diartikan makan bersama, pertanyaan dari seorang teman
itu terkait dengan kultur sebagian besar keluarga kami mengadakan yasinan atau
tahlilan di rumahnya. Sudah bisa dipastikan, jika ada ritual begini pasti ia dari golongan Nahdatul Ulama atau lebih
dikenal dengan NU. Entah kenapa semua menganggap begitu. Identik.
Nah, bagaimana jika
Allah memberi jodoh kita lelaki yang tak mau dengan ritual itu atau bisa
dikatakan dia Muhammadiyah? Pertanyaan ini seperti de javu bagi saya, dulu saat saya maba. Saya sering sekali mendapat
pertanyaan begini: “Kamu NU atau Muhammadiyah Za?” Mendapat pertanyaan begitu
saya biasanya menjawab “dua duanya” sambil nyengir kuda. Ya, jika ditanya NU
atau Muhammadiyah, saya selalu bingung, dalam benak saya keduanya adalah
organisasi masyarakat, namun jamak lebih dikenal sebagai aliran keagamaan
daripada organisasi masyarakat.
Jika NU atau
Muhammadiyah adalah organisasi keagamaan. Saya tak pernah mendaftar sebagai
kader IPPNU atau IMM. Saya malah mendaftar sebagi kader LDK yang notabene
berpayung Tarbiyah. Jika NU dan Muhammadiyah adalah aliran, maka saya juga tak
pernah ikut jamaah sholawat, jamaah diba’ atau jamaah yasinan pemuda di kampung
karena saya sejak tamat SD dikirim ke
pondok putri dan asrama putri. Pondok saya bukan pondok NU atau pondok
Muhammadiyah, kalau sekarang mungkin dikenal dengan pondok modern. Jika memang
begitu yang dipahami, berarti saya tak masuk keduanya.
Orang tua di rumah, ibu
saya juga tak pernah kelihatan memakai baju hijau-hijau untuk Muslimatan atau baju
abu-abu biru untuk kumpul Aisiyah. Ibu hanya punya seragam hijau tosca untuk
PKK atau Posyandu. Ayah saya, jika ada undangan yasinan, selalu menyempatkan
datang. Saat mbah putri meninggal di rumah juga ada pengajian bersama. Dilihat
dari ayah yang selalu menghadiri undangan tahlilan dan meninggalnya mbah
dengan ada pengajian, mungkin ayah
termasuk NU ya?, tapi jika dilihat dari ibu yang tak punya seragam Muslimat
maupun Aisiyah, berarti ibu saya bukan keduanya.
Dulu pertama kali
pulang setelah dari kampus dan sering
mendapat pertanyaan itu, saya pernah bertanya pada ayah, “Yah, kita ini NU atau
Muhammadiyah?” saya penasaran. Dengan santai ayah menjawab “MuhammadiNU, haha”
Ayah saya memang begitu, tak bisa diajak serius, jika saya serius dia bercanda,
kadang saya sebal juga jika sudah begitu. Ayah beda sama ibu. Ibu serius
sekali, mungkin sifatku menurun dari ibu.
“Ah Ayah, aku serius
nih, malah guyon, temenku banyak yang tanya begitu, aku harus jawab apa?”
“Bilang saja netral,
atau dua-duanya. Mau diajak tahlilan ayo, mau pengajian monggo, mau shalawatan
ya silahkan. Semua itu baik” kata ayah
“Kalau Ayah sering
tahlilan berarti Ayah NU ya?” aku mulai memburu.
“Ngene lho Nduk, mosok
tonggone ngundang gak ditekani. Nekani undangane tonggo iku wajib to?, lek gak
teko, malah dadi omongan, dadi rasan-rasan, awake dewe sing duso lek nyebabne
wong ngrasani” jelas ayah. Ngaji
bareng digawe Mbah iku, anggep ae shodaqoh. Diarani NU yo oleh diarani
Muhammadiyah yo gak popo, sing jelas aku mbiyen gak tau melu Anshor, gak tau dadi
Banser haha” tambahnya masih dengan ekspresi humornya.
Dari jawaban ayah yang
itu, aku tahu kalau ayah dan ibuku adalah orang yang netral bukan NU dan bukan juga Muhammadiyah karena ibuku tak punya
seragam Aisiyah dan ayahku tak pernah jadi anngota banser. Ayah dan ibuku
mungkin memang harus begitu, karena beliau adalah orang yang ditokohkan di
kampungku. Jadi harus adil, tidak mungkin memihak salah satu golongan. Dari
merekalah saya belajar tentang makna adil dan profesional.
“NU
opo Muhammadiyah iku ora dadi soal. Sing penting wayahe adzan budal sholat,
wayahe ngaji budal ngaji, rukun karo tanggane , ora usah dadi wong aneh-aneh,
insyaallah slamet” itu pesan ayah mengakhiri perbincangan
kami. Mungkin ayah capek juga saya terus bertanya.
Kembali ke perbincangan
dengan teman, tentang bagaimana jika suami kita nanti tak mau diajak kenduri,
teringat nasehat ayah itu saya menjawab begini : Nanti aku akan bicara begini sama masku. Kalau kita punya rezeki lebih
niatkan shodaqoh Mas, jangan diniatkan ritual yasinan. Lagipula nggak harus hanya
baca yasin kan? Kita ajak mereka beristiqomah juga membaca Waqiah dan Ar-Rahman
atau kita ajak mereka mengaji seluruh surat di Al-Qur’an. jika diundang yasinan niatkan menghadiri
undangan tetangga.
Saya akan katakan itu
pada dia nanti, kalau dia tidak mau menghadiri undangan yasinan tetangga atau
jika rumah kami nanti semua penduduknya punya kegiatan yasin rutinan atau bergiliran. Nggak
mungkin kan, karena dia tak mau kenduren, dia juga menolak jika rumah kami
mendapat giliran? Saya hanya akan selalu ingat pesan ayah rukun karo tanggane. Aplikasi dari usaha rukun dengan tetangga,
tentu salah satunya dengan membaur pada budayanya. Jika ada yang perlu
diluruskan dari budaya itu, luruskan pelan-pelan.
Saya hanya meyakini
satu hal, jika dia lelaki yang baik dan paham agama. Insyaallah pemikirannya
akan terbuka, dia bisa menerima semua perbedaan yang ada di masyarakat terkait
dengan budaya dan lainnya. Dia akan menjalankannya sebagai upaya berbuat baik
pada sesama. Dia akan memahami bahwa esensi dari semua itu adalah doa, dzikir
dan shodaqoh. Bisa dengan cara apa saja untuk merealisasikannya. Tugas saya
sebagai istri adalah manut padanya
dan mendampinginya.
Kadang, masyarakat
justru tak tak tahu, esensi dari yang dilakukannya. Yasinan, tahlilan, diba’an,
istigostah yang sering dilakukan hanya karena ikut-ikutan, sudah menjadi
kebiasaan dan lain sebaginya. Bahkan parahnya, ada yang beranggapan, jika tidak
tahlilan maka akan dosa. Menurut saya, anggapan ini perlu diluruskan,
masyarakat kita perlu dicerdaskan secara agamis bahwa yasinan dan tahlilan itu
bukan syariat, keduanya adalah produk budaya, cara para wali menyebarkan Islam.
Jadi mau tahlilan monggo mau tidak ya
monggo. Sama sekali tidak ada kata
dosa di keduanya, karena esensinya adalah berdoa, meminta pada Rabb-nya.
Jika ia tak mau
kenduren, saya yakin dia tetap mau menghadiri undangan, disanalah nanti dia
akan meluruskan pemahaman masyarakat, bahwa yasinan dan tahlilan itu bukan
syariat tetapi budaya. Apa yang salah dengan budaya? Toh, jika tak ada ritual ini mugkin masyarakat jawa tak
akan berislam hingga kini. Jika ia tak mau kenduren, saya yakin dia mau
meluruskan, melalui perbincangan saat yasinan atau pengajian. Pelan-pelan. Dia
akan memahamkan dengan hati tanpa menggurui. Lelaki yang dekat dengan
masyarakat tapi punya ideologi tepat dan berkarakter kuat itulah yang dicari.
Mendapat pertanyaan
tersebut, saya semakin paham bahwa
menikah itu tak hanya menyatukan hati tapi juga ideologi. Jika ternyata
memiliki ideologi berbeda, asalkan keduanya open
minded, insyaallah mereka akan tetap beriringan saling melengkapi satu sama
lain. Kuncinya, open minded dan
niatkan untuk hidup dalam dakwah, saling melengkapi dalam kebaikan dan memperbaiki
dalam kekurangan. Lagipula, Jodoh itu tak selalu sama kan? Buktinya ayah saya
sedikit sedikit guyon tapi ibu saya serius sekali, haha
Semoga sebagai generasi
muda, kita bisa terbuka dengan semua yang ada. Selama itu baik dan tidak
menyalahi aturan agama, maka tak ada yang perlu dibantah namun jika itu jelas
bertentangan maka kita harus berani meluruskan. Saya juga masih belajar untuk
itu. Tugas kita sebagai manusia hanya berikhtiar, dan Allah yang menentukan.
Wallahu’alam
Wallahu’alam
RIZZA
NASIR
Tidak ada komentar:
Posting Komentar