Sabtu, 18 Januari 2014

BAGAIMANA JIKA IA TAK MAU KENDUREN?

“Bagaimana jika ia tak mau kenduren?” itu adalah tanya seorang teman waktu kami diskusi. Mendiskusikan tentang pernikahan dan suami impian. Awalnya kami membincang tentang keluarga masing-masing, lalu merembet ke kultural keluarga sampai akhirnya munculah kata yasinan, tahlilan dan kenduren di perbincangan kami. Munculah pertanyaan itu, bagaimana jika suami kita nanti tak mau kenduren?

Kenduren atau kenduri dalam bahasa Indonesia diartikan makan bersama, pertanyaan dari seorang teman itu terkait dengan kultur sebagian besar keluarga kami mengadakan yasinan atau tahlilan di rumahnya. Sudah bisa dipastikan, jika ada ritual begini pasti ia dari golongan Nahdatul Ulama atau lebih dikenal dengan NU. Entah kenapa semua menganggap begitu. Identik.

Nah, bagaimana jika Allah memberi jodoh kita lelaki yang tak mau dengan ritual itu atau bisa dikatakan dia Muhammadiyah? Pertanyaan ini seperti de javu bagi saya, dulu saat saya maba. Saya sering sekali mendapat pertanyaan begini: “Kamu NU atau Muhammadiyah Za?” Mendapat pertanyaan begitu saya biasanya menjawab “dua duanya” sambil nyengir kuda. Ya, jika ditanya NU atau Muhammadiyah, saya selalu bingung, dalam benak saya keduanya adalah organisasi masyarakat, namun jamak lebih dikenal sebagai aliran keagamaan daripada organisasi masyarakat.

Jika NU atau Muhammadiyah adalah organisasi keagamaan. Saya tak pernah mendaftar sebagai kader IPPNU atau IMM. Saya malah mendaftar sebagi kader LDK yang notabene berpayung Tarbiyah. Jika NU dan Muhammadiyah adalah aliran, maka saya juga tak pernah ikut jamaah sholawat, jamaah diba’ atau jamaah yasinan pemuda di kampung karena saya sejak tamat SD dikirim ke pondok putri dan asrama putri. Pondok saya bukan pondok NU atau pondok Muhammadiyah, kalau sekarang mungkin dikenal dengan pondok modern. Jika memang begitu yang dipahami, berarti saya tak masuk keduanya.



Orang tua di rumah, ibu saya juga tak pernah kelihatan memakai baju hijau-hijau untuk Muslimatan atau baju abu-abu biru untuk kumpul Aisiyah. Ibu hanya punya seragam hijau tosca untuk PKK atau Posyandu. Ayah saya, jika ada undangan yasinan, selalu menyempatkan datang. Saat mbah putri meninggal di rumah juga ada pengajian bersama. Dilihat dari ayah yang selalu menghadiri undangan tahlilan dan meninggalnya mbah dengan  ada pengajian, mungkin ayah termasuk NU ya?, tapi jika dilihat dari ibu yang tak punya seragam Muslimat maupun Aisiyah, berarti ibu saya bukan keduanya.

Dulu pertama kali pulang setelah dari kampus  dan sering mendapat pertanyaan itu, saya pernah bertanya pada ayah, “Yah, kita ini NU atau Muhammadiyah?” saya penasaran. Dengan santai ayah menjawab “MuhammadiNU, haha” Ayah saya memang begitu, tak bisa diajak serius, jika saya serius dia bercanda, kadang saya sebal juga jika sudah begitu. Ayah beda sama ibu. Ibu serius sekali, mungkin sifatku menurun dari ibu.

“Ah Ayah, aku serius nih, malah guyon, temenku banyak yang tanya begitu, aku harus jawab apa?”

“Bilang saja netral, atau dua-duanya. Mau diajak tahlilan ayo, mau pengajian monggo, mau shalawatan ya silahkan. Semua itu baik” kata ayah

“Kalau Ayah sering tahlilan berarti Ayah NU ya?” aku mulai memburu.

Ngene lho Nduk, mosok tonggone ngundang gak ditekani. Nekani undangane tonggo iku wajib to?, lek gak teko, malah dadi omongan, dadi rasan-rasan, awake dewe sing duso lek nyebabne wong ngrasani” jelas ayah. Ngaji bareng digawe Mbah iku, anggep ae shodaqoh. Diarani NU yo oleh diarani Muhammadiyah yo gak popo, sing jelas aku mbiyen gak tau melu Anshor, gak tau dadi Banser haha” tambahnya masih dengan ekspresi humornya.

Dari jawaban ayah yang itu, aku tahu kalau ayah dan ibuku adalah orang yang netral bukan NU dan bukan juga Muhammadiyah karena ibuku tak punya seragam Aisiyah dan ayahku tak pernah jadi anngota banser. Ayah dan ibuku mungkin memang harus begitu, karena beliau adalah orang yang ditokohkan di kampungku. Jadi harus adil, tidak mungkin memihak salah satu golongan. Dari merekalah saya belajar tentang makna adil dan profesional.

“NU opo Muhammadiyah iku ora dadi soal. Sing penting wayahe adzan budal sholat, wayahe ngaji budal ngaji, rukun karo tanggane , ora usah dadi wong aneh-aneh, insyaallah slamet” itu pesan ayah mengakhiri perbincangan kami. Mungkin ayah capek juga saya terus bertanya.

Kembali ke perbincangan dengan teman, tentang bagaimana jika suami kita nanti tak mau diajak kenduri, teringat nasehat ayah itu saya menjawab begini : Nanti aku akan bicara begini sama masku. Kalau kita punya rezeki lebih niatkan shodaqoh Mas, jangan diniatkan ritual yasinan. Lagipula nggak harus hanya baca yasin kan? Kita ajak mereka beristiqomah juga membaca Waqiah dan Ar-Rahman atau kita ajak mereka mengaji seluruh surat di Al-Qur’an.  jika diundang yasinan niatkan menghadiri undangan tetangga.

Saya akan katakan itu pada dia nanti, kalau dia tidak mau menghadiri undangan yasinan tetangga atau jika rumah kami nanti semua penduduknya  punya kegiatan yasin rutinan atau bergiliran. Nggak mungkin kan, karena dia tak mau kenduren, dia juga menolak jika rumah kami mendapat giliran? Saya hanya akan selalu ingat pesan ayah rukun karo tanggane. Aplikasi dari usaha rukun dengan tetangga, tentu salah satunya dengan membaur pada budayanya. Jika ada yang perlu diluruskan dari budaya itu, luruskan pelan-pelan.

Saya hanya meyakini satu hal, jika dia lelaki yang baik dan paham agama. Insyaallah pemikirannya akan terbuka, dia bisa menerima semua perbedaan yang ada di masyarakat terkait dengan budaya dan lainnya. Dia akan menjalankannya sebagai upaya berbuat baik pada sesama. Dia akan memahami bahwa esensi dari semua itu adalah doa, dzikir dan shodaqoh. Bisa dengan cara apa saja untuk merealisasikannya. Tugas saya sebagai istri adalah manut padanya dan mendampinginya.

Kadang, masyarakat justru tak tak tahu, esensi dari yang dilakukannya. Yasinan, tahlilan, diba’an, istigostah yang sering dilakukan hanya karena ikut-ikutan, sudah menjadi kebiasaan dan lain sebaginya. Bahkan parahnya, ada yang beranggapan, jika tidak tahlilan maka akan dosa. Menurut saya, anggapan ini perlu diluruskan, masyarakat kita perlu dicerdaskan secara agamis bahwa yasinan dan tahlilan itu bukan syariat, keduanya adalah produk budaya, cara para wali menyebarkan Islam. Jadi mau tahlilan monggo mau tidak ya monggo. Sama sekali tidak ada kata dosa di keduanya, karena esensinya adalah berdoa, meminta pada Rabb-nya.

Jika ia tak mau kenduren, saya yakin dia tetap mau menghadiri undangan, disanalah nanti dia akan meluruskan pemahaman masyarakat, bahwa yasinan dan tahlilan itu bukan syariat tetapi budaya. Apa yang salah dengan budaya? Toh, jika tak ada ritual ini mugkin masyarakat jawa tak akan berislam hingga kini. Jika ia tak mau kenduren, saya yakin dia mau meluruskan, melalui perbincangan saat yasinan atau pengajian. Pelan-pelan. Dia akan memahamkan dengan hati tanpa menggurui. Lelaki yang dekat dengan masyarakat tapi punya ideologi tepat dan berkarakter kuat itulah yang dicari.

Mendapat pertanyaan tersebut, saya semakin paham  bahwa menikah itu tak hanya menyatukan hati tapi juga ideologi. Jika ternyata memiliki ideologi berbeda, asalkan keduanya open minded, insyaallah mereka akan tetap beriringan saling melengkapi satu sama lain. Kuncinya, open minded dan niatkan untuk hidup dalam dakwah, saling melengkapi dalam kebaikan dan memperbaiki dalam kekurangan. Lagipula, Jodoh itu tak selalu sama kan? Buktinya ayah saya sedikit sedikit guyon tapi ibu saya serius sekali, haha

Semoga sebagai generasi muda, kita bisa terbuka dengan semua yang ada. Selama itu baik dan tidak menyalahi aturan agama, maka tak ada yang perlu dibantah namun jika itu jelas bertentangan maka kita harus berani meluruskan. Saya juga masih belajar untuk itu. Tugas kita sebagai manusia hanya berikhtiar, dan Allah yang menentukan.
Wallahu’alam


RIZZA NASIR


Tidak ada komentar:

Posting Komentar